NovelToon NovelToon
My Hazel Director

My Hazel Director

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Teen School/College / Cinta pada Pandangan Pertama / Romantis
Popularitas:695
Nilai: 5
Nama Author: redberry_writes

Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.

Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.

Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.

Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 20 - Audisi

Vee

Setelah kencan sempurna hari Sabtu lalu, realita datang dengan cepat. Romansa berubah jadi deadline, dan kenyataan proyek ini kembali menuntut fokus penuh. Aku dan Tyler menghabiskan dua hari terakhir mempersiapkan audisi untuk para mahasiswa akting yang ingin bergabung di proyek Ashes of Winter.

Lebih dari dua ratus portofolio masuk. Dua ratus wajah, dua ratus harapan, dua ratus mimpi. Dan hari ini, kami harus menyeleksi semuanya. Aku berusaha mengingat bahwa ini bukan lagi tentang “kami”, tapi tentang film. Tentang mimpi yang harus kubuktikan, kepada Thomas, kepada Tyler, kepada diriku sendiri.

Pagi itu, ruangan teater Ashenwood dipenuhi dengung suara. Barisan kursi berderet, lampu-lampu panggung menyala terang, dan kamera di depanku sudah siap merekam setiap momen penting untuk nanti diriview kembali oleh Professor Hunt. Tyler datang membawa setumpuk map berisi berkas para peserta, ekspresinya tenang tapi tegang.

Aku bisa merasakan tatapannya saat ia berjalan mendekat. Sekilas, matanya hangat, satu detik yang cukup untuk membuat dadaku berdebar. Tapi hanya itu. Begitu kami saling menatap, ekspresinya langsung berubah profesional. Hari ini, kami bukan pasangan. Kami adalah sutradara dan pengawas produksi.

Tyler berdiri di sisi kanan panggung, sementara aku di depan, memegang mic. Suaraku bergetar sedikit, tapi cukup tenang untuk didengar semua orang.

“Terima kasih atas kehadirannya, para calon aktor. Perkenalkan, saya Victoria Sinclair, sutradara proyek ini. Dan di sebelah saya ada Professor Hill, mewakili Professor Hunt sebagai produser film yang akan mengawasi jalannya audisi hari ini.”

Beberapa bisikan kecil terdengar dari peserta, terutama saat nama Tyler disebut. Beberapa mahasiswa menggumamkan sesuatu tentang penampilan Tyler yang baru, dengan rambut yang terurai. Aku tersenyum tipis. “Good luck untuk kalian semua. Tampilkan yang terbaik. Kamera akan merekam setiap audisi untuk dievaluasi kembali oleh tim produksi.”

Tyler memberi isyarat pelan padaku. Waktu untuk memulai.

Aktor pertama naik ke panggung. Mahasiswa tahun ketiga, tinggi, dengan suara yang cukup berkarakter. Ia membaca naskah dari Ashes of Winter, adegan di mana karakter utama kembali ke rumah setelah bertahun-tahun dipenjara.

Aku memperhatikan setiap detailnya, cara ia menyampaikan script, nada suaranya, ekspresi matanya. Sementara Tyler mencatat cepat di lembar penilaian. “Emosi masih datar,” katanya pelan, cukup untuk kudengar. Aku mengangguk setuju, walau kami tidak berani saling menatap.

Aktor kedua, ketiga, keempat. Beberapa bagus, beberapa terlalu teatrikal. Ada yang berlebihan dalam ekspresi, ada pula yang tampak kaku seperti robot. Setiap kali kami berbeda pendapat, Tyler akan mencondongkan tubuh sedikit, berbisik sesuatu seperti, “Angle kamera kurang mendukung. Tapi dia punya potensi.” Atau, “Suara bagus, tapi perasaan belum sampai.” Suara itu, rendah dan terkendali, terus mengusikku.

Ada 1 mahasiswa akting masih tahun kedua bernama Stella Harper dengan rambut hitam bergelombang dan ekspresi yang tenang tapi penuh beban. Ia membaca adegan ketika karakter perempuan kehilangan seseorang yang dicintainya, rapuh tapi tidak lemah. Aku nyaris menahan napas. Cara Stella membawakan adegan itu lembut, suaranya bergetar tapi tidak pecah. Ada ketulusan di sana, semacam luka yang tidak dibuat-buat. Langka sekali aku menemukan sesuatu yang seperti itu hari ini.

Setelahnya aku melihat ada beberapa wajah familiar. Derek Vaughn dari kelompokku semester lalu, dan Sophie dan Liam. Sophie sudah mengatakan bahwa Liam akan ikut audisi, sementara ia hanya datang untuk memberikan support.

Dadaku menegang. Aku tahu mereka akan ikut audisi, tapi melihat mereka di sini, di antara puluhan mahasiswa lain, membuatku tiba-tiba sadar aku tidak boleh memihak, harus obyektif.

Derek yang biasanya sangat percaya diri menatapku gugup, tapi tersenyum kecil. Liam, di sisi lain, tampak percaya diri.

Derek mendapat giliran lebih dulu. Ia membaca adegan ketika pemeran utama datang kembali ke rumah setelah dari penjara. Ia membawakannya dengan sangat fragile, tapi tidak lemah, masih kurang sesuatu darinya.

Kemudian giliran Liam. Ia memilih adegan yang berat yaitu konfrontasi antara anak dan ayah. Suaranya menggema di ruangan, intens, dan untuk sesaat aku lupa kalau dia teman sendiri. Ia menutup adegan dengan satu kalimat yang begitu menyayat, sampai semua orang di ruangan terdiam.

Tyler mengangkat alis, lalu berkata, “Powerful. Tapi kamu terlalu teatrikal di tengah. Kurangi gestur tangan.”

Aku menambahkan pelan, “Tapi matanya, itu kuat sekali. Aku bisa merasakan amarah dan sakitnya sekaligus.”

Kami saling menatap sejenak. Dan itu aneh, karena untuk pertama kalinya hari ini, kami sependapat tanpa bicara panjang.

Jam demi jam berlalu. Kami menonton puluhan audisi, menilai, menandai, berdiskusi pelan. Suara kursi, napas tegang, dan lampu panas jadi satu. Ketika akhirnya audisi terakhir selesai, ruangan mendadak terasa hening.

Aku menutup laptop rekaman, memijat pelipis. “Itu tadi… sangat melelahkan.”

Tyler duduk di kursi seberangku, melepas dasinya yang agak longgar. “Kau baru tahu rasanya jadi Hunt selama tiga dekade.”

Aku tertawa kecil. “Tapi aku juga mengerti sekarang, kenapa dia begitu keras.”

Ia menatapku dari balik tumpukan naskah, senyum samar di wajahnya. “Dan kau tetap memilih jalan ini.”

“Aku menikmatinya, setiap detik yang kuhabiskan disini,” jawabku pelan.

Ia menatapku lebih lama kali ini, lalu mengangguk. “Itu sebabnya Thomas benar memilihmu.”

Keheningan jatuh di antara kami, tapi bukan keheningan yang canggung. Lebih seperti jeda dalam sebuah film, tepat sebelum musik lembut mulai mengalun.

Saat kami membereskan peralatan, aku menatap daftar nama di tanganku. Liam ada di peringkat atas kandidat utama pemeran pria, dan Stella di daftar pemeran pendukung. Derek masih mendapatkan peran kecil, sebagai teman Liam di penjara yang sangat mendukungnya.

Aku menatap Tyler. “Kalau Hunt setuju, kita mungkin dapat pasangan utama yang sempurna.”

Tyler mengangguk. “Ya. Tapi untuk proyek sebesar ini…” Ia menatapku sekilas, senyumnya nyaris tak terlihat. “…kita juga butuh sutradara yang sempurna.”

Aku pura-pura sibuk merapikan kabel kamera, tapi pipiku sudah panas. Hari ini, aku belajar dua hal yaitu menjadi sutradara berarti membuat keputusan yang berat—dan mencintai seseorang di balik layar, jauh lebih rumit daripada adegan apa pun yang bisa kutulis.

\~\~\~

Tyler

Thomas terlihat lemah hari ini. Lebih dari biasanya.

Tubuhnya semakin kurus, kulitnya pucat, seolah semua cahaya dalam dirinya mulai meredup perlahan. Padahal, seingatku, pengobatannya seharusnya berjalan baik. Ia tidak pernah sekalipun melewatkan jadwal hemodialisanya. Selalu disiplin, seperti seorang sutradara yang menolak berhenti mengatur bahkan ketika tubuhnya sudah memberontak.

Namun kali ini, matanya tampak lelah. Lelah yang tidak bisa disembunyikan oleh kata-kata semangat atau senyum kecil yang dipaksakan. Di sisi lain, Elara mencoba bersikap tenang, tapi perutnya yang kini semakin membuncit membuat kegelisahannya terlihat jelas. Ia terlalu sibuk menjaga dua kehidupan sekaligus—bayi yang sedang tumbuh di dalam rahimnya, dan suami yang perlahan kehilangan kekuatannya di depan mata.

Vee sedang berdiri di depan kami, bersemangat mempresentasikan hasil audisi. Daftar aktor, catatan teknis, cuplikan video, semuanya tersusun rapi di tangannya. Ia menjelaskan dengan mata berbinar, penuh gairah, seolah dunia benar-benar hidup di ujung kata-katanya. Dan aku… hanya bisa memperhatikannya dalam diam.

Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat ruangan itu terasa lebih terang. Tapi di sisi lain meja, Thomas terlihat nyaris tenggelam dalam kursinya. Nafasnya sedikit terengah, tangannya gemetar samar saat menandatangani lembar persetujuan.

“Bagus,” katanya pelan. “Kalian sudah menemukan pemain yang tepat.” Suaranya serak tapi masih mengandung wibawa. “Aku ingin lihat rekaman latihannya nanti. Kirimkan saja kalau sudah siap.”

Diskusi berakhir lebih cepat dari biasanya. Thomas mengangguk pada kami berdua, lalu meminta izin untuk kembali ke kamarnya. Aku hanya bisa memperhatikannya berjalan perlahan ditemani Elara. Setiap langkahnya tampak berat, seperti ia sedang melangkah menentang waktu itu sendiri.

Begitu Thomas menghilang di balik pintu, aku menatap Elara yang masih berdiri, menyentuh lengannya perlahan. “Kenapa dia selemah itu? Bukankah pengobatannya seharusnya berhasil?” tanyaku dengan nada yang kutahan serendah mungkin.

Ia terdiam lama sebelum menjawab. “Komplikasi waktu hemodialisa terakhir,” katanya akhirnya. Suaranya nyaris berbisik. “Dia sempat kejang di tengah proses. Dokter bilang tubuhnya beradaptasi dengan stressor barunya. Tapi aku tahu… dia menolak untuk beristirahat sepenuhnya. Dia takut tidak sempat menyelesaikan film ini.”

Dadaku menegang. “Elara…”

Ia menatapku, matanya basah, tapi tetap memaksakan senyum. “Aku khawatir, Tyler. Tapi aku tidak bisa menghentikannya. Dia keras kepala. Sama seperti dulu.”

Aku tidak bisa menjawab. Vee masih di seberang ruangan, sibuk merapikan kamera dan laptop, wajahnya tenang, tidak menyadari percakapan kami. Baginya, hari ini adalah tonggak besar, langkah pertama menuju mimpinya sebagai sutradara. Aku ingin menjaga kebahagiaan itu selama mungkin.

Jadi untuk saat ini, aku hanya mengangguk pelan pada Elara. Kami berdua tahu lebih dari yang bisa kami katakan. Dan sementara Vee menatap hasil kerjanya dengan bangga, aku hanya bisa berharap bahwa semesta akan memberinya waktu, bagi Thomas, bagi proyek ini, bagi semuanya.

Karena entah kenapa, untuk pertama kalinya, aku merasa waktu benar-benar menipis.

\~\~\~

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Abdul Rahman
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Erinda Pramesti: makasih kak
total 1 replies
laesposadehoseok💅
Aku bisa merasakan perasaan tokoh utama, sangat hidup dan berkesan sekali!👏
Erinda Pramesti: terima kasih kak ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!