Alda Putri Anggara kehilangan kedua orang tuanya sejak kecil dan tumbuh di bawah asuhan paman dan bibi yang serakah, menguasai seluruh harta warisan orang tuanya. Di rumah sendiri, Alda diperlakukan seperti pembantu, ditindas oleh sepupunya, Sinta, yang selalu iri karena kecantikan dan kepintaran Alda. Hidupnya hanya dipenuhi hinaan, kerja keras, dan kesepian hingga suatu hari kecelakaan tragis merenggut nyawanya untuk beberapa menit. Alda mati suri, namun jiwa seorang konglomerat wanita cerdas dan tangguh bernama Aurora masuk ke tubuhnya. Sejak saat itu, Alda bukan lagi gadis lemah. Ia menjadi berani, tajam, dan tak mudah diinjak.
Ketika pamannya menjodohkannya dengan Arsen pewaris perusahaan besar yang lumpuh dan berhati dingin hidup Alda berubah drastis. Bukannya tunduk, ia justru menaklukkan hati sang suami, membongkar kebusukan keluarganya, dan membalas semua ketidakadilan dengan cerdas, lucu, dan penuh kejutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 – “Cinta di Antara Dua Nama dan Bayangan Masa Lalu”
Malam itu, setelah semua rahasia terbuka, suasana di rumah keluarga Varmond tidak kembali seperti biasa.
Ada keheningan yang berbeda bukan karena dingin, tapi karena terlalu banyak yang harus dipahami.
Aurora duduk di balkon, memeluk lutut, sementara cahaya lampu taman menyorot lembut wajahnya. Angin malam berhembus pelan, menggoyangkan helai rambut panjangnya yang berantakan.
Di tangannya, secangkir teh melati hangat yang mulai kehilangan uap.
Pintu balkon terbuka.
Langkah roda kursi terdengar mendekat. Arsen muncul dengan sweater abu-abu dan selimut di pangkuannya.
“Belum tidur?” tanyanya lembut.
Aurora menoleh, tersenyum samar. “Susah tidur. Aku masih belum percaya kamu bisa nerima semua penjelasanku begitu mudah.”
Arsen menghentikan kursinya di sampingnya. “Kalau kupikir-pikir, kamu lebih sulit dipercaya kalau aku gak lihat sendiri caramu hidup. Kamu terlalu nyata untuk sekadar cerita.”
Aurora tertawa kecil. “Itu barusan pengakuan romantis atau logika dingin?”
“Campuran,” jawabnya ringan. “Aku realistis, tapi kalau menyangkut kamu, mungkin aku mulai kehilangan logika.”
Aurora terdiam.
Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa membuat hatinya hangat dan nyeri sekaligus.
Ia memandangi wajah Arsen yang diterangi cahaya lampu balkon.
Mata itu—mata yang dulu terlihat mati dan dingin—kini menyimpan sesuatu yang hidup. Seperti dirinya, mungkin.
“Arsen,” katanya pelan, “kalau kamu tahu semua yang kulalui, mungkin kamu akan berpikir dua kali untuk duduk di sini.”
“Sudah kukatakan,” jawab Arsen lembut, “aku kehilangan terlalu banyak untuk takut lagi. Aku gak peduli kamu datang dari masa lalu, dunia lain, atau reinkarnasi. Yang penting, kamu di sini sekarang.”
Aurora menatapnya lama.
“Aku gak tahu kenapa kamu selalu bisa ngomong seperti itu tanpa gugup.”
Arsen mengangkat bahu. “Kebiasaan. Aku terbiasa bicara dengan klien yang lebih menakutkan daripada kamu.”
Aurora menatapnya tajam. “Menakutkan?”
“Ya. Bedanya, kamu menakutkan dalam versi lucu.”
Aurora memukul lengannya pelan. “Kamu ini benar-benar….”
“Menawan?”
“Nyebelin.”
Keduanya tertawa kecil.
Namun di balik tawa itu, ada sesuatu yang berubah jarak di antara mereka terasa semakin tipis, seperti tak ada lagi batas antara masa lalu Aurora dan masa kini Arsen.
---
Keesokan paginya, suasana rumah terasa berbeda.
Aurora bangun lebih pagi dari biasanya dan memutuskan untuk memasak sarapan “balas dendam” setelah insiden roti gosong kemarin.
Dapur penuh aroma harum tumisan. Ia mengenakan celemek dengan tulisan Don’t mess with the chef, rambutnya diikat asal-asalan, wajahnya cerah.
Arsen masuk pelan, dengan satu alis terangkat. “Kamu… membakar dapu?”
“Bukan membakar. Ini aroma perjuangan,” jawab Aurora cepat sambil menatap wajan.
“Aku mencium aroma perjuangan yang mirip arang.”
Aurora menoleh tajam. “Diam, Tuan Komentator. Ini omelet versi upgrade.”
Arsen bersandar di meja, memperhatikannya. “Aku takut upgrade-nya malah downgrade.”
“Kalau kamu ngomong lagi,” kata Aurora dengan gaya mengancam, “aku bakal taruh ekstra cabai di omeletmu.”
Arsen terkekeh. “Jadi gitu cara kamu menunjukkan kasih sayang? Menyiksa lambung orang?”
Aurora pura-pura cemberut. “Itu bentuk cinta paling tulus. Aku masak sendiri loh.”
Arsen menatapnya sebentar, lalu tersenyum lembut. “Aku tahu. Dan aku menghargainya.”
Suasana mendadak hening—hening yang nyaman.
Aurora menatap Arsen, lalu tertawa kecil untuk mencairkan suasana. “Baiklah, sarapan siap! Semoga perutmu kuat.”
Beberapa menit kemudian…
“Rasanya… aneh,” kata Arsen setelah suapan pertama.
“Enak, kan?” tanya Aurora dengan senyum yakin.
“Bukan. Aneh, tapi… bisa dimakan.”
“Itu kemajuan!” seru Aurora girang. “Dulu kamu bilang rasanya kayak batu bata.”
“Sekarang mungkin lebih mirip spons.”
Aurora memukul lengannya lagi. “Dasar!”
Arsen tertawa, kali ini keras dan jujur.
Tawa itu menggema di ruang makan, hangat, dan entah kenapa membuat Aurora terdiam sejenak.
Ia tak pernah mendengar Arsen tertawa seperti itu sebelumnya—seolah dinding di sekelilingnya retak sedikit demi sedikit.
🕊️
Siangnya, Aurora mengunjungi salah satu panti asuhan kecil yang dulu sering ia bantu saat masih menjadi Aurora Lin.
Ia membawa sumbangan anonim seperti biasa, kali ini ditemani oleh Arsen yang memaksa ikut.
“Aku pengen tahu sisi lain dari kamu,” katanya waktu di mobil.
Aurora tertawa. “Sisi lainku penuh rahasia dan bahaya.”
“Bagus. Hidupku selama ini terlalu membosankan.”
Mereka tiba di panti asuhan sederhana dengan halaman luas dan anak-anak yang berlari ke sana kemari.
Begitu melihat Aurora, beberapa anak langsung berlari memeluknya.
“Kak Alda datang!”
“Kakak bawa roti manis lagi?”
Aurora tertawa dan menepuk kepala mereka satu per satu. “Iya, tapi jangan rebutan. Semuanya kebagian.”
Arsen memperhatikan dari jauh.
Ada sesuatu di cara Aurora berbicara dengan anak-anak itu, di cara matanya bersinar lembut — bukan seperti wanita dewasa dengan masa lalu rumit, tapi seperti seseorang yang benar-benar hidup untuk memberi.
Salah satu anak kecil mendekat ke Arsen.
“Paman, kenapa kursinya aneh?”
Arsen terkejut sejenak, lalu tersenyum tipis. “Karena kaki paman istirahat dulu.”
“Paman capek?”
“Sedikit.”
“Kalau capek, peluk aja Kak Alda, paman bakal sembuh!” kata anak itu polos.
Aurora yang mendengar spontan tersedak air minum.
Arsen tersenyum geli. “Kedengarannya… resep yang menarik.”
“Jangan mulai!” kata Aurora cepat dengan wajah merah.
Anak-anak tertawa ramai, membuat suasana semakin riuh.
---
Saat sore menjelang, mereka duduk di bawah pohon besar di halaman panti.
Arsen diam-diam menatap Aurora yang sibuk membantu anak-anak menggambar.
“Aku baru sadar,” katanya tiba-tiba, “kamu bukan cuma orang yang dapat kesempatan kedua. Kamu juga memberi kesempatan kedua buat orang lain.”
Aurora berhenti sejenak, menatapnya lembut. “Mungkin karena aku tahu rasanya kehilangan segalanya.”
Arsen menatapnya dalam. “Kalau suatu hari kamu kehilangan dirimu lagi, aku janji bakal bantu kamu nemuin jalan pulang.”
Aurora tersenyum hangat. “Kamu ngomong kayak pahlawan film romantis.”
“Karena aku terjebak di film romantis bersamamu,” balas Arsen santai.
Aurora menutup wajahnya sambil tertawa malu. “Tolong, jangan bikin aku geli di depan anak-anak.”
Namun senyum di bibirnya tidak hilang.
-----
Malamnya, setelah pulang, Aurora menemukan sebuah kotak kecil di atas mejanya.
Kotak kayu gelap dengan ukiran halus.
Ada secarik kertas di atasnya.
Untuk orang yang telah hidup dua kali, semoga ini jadi awal yang baru.
Aurora membuka kotak itu perlahan.
Di dalamnya, sebuah kalung sederhana berbentuk sayap kecil dari perak.
Ia memegangnya pelan, menatapnya lama.
Saat itu pintu terbuka. Arsen berdiri di ambang dengan wajah datar tapi jelas gugup.
“Kamu… suka?”
Aurora menatapnya dengan senyum kecil. “Ini cantik. Tapi kenapa sayap?”
Arsen menjawab lirih, “Karena kamu pernah jatuh. Dan kali ini, aku pengen jadi alasan kenapa kamu bisa terbang lagi.”
Aurora menatapnya, matanya bergetar.
“Arsen…”
“Ya?”
“Kamu sadar gak, kamu baru saja mengucapkan kalimat paling manis dalam sejarah hidupmu?”
Arsen menggaruk tengkuk. “Aku belajar dari kamu.”
Aurora tertawa pelan, lalu mengenakan kalung itu. “Kalau begitu, anggap ini simbol perjanjian. Aku gak akan kabur dari masa laluku, dan kamu… jangan kabur dari perasaanmu.”
Arsen menatapnya. “Siapa bilang aku kabur?”
Aurora berhenti tersenyum. Tatapan mereka bertemu.
Waktu seolah berhenti.
Lalu Arsen perlahan mengangkat tangannya, menyentuh pipi Aurora dengan hati-hati.
“Kamu tahu,” bisiknya, “dulu aku pikir hatiku mati. Tapi kamu datang dan… semuanya berdenyut lagi.”
Aurora tidak menjawab. Ia hanya menatap Arsen lama, lalu menutup mata saat kening mereka hampir bersentuhan.
Bergabung