NovelToon NovelToon
Cahaya Yang Ternodai

Cahaya Yang Ternodai

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda / One Night Stand / Romansa / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:364
Nilai: 5
Nama Author: Itz_zara

Hujan deras malam itu mengguyur perkampungan kecil di pinggiran kota. Lampu jalan yang redup hanya mampu menerangi genangan air di jalanan becek, sementara suara kendaraan yang melintas sesekali memecah sunyi. Di balik dinding rumah sederhana beratap seng berkarat, seorang gadis remaja duduk memeluk lututnya.

Alendra Safira Adelia.
Murid kebanggaan sekolahnya, panutan bagi teman-temannya, gadis berprestasi yang selalu dielu-elukan guru. Semua orang mengenalnya sebagai bintang yang bersinar terang di tengah gelap. Tapi hanya dia yang tahu, bintang itu kini nyaris padam.

Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas—hasil tes yang baru saja ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Tulisan kecil itu menghantam seluruh dunia yang telah ia bangun: positif.

Air mata jatuh membasahi pipinya. Piala-piala yang tersusun rapi di rak kamar seakan menatapnya sinis, menertawakan bagaimana semua prestasi yang ia perjuangkan kini terasa tak berarti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itz_zara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

15. Rahasia

Pagi hari, keluarga Mahendra kembali berkumpul di meja makan. Suasana rumah besar itu terasa hangat meski setiap anggota keluarga sibuk dengan pikirannya masing-masing. Amara, sang nyonya rumah, dengan telaten memastikan semua hidangan tersaji rapi. Nasi goreng, telur mata sapi, dan segelas jus jeruk sudah tertata indah di meja panjang.

Namun, saat Rayven duduk di kursinya, ia tiba-tiba merasa ada yang aneh. Aroma nasi goreng yang biasanya menggugah selera kini membuat perutnya mual. Ia berusaha menahan diri, mengambil sendok, lalu menyuap sedikit nasi.

Begitu makanan menyentuh lidahnya, rasa mual itu semakin kuat. Tanpa sempat menjelaskan, Rayven buru-buru meletakkan sendoknya dan menutup mulut. Kursinya bergeser dengan keras, membuat seluruh keluarga menoleh.

“Rayven?” suara Amara terkejut.

Tak sanggup menahan, Rayven bangkit dan berlari ke kamar mandi terdekat. Suara muntah terdengar jelas, memecah suasana meja makan.

Serenya, sang adik bungsu, membelalakkan mata. “Kak Ven kenapa, Ma?” tanyanya polos.

Amara segera berdiri, hendak menyusul. “Tunggu sini, Serenya. Mama cek dulu.”

Damian yang sejak tadi diam hanya menatap dengan alis mengernyit. Ia tidak berkata apa-apa, tapi sorot matanya jelas menunjukkan kekhawatiran sekaligus rasa heran.

Beberapa menit kemudian, Rayven keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat dan mata berair. Ia berusaha menormalkan ekspresinya, tapi tubuhnya masih lemas.

Amara segera menghampiri. “Kamu kenapa, Nak? Sakit perut? Atau masuk angin?”

Rayven menggeleng cepat. “Enggak, Ma. Cuma… mungkin kecapekan latihan basket. Sama… perut kosong aja.” Ia memaksa senyum, meski jelas-jelas kondisinya tidak baik.

Kaelan, sang sulung, memperhatikannya tajam. “Lo yakin? Soalnya nggak kelihatan kayak cuma masuk angin, Ven.”

Rayven menelan ludah, gugup. “Iya, gue nggak papa, Bang. Cuma butuh istirahat.”

Damian akhirnya angkat bicara, suaranya tegas tapi tenang. “Kalau besok masih begitu, Papa minta kamu ke dokter. Jangan anggap remeh kesehatan. Apalagi kamu masih harus sekolah dan latihan.”

Rayven mengangguk cepat, meski dalam hati pikirannya kalut. Muntah-muntah ini bukan hal biasa. Apa ini cuma sugesti karena rasa takutku sama Alendra… atau ada hal lain?

Ia kembali duduk di kursinya, menunduk, tidak berani menatap siapa pun. Perutnya masih bergejolak, dan di dalam hatinya, ketakutan yang ia pendam semakin menyesakkan.

Setelah insiden di meja makan, suasana hati Rayven masih kacau. Ia sengaja buru-buru naik ke kamarnya, mengganti seragam, lalu keluar tanpa banyak bicara. Amara sempat ingin menahannya, tapi Rayven beralasan kalau ia sudah telat ke sekolah.

Motor hitamnya sudah menunggu di garasi. Rayven memasang helm, menyalakan mesin, lalu menarik napas panjang. Tangannya sedikit bergetar saat memegang stang motor. Kenapa aku jadi kayak gini? Masa cuma karena kepikiran Alendra aku jadi muntah segala? pikirnya.

Suara knalpot motor memecah keheningan halaman rumah Mahendra yang megah. Damian yang masih berdiri di teras hanya melirik sebentar, sorot matanya tajam penuh tanda tanya. Kaelan pun sempat keluar sambil melipat tangan di dada.

“Ven,” panggil Kaelan tegas.

Rayven menoleh cepat. “Apa?”

Kaelan menatapnya lama, seolah berusaha membaca isi pikirannya. “Lo kelihatan aneh dari kemarin. Kalau ada apa-apa, jangan simpan sendiri. Lo adik gue, ngerti?”

Rayven tersenyum kaku. “Gue nggak apa-apa, Lan. Serius. Jangan khawatir.”

Kaelan mendengus, jelas tak percaya, tapi ia memilih tidak menekan lebih jauh. “Hati-hati di jalan.”

Rayven hanya mengangguk, lalu memutar gas dan melaju keluar gerbang. Angin pagi menerpa wajahnya, tapi rasa mual itu masih menghantui. Ia mengendarai motornya lebih cepat dari biasanya, seolah ingin lari dari perasaan bersalah dan rasa takut yang terus menghantui kepalanya.

Bayangan Alendra dengan wajah penuh air mata kembali terlintas di benaknya. Bayangan kertas hasil dokter yang ia lihat dari jauh kemarin membuat jantungnya berdegup semakin keras.

Apa mungkin…? Jangan-jangan beneran…

Tangannya yang memegang stang motor semakin kaku. Jalanan sekolah yang biasanya terasa biasa saja, kini terasa menyesakkan.

Rayven meremas helmnya pelan begitu motor berhenti di parkiran sekolah. Nafasnya memburu. Ia menunduk, mencoba menenangkan diri. Aku harus kuat. Nggak boleh ada yang tahu. Kalau sampai ketahuan… semua bakal hancur.

Namun, langkahnya yang berat menuju kelas justru semakin menegaskan rahasia ini tak akan bisa ia sembunyikan selamanya.

---

Rayven melajukan motornya bukan ke arah sekolah. Ia sengaja memutar jalan, melintasi gang kecil yang sudah sangat familiar baginya. Jantungnya masih berdegup kencang, bukan karena kecepatan motor, melainkan karena perasaan mual dan takut yang terus menghantuinya sejak pagi.

Akhirnya, motor itu berhenti di sebuah bangunan tua di pinggiran kota. Dari luar terlihat biasa saja, seperti gudang tak terpakai. Namun, bagi Rayven dan kawan-kawannya, tempat itu adalah markas kebanggaan mereka: Ravenclaw.

Ia menurunkan standar motor, melepas helm, lalu mendorong pintu besi yang sedikit berkarat. Begitu masuk, aroma khas asap rokok dan parfum bercampur langsung menyergap hidungnya. Musik hip-hop terdengar samar dari speaker kecil di pojok ruangan.

“Yo, siapa tuh pagi-pagi udah nongol?” suara berat terdengar.

Itu Darren, ketua Ravenclaw, yang sedang duduk santai di sofa sambil memainkan korek api di tangannya. Tatapannya langsung tertuju pada Rayven. “Eh, Ven. Tumben banget lo nggak ke sekolah duluan?”

Rayven meletakkan helmnya di meja, berusaha tenang. “Nggak mood. Pusing aja.”

Aksa yang sedang menata kartu di meja poker menoleh. “Lo pucet, Bro. Kayak habis digebukin.”

Alvaro menimpali sambil terkekeh, “Atau jangan-jangan lo baru putus sama cewek, Ven?”

Julian yang dari tadi sibuk dengan HP-nya hanya melirik sekilas, tapi wajahnya serius. “Nggak mungkin sih. Rayven biasanya paling cool soal cewek.”

Kenzo, yang sedang asyik merakit senapan airsoft, ikut nyeletuk, “Gue sih lebih mikirnya lo sakit perut. Dari muka lo udah kelihatan keringetan dingin gitu.”

Axel yang duduk bersandar di pojokan menambahkan, “Atau ada masalah gede? Soalnya lo nggak biasanya datang pagi-pagi ke sini.”

Semua mata kini tertuju pada Rayven. Ia merasa semakin terhimpit. Tangannya mengepal di saku celana, keringat dingin mulai muncul di pelipisnya.

“Ada apa, Ven?” Darren akhirnya angkat bicara dengan nada lebih serius. “Kalo ada masalah, lo tau kan Ravenclaw nggak pernah ninggalin salah satu anggotanya. Lo cerita aja.”

Rayven terdiam beberapa saat. Kata-kata Darren membuat dadanya sesak. Ia ingin sekali meluapkan semuanya—tentang Alendra, tentang rasa bersalah yang membunuh pikirannya, tentang ketakutan kalau gadis itu benar-benar hamil karena ulahnya. Tapi lidahnya kelu.

Ia hanya menghela napas panjang. “Gue… lagi ribet aja. Banyak pikiran. Tolong jangan ditanya dulu, oke?”

Ruangan mendadak hening. Hanya suara musik yang masih terdengar samar.

Darren menatapnya lama, lalu mengangguk pelan. “Oke. Gue nggak maksa. Tapi inget, Ven, lo bagian dari Ravenclaw. Apapun yang lo simpan sendirian, suatu saat bakal meledak. Jadi jangan tunggu sampai telat.”

Rayven menunduk. Apa gue bisa terus sembunyiin ini?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!