Suamiku Selingkuh Dengan Gadis SMP

Suamiku Selingkuh Dengan Gadis SMP

Aroma Sirih dan Janji

Aroma Sirih dan Janji yang Menguap

Warna jingga yang biasa menenangkan saat senja, kini terasa seperti bara api yang membakar ujung mata Anindita. Ia berdiri di ambang pintu kamar, memandangi pantulan dirinya di cermin rias yang usang. Usia kepala empat belum menyentuh, namun garis-garis halus kekecewaan sudah terukir rapi di sudut bibirnya.

Rambut hitamnya yang panjang, dulu sering dipuji suaminya, Bima, karena seharum bunga sedap malam, kini terasa berat dan tak bermakna.

Di luar, suara azan Magrib memecah keheningan di perumahan kelas menengah itu. Suara itu terasa ironis, sebab saat orang lain bergegas membasuh diri untuk salat, Anindita justru sedang berhadapan dengan kotoran paling menjijikkan dalam rumah tangganya: pengkhianatan.

Pengkhianatan yang datang bukan dari rekan kerja, bukan dari kawan lama, melainkan dari seorang siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP).

Anindita berjalan perlahan menuju lemari pakaian. Jantungnya berdentum kencang, menabuh genderang kecemasan yang sudah ia coba redam selama seminggu terakhir.

Tangan Bima yang kasar dan dingin, yang seharusnya hanya menyentuh kulitnya, kini diselimuti bau yang asing dan memuakkan. Bau sirih dan parfum vanila murahan.

Sirih yang harganya 30 Ribuan

Bau yang begitu identik dengan masa lalu, dengan ibu-ibu tua di desa yang masih gemar mengunyahnya. Sirih adalah kontras yang menampar Bima, seorang insinyur sipil bergaji lumayan yang selalu menyukai aroma kopi mahal.

Awalnya, Anindita mengira itu hanya keisengan pikiran. Sampai suatu siang, saat ia membereskan kemeja kerja Bima yang kotor, ia menemukan selembar foto yang terlipat rapi di saku dada.

Foto yang dicetak dengan kertas foto kusam, bergambar seorang gadis. Gadis itu masih sangat belia. Wajahnya bundar, pipinya bersemu, mengenakan seragam pramuka yang sedikit kebesaran dengan pita rambut merah jambu. Di belakangnya, tertera tulisan tangan yang miring:

"Untuk Om Bima. Jangan lupa janji beliin aku sepatu merah itu. Salam sayang, Kinanti."

Napas Anindita tercekat. Kinanti. Nama yang ia dengar Bima sebut lirih dalam tidurnya, di antara gumaman yang tak jelas. Ia mengenali nama itu. Kinanti adalah salah satu siswi SMP Bakti Pertiwi, sekolah tempat putra mereka, Rayhan, juga bersekolah. Usianya mungkin baru 15 tahun.

"Ya Tuhan," bisiknya, suaranya serak. Ia meremas foto itu hingga kertasnya berkerut.

Kini, seminggu setelah penemuan foto itu, Anindita tidak lagi hanya mengandalkan firasat atau bukti fisik. Ia telah bertindak. Ia melacak nomor ponsel yang sering menghubungi Bima pada larut malam.

Ia mendapati akun media sosial Bima yang ternyata punya akun "kedua"—akun yang tidak Anindita ketahui—di mana ia sering bertukar komentar genit dengan akun bernama "KinanCuteness".

Yang paling menusuk adalah perbincangan mereka di aplikasi pesan instan. Percakapan yang diwarnai stiker-stiker konyol dan emoji hati, janji-janji untuk jalan-jalan ke mall dan membeli sepatu merah yang disebut Kinanti dalam fotonya.

"Kamu tuh pacar terbaik Om Bima, Nak. Jauh lebih asik dari Bunda di rumah," begitu ketikan Bima, tanpa rasa bersalah.

Bunda. Panggilan yang digunakan Rayhan, putra mereka, untuknya. Perbandingan itu—dirinya dengan seorang anak SMP—adalah hinaan yang menghancurkan semua kenangan indah selama delapan belas tahun pernikahan mereka.

Anindita mengambil sebuah kotak perhiasan kecil dari dalam lemari. Di dalamnya, tersimpan cincin pernikahan mereka. Cincin emas putih yang dulu Bima pasangkan dengan janji setia dan sehidup semati, kini terasa dingin dan palsu di genggamannya.

Ia membalik cincin itu, membaca ukiran kecil di dalamnya: B & A, Selamanya.

"Selamanya?" Anindita tertawa getir, suara tawanya terdengar seperti pecahan kaca.

Ia kembali ke ruang tengah. Rumah ini, yang ia dan Bima bangun dari nol dengan cicilan KPR yang mencekik, tiba-tiba terasa begitu asing dan luas. Foto-foto pernikahan mereka, foto-foto liburan keluarga, semuanya terasa menertawakan kebodohannya.

Pukul tujuh malam. Pintu depan terbuka. Suara kunci diputar, dan langkah kaki Bima yang berat memasuki rumah. Bau minyak wangi maskulinnya bercampur samar dengan aroma yang paling Anindita benci: sirih dan vanila yang samar-samar.

Bima tampak lelah. Kemejanya sedikit kusut, dasinya longgar. Ia tersenyum, senyum yang biasanya akan meluluhkan Anindita, tapi kini terasa seperti topeng yang dikenakan penjahat.

"Hai, Sayang," sapanya, meletakkan tas kerjanya di sofa. "Baru pulang. Jalanan macet parah. Kamu belum makan?"

Anindita tidak menjawab. Ia hanya menatap Bima.

Tatapan mata Anindita bukan lagi tatapan seorang istri yang mencintai, melainkan tatapan seorang jaksa yang siap membacakan dakwaan.

"Kenapa, Ndita? Ada masalah?" Bima mulai merasa tidak nyaman.

Anindita berjalan mendekat, tangannya tersembunyi di belakang punggung. Ia berhenti tepat di hadapan Bima. Jarak di antara mereka terasa seperti jurang yang dalam dan gelap.

"Jalanan macet?" tanya Anindita, suaranya tenang, terlalu tenang. "Atau kamu habis mampir ke warung?

Bima mengerutkan kening. "Warung apa? Aku nggak ngerti."

"Warung yang jual permen vanila dan sirih," lanjut Anindita. Ia mengeluarkan tangannya dari belakang punggung. Di tangannya, bukan cincin pernikahan, bukan foto, melainkan lipstik merah murah yang ia temukan di kolong jok mobil Bima pagi tadi. Lipstik yang warna dan baunya persis sama dengan yang dipakai Kinanti di foto.

Bima melihat lipstik itu. Wajahnya langsung pucat, seperti semua darahnya tiba-tiba menguap. Matanya yang gelap memancarkan kepanikan dan rasa bersalah yang telanjang.

"Ini... dari mana kamu dapat ini?" gugupnya, suaranya tercekat.

Anindita melemparkan lipstik itu ke lantai. Suaranya pecah, namun ia berusaha keras untuk tetap tegak.

"Aku nggak akan tanya 'siapa' dia, Bima," kata Anindita, air mata yang ia tahan sejak seminggu lalu kini membasahi pipinya. "Karena aku sudah tahu. Tapi aku akan tanya, kenapa?"

Ia melangkah mundur, menjauhi Bima. "Kenapa, Bima? Kenapa kamu hancurkan delapan belas tahun kita, hancurkan janji-janji kita, hancurkan hati anakmu, demi seorang anak kecil yang bau sirih dan vanila murahan?"

Bima hanya berdiri diam, terpaku. Ia membuka mulut, seolah ingin membela diri, namun tidak ada kata yang keluar. Keheningan yang mematikan itu menjadi jawaban yang paling menyakitkan bagi Anindita.

Suara azan Magrib telah selesai. Malam telah tiba, dan bersama malam itu, janji 'selamanya' yang dulu mereka ukir, kini telah menguap, meninggalkan bau sirih dan pengkhianatan yang pedih.

Terpopuler

Comments

Isranjono Jono

Isranjono Jono

waduh pedofil laki nya gaees🤭

2025-10-06

0

kalea rizuky

kalea rizuky

gila si Bima

2025-10-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!