Dikhianati dan dijebak oleh suami dan kekasih gelapnya, seorang wanita polos bernama Megan secara tak terduga menghabiskan malam dengan Vega Xylos, bos mafia paling berkuasa di dunia malam. Hingga akhirnya, dari hubungan mereka malam itu, menghasilkan seorang putra jenius, Axel. Tujuh tahun kemudian, Vega yang terus mencari pewarisnya, tapi harus berhadapan dengan Rommy Ivanov, musuh lamanya, baru mengetahui, ternyata wanita yang dia cari, kini telah dinikahi musuh besarnya dan berniat menggunakan kejeniusan Axel untuk menjatuhkan Kekaisaran Xylos. Bagaimana Vega akan menghadapi musuh besarnya dan apakah Megan dan putranya bisa dia rebut kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21 Persembunyian Sempurna yang Terusik...
Enam bulan telah berlalu. Kegelapan dan keputusasaan yang meliputi kelahiran Axel telah digantikan oleh rutinitas yang melelahkan namun menenangkan. Kota kecil itu, yang terletak di pinggiran Jawa Barat, seolah menelan Megan bulat-bulat. Ia bukan lagi Nyonya Jose yang glamor. Ia kini hanya Megan, pekerja peternakan yang cekatan, selalu mengenakan celana jins belel, sepatu bot berlumpur, dan topi jerami lebar yang menutupi wajahnya dari matahari dan mata-mata.
Peternakan Nyonya Asih adalah surga yang tidak terduga. Sebuah rumah kayu sederhana yang dikelilingi kandang ayam, kelinci, dan domba. Aroma jerami dan kotoran ternak kini menjadi parfum barunya. Nyonya Asih, seorang janda paruh baya dengan hati sebesar gunung, memperlakukannya seperti putri yang telah lama hilang. Ia memberikan Megan kamar kecil di samping dapur, tempat yang hangat dan aman bagi Axel.
Pagi ini, Megan menggendong Axel di punggungnya saat ia sibuk mengisi tempat makan ternak. Axel, yang kini berusia enam bulan, adalah bayi yang tenang dan jarang menangis, namun intens. Matanya—mata biru keabu-abuan yang sangat khas dan tajam—selalu mengikuti setiap gerakan Megan dengan fokus yang mengerikan untuk anak seusianya. Mata itu adalah salinan sempurna dari mata Vega Xylos, si Bos Mafia.
Setiap kali Megan menatap putranya, rasa benci, trauma, dan cinta beradu di dalam dirinya. Ia membenci Vega karena telah memaksanya masuk ke dunia gelap itu, tetapi ia mencintai Axel lebih dari hidupnya sendiri. Anak ini adalah kekuatan yang menahannya dari kehancuran total. Ia bekerja tanpa lelah, seolah-olah setiap butir pakan ternak yang ia berikan adalah benteng pertahanan melawan masa lalunya.
“Anak ini… dia tidak seperti bayi lain, Nak,” ujar Nyonya Asih suatu sore, saat mereka duduk di teras sambil menikmati teh hangat. Nyonya Asih sedang memperhatikan Axel yang bukannya bermain dengan mainan, malah sibuk mengamati cahaya yang memantul dari sendok perak.
Megan tersenyum getir. “Dia mewarisi rasa penasaran yang besar, Bu Asih.”
“Bukan hanya penasaran. Matanya itu, Megan. Mereka seperti mata elang yang sedang menghitung. Saya sudah melihat banyak bayi di desa ini. Mata mereka penuh kepolosan. Tapi mata Axel… mata itu punya kekuasaan.” Nyonya Asih tidak bertanya tentang ayah Axel, ia hanya tahu bahwa pria itu pasti berasal dari dunia yang sangat jauh dan berbahaya.
“Saya akan pastikan dia tidak menggunakan kekuasaan itu untuk hal yang salah,” janji Megan, suaranya dipenuhi tekad. “Dia akan menjadi anak yang baik, anak yang jauh dari kegelapan.”
Nyonya Asih mengangguk, lalu meraih tangan Megan. “Di sini, kau aman. Jangan takut. Mereka tidak akan menemukanmu di peternakan tua ini. Kita sudah seperti keluarga sekarang. Aku kehilangan putriku. Dan kau memberiku Axel.”
Megan merasakan kehangatan yang tulus dari Nyonya Asih. Tempat ini, yang dulunya hanyalah pelarian, kini menjadi rumah. Di sini, ia belajar cara bertahan hidup yang sebenarnya, jauh dari janji-janji palsu Jose dan intrik kota besar.
...****************...
Ratusan kilometer jauhnya, di markas rahasia Vega di Eropa Timur, suasana tegang. Vega Xylos duduk di ujung meja mahoni, diapit oleh Zeno, tangan kanannya, dan tiga kepala divisi intelijen.
Enam bulan. Enam bulan pencarian yang memakan biaya miliaran dan tidak membuahkan hasil. Megan—Gadis Malam—telah menghilang seperti hantu. Semua jejak di Indonesia terputus setelah insiden di gubuk karet. Seolah-olah bumi telah menelannya.
“Ulangi laporan itu, Zeno,” perintah Vega, suaranya rendah dan berbahaya. Matanya, yang sama persis dengan mata Axel, memancarkan kemarahan yang terkendali. Tapi penuh dengan kelelahan hebat.
Zeno, yang biasanya tenang, tampak gelisah. “Semua koneksi Jose dan Wina sudah kita saring, Bos. Mereka sendiri sekarang hidup mewah di Jakarta, hasil dari uang yang mereka dapatkan dari... well, penjualan Megan. Mereka percaya Megan sudah gila atau mati di jalanan. Mereka tidak tahu apa-apa tentang anak itu.”
“Dan Rommy?” Vega mencondongkan tubuhnya ke depan. Nama itu seperti racun di lidahnya.
“Rommy Ivanov. Kami percaya dia di balik serangan mendadak hampir setahun lalu. Serangan yang membuat kita kehilangan Megan di club malam. Rommy bergerak cepat, memanfaatkan kekacauan itu untuk mencoba mencuri aset dan data kita. Dia adalah prioritas. Tapi dia juga mencari gadis itu.”
Vega menggebrak meja, membuat cangkir kopinya bergetar. “Dia mencari sesuatu yang menjadi milikku! Rommy tahu, atau setidaknya curiga, bahwa gadis itu membawa darah Xylos.”
“Kami terus memburu Rommy, Bos. Tetapi pencarian Megan… dia menghilang dari semua jaringan, semua kamera, semua kontak. Dia hidup di luar peta. Jika dia tidak ditemukan oleh Rommy, kita harus berasumsi dia memilih tempat yang paling sunyi di dunia.”
Vega berdiri, berjalan menuju jendela yang menampilkan pemandangan kota beku. Tangannya mengepal. Dia tidak marah karena kerugian finansial; dia marah karena kepemilikan. Megan, dan kini pewarisnya, adalah miliknya. Rommy tidak akan pernah boleh menyentuh mereka.
“Dia pintar. Dia tahu bagaimana bertahan hidup,” gumam Vega, sedikit bangga, sedikit terobsesi. “Dia telah menemukan sarangnya.”
Ia berbalik menghadap Zeno. “Prioritas utama tetap Rommy. Hancurkan bisnisnya, buat dia berdarah di pasar saham. Tapi jangan hentikan pencarian Megan. Alihkan fokus. Cari di daerah terpencil. Cari wanita yang bekerja keras, yang hidup di luar sistem bank dan koneksi digital. Dia bukan lagi wanita kota yang manja.”
Vega tahu, wanita yang ia temui di malam itu, yang penuh ketakutan namun berapi-api, akan melakukan segalanya untuk melindungi anaknya. Dan itu berarti dia akan bersembunyi di tempat yang paling tidak terduga.
“Aku ingin nama tempat itu. Aku ingin dia ditemukan. Aku ingin putraku ditemukan,” desis Vega, matanya membara seperti bara api. “Dia akan kembali padaku.”
...****************...
Kembali ke peternakan, malam telah tiba. Megan menidurkan Axel di kamar kecil mereka. Bayi itu tidur pulas, namun matanya yang tertutup tetap menyiratkan ketenangan yang dewasa. Megan duduk di sampingnya, memandangi wajah mungil yang sangat mirip dengan pria yang ia hindarinya.
Di luar, Nyonya Asih sudah terlelap. Megan meraih buku catatan kecilnya—sebuah kebiasaan lama yang kini ia gunakan untuk menulis strategi bertahan hidup. Ia menulis daftar pekerjaan baru yang ia harus lakukan, bagaimana ia harus menyimpan uangnya secara fisik (tunai), dan cara menghindari desa sebelah yang terlalu ramai.
Tiba-tiba, ia mendengar suara gemerisik di luar jendela. Itu bukan suara angin, bukan juga suara ternak. Itu adalah suara langkah kaki di atas kerikil.
Jantung Megan berdebar kencang. Ia segera mematikan lampu minyak, ruangan menjadi gelap gulita. Ia meraih gunting besar yang ia simpan di bawah bantalnya—senjata darurat yang ia dapatkan dari dapur.
Langkah kaki itu berhenti tepat di depan jendela kamarnya. Megan menahan napas. Ini bukan Nyonya Asih. Nyonya Asih selalu lewat pintu depan.
Sebuah bayangan hitam besar bergerak di balik tirai tipis. Megan menelan ludah. Setelah enam bulan rasa aman yang palsu, naluri bertahan hidupnya berteriak keras.
Apakah itu anak buah Vega? Atau mungkin Rommy? Atau lebih buruk lagi, Jose dan Wina yang datang untuk menyelesaikan pekerjaan mereka?
Tiba-tiba, bayangan itu bergerak menjauh, menuju bagian belakang rumah, tempat kandang ternak berada.
Megan menunggu, tegang. Lima menit berlalu. Sepuluh menit.
Akhirnya, ia memberanikan diri. Ia diam-diam membuka jendela dan melompat keluar, mendarat di atas tanah. Ia bergerak seperti bayangan, mengikuti suara itu menuju kandang.
Di sana, ia melihat bayangan itu. Seseorang sedang berjongkok di dekat kandang ayam, tampaknya sibuk. Megan mengangkat guntingnya, siap menyerang.
“Siapa kau?” bisiknya, suaranya tajam dan dipenuhi ancaman. Ia mengarahkan gunting ke tenggorokan sosok itu.
Sosok itu mendongak, terkejut. Itu adalah seorang pria muda, kurus, dengan wajah penuh kecemasan. Ia mengenakan topi dan jaket lusuh.
“Ampun, Nona! Saya bukan pencuri!” bisik pria itu panik. “Saya… saya hanya lapar. Saya sudah dua hari tidak makan. Saya kira saya bisa mengambil satu telur.”
Megan menatapnya, lalu menurunkan guntingnya perlahan. Matanya menyusuri sosok pria itu, mencari tanda-tanda ancaman mafia. Tidak ada. Hanya keputusasaan dan kelaparan.
“Pergi dari sini,” perintah Megan. “Jangan pernah kembali.”
Pria itu mengangguk cepat, bangkit, dan berlari sekencang mungkin. Megan menghela napas lega, bersandar pada dinding kandang yang dingin. Itu hanya pencuri biasa.
Namun, saat ia berbalik untuk kembali ke kamar, matanya terpaku pada sesuatu di tanah. Sesuatu yang ditinggalkan si pencuri itu.
Itu bukan hanya jejak kaki. Di dekat kandang ayam, tersembunyi di balik tumpukan jerami, tergeletak sebuah pemantik api kecil. Pemantik api perak yang sangat mahal, dengan ukiran logo organisasi internasional—simbol yang hanya ia lihat sekilas di ruangan VIP Vegas Xylos malam itu.
Bukan pencuri biasa. Ini adalah mata-mata.
Keringat dingin membasahi punggung Megan. Tangannya gemetar saat ia memungut pemantik perak itu. Bagaimana mungkin seseorang dari dunia Vega, dari organisasi Xylos, bisa tahu tentang peternakan terpencil ini?
Rasa aman yang ia bangun selama enam bulan runtuh seketika. Mereka tahu. Mereka semakin dekat. Baik Vega maupun musuhnya.
Megan mencengkeram pemantik itu erat-erat. Ia kembali ke kamar, menatap Axel yang tertidur lelap. Ia harus bergerak lagi. Peternakan ini tidak lagi aman. Tapi kemana lagi ia bisa lari?
Di dalam hati, ia tahu. Seseorang telah berhasil melacaknya. Dan jika organisasi Vega telah menemukannya, maka itu hanya masalah waktu sebelum Rommy Ivanov juga menemukan jejaknya.
Ia menatap tajam ke luar jendela, menuju kegelapan yang mengancam. "Tidak ada lagi tempat bersembunyi," bisiknya. "Pertarungan ini harus berlanjut." ucapnya dengan keputusasaan yang menggoda.