Deva, seorang gadis petakilan yang menjadi anggota bodyguard di salah satu perusahaan ternama. Meski tingkahnya sering kali membuat rekannya pusing, namun kinerja Deva tak bisa di ragukan. Pada suatu malam, Deva yang baru selesai bertugas membeli novel best seller yang sudah dia incar sejak lama.
Ketika dia sedang membaca bagian prolog sambil berjalan menuju apartemennya, sebuah peluru melesat tepat mengenai belakang kepalanya dan membuatnya tewas.
Hingga sebuah keajaiban terjadi, Deva membuka mata dan mendapati dirinya menjadi salah satu tokoh antagonis yang akan meninggal di tangan tunangannya sendiri. Akankah kali ini Deva berhasil mengubah takdirnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Seorang pemuda tampan dengan rambut pendek tengah berlari di atas bukit sembari mendongakkan kepala, menatap indahnya bulan yang bersinar cukup terang malam ini.
Udara dingin terasa mencekam. Hujan turun begitu deras, membuat beberapa daun layu jatuh berguguran di tanah. Pemuda itu tersenyum miris dengan tatapan hancur penuh luka.
Tidak ada lagi perempuan yang akan menghapus air matanya ketika ia menangis. Tidak ada lagi perempuan yang memeluknya ketika sendiri.
Semua sudah berubah. Hanya dalam satu malam. Tanpa bisa di tahan, air matanya jatuh di pipi. Ia kehilangan seseorang yang begitu di cintainya pada malam tepat di hari ulang tahunnya, kecelakaan tunggal yang merenggut nyawa tunangannya berhasil menorehkan luka begitu dalam di hati pemuda itu.
Ia, Jack Claibore, pemuda dengan seribu rahasia yang dimilikinya. Ia menyentuh dadanya yang mendadak terasa sesak. Kehilangan orang yang paling ia cintai membuatnya seperti hidup tanpa nyawa.
Jack memejamkan mata menikmati setiap tetes air hujan yang jatuh ke atas tubuhnya. Ia tersenyum getir dengan air mata yang terus jatuh di pipinya. "Kenapa lo ninggalin gue, Sal."
Salsa Amora, seseorang yang begitu berarti dalam hidup Jack Claibore.
***
Jack berlari menuruni bukit dengan langkah tertatih melewati beberapa pepohonan yang menjulang tinggi. Beberapa kali pemuda itu terjatuh hingga membuat lututnya terluka, akibat kerikil kecil di bukit itu.
Jack terus berlari hingga ia tiba di trotoar jalan yang cukup sepi, dan di dominasi warna gelap.
"Shhh..." Jack meringis saat merasakan lututnya semakin sakit.
Setelah sepuluh menitan berlari, Jack memilih duduk di pinggir jalan untuk memeriksa kondisi lututnya. Ia menyapukan pandangannya ke segala arah, suasana malam ini benar-benar hening dan sepi.
Jack menghela napas berat, udara malam seakan mampu membekukan seluruh saraf di tubuhnya. Ia kembali berdiri, lalu memilih berlari menyusuri jalan dengan napas tersengal.
Tin! Tin.
Samar Jack seperti mendengar suara klakson, namun ia mengabaikannya. Jack terus melangkah hingga tanpa sadar sebuah motor sport hitam melaju dengan kecepatan tinggi ke arahnya.
Jack memejamkan mata, tubuhnya bergetar kedinginan. Bibirnya pucat dengan darah yang entah sejak kapan sudah mengalir dari dalam hidungnya.
Sementara itu, gadis yang mengendarai motornya ke arah Jack langsung menarik rem secara mendadak, menghindari tabrakan yang membuat roda depan motornya tergelincir aspal yang sedikit licin.
Motor itu kehilangan kendali dan berakhir menghantam tiang lampu di pinggir jalan, menimbulkan suara nyaring yang sangat kuat.
BRAK!
Jack menghentikan langkahnya saat mendengar suara hantaman keras di belakangnya. Karena penasaran, ia berbalik dan dikejutkan dengan seorang pengendara motor yang terjatuh dalam kondisi berlutut di atas aspal.
Jack menggigit bibir bawahnya, kemudian melangkah mendekati gadis itu yang sedang meringis kesakitan akibat lututnya tergores aspal.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Jack.
Gadis itu mendongak dan mata hitamnya bertabrakan dengan mata biru milik pemuda di depannya. Beberapa saat berlalu, mereka hanya saling tatap tanpa mengeluarkan suara.
Tatapan mereka berdua begitu dalam, hingga suara petir menyambar memutuskan pandangan keduanya.
Gadis itu berdiri dan melepas helm full face dari kepalanya, ia menatap pemuda di depannya dengan tatapan tajam. "Lo budek?!"
Jack melihat ke arah belakang gadis itu, di sana tergeletak motor gadis itu yang penyok akibat menabrak tiang listrik. Pandangan Jack beralih pada lutut gadis itu yang terluka, dan mengeluarkan darah segar dari celana jeans yang ia kenakan.
"Nggak, gue masih bisa dengar." Jawab Jack acuh.
Deva mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh, "Lo... Aduh!" Deva memegang kepala bagian atasnya saat merasakan kepalanya tertimpa ranting pohon.
Jack membekap mulutnya, berusaha menahan tawa. Pemuda itu menatap gadis di depannya dengan tatapan mengejek.
"Gimana? Sakit, nggak?" Jack terkekeh. "Kualat sih."
"Diam lo!" Deva berdecak. "Bawel."
"Biarin. Dari pada lo?" Jack menghapus darah di hidungnya dengan punggung tangan. "Cewek nggak punya hati."
"Apa lo bilang? Nggak punya hati?" gadis itu melangkah maju mendekati Jack, hingga membuat pemuda itu mundur beberapa langkah. "Nih, lo sentuh dada gue kalo nggak percaya, gue punya hati kok."
Jack melotot mendengar ucapan, "Lo pikir gue cabul, hah?!"
Deva menyunggingkan senyum tipis. "Lo yang bilang."
"Lo!" Jack menghela napas kasar, sejak ia nebeng di motor Deva ia baru tahu jika gadis itu lebih gila dari dugaannya. "Sial."
Ketika Jack hendak melangkah pergi, gadis itu dengan cepat menahan lengan Jack untuk berhenti. "Apa lagi, Dev?"
"Resleting celana lo terbuka," bisik Deva dan melepaskan cekalan tangannya pada Jack, lalu berbalik menuju motornya sambil tertawa.
Jack menunduk dan benar saja, resleting celananya terbuka entah sejak kapan. Wajah Jack langsung merah padam seperti kepiting rebus, ia menatap ke arah Deva yang kini sudah duduk kembali di atas motornya.
Gadis itu menyeringai sebelum menutup rapat helmnya dan melaju meninggalkan Jack seorang diri.
"Sialan! Kok bisa gue ceroboh gini?" umpat Jack tak bisa menutupi rasa malunya.
***
"Habis dari mana lo?"
Deva yang baru saja akan menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas pun segera menghentikan langkahnya, ia mendengar suara berat sang kakak di belakang punggungnya. Gadis itu berbalik badan menghadap Gallen, kakak sulungnya.
"Jawab, lo dari mana?'' ulang Gallen.
Deva diam, kembali tidak menjawab pertanyaan Gallen. Dan itu berhasil menyulut amarah Gallen, pemuda itu menggeram marah karena merasa pertanyaannya diabaikan oleh Deva.
"DEVA!"
"Apa?!" bentak Deva. "Lo mau mukul gue? atau lo mau nendang gue dari rumah ini? Silakan, gue nggak peduli."
Gallen berjalan mendekati Deva dan langsung melayangkan sebuh tamparan keras di pipi adiknya, hingga membuat wajah Deva terempas ke samping dengan bekas memerah akibat pukulan.
"Jaga sikap lo, Dev. Jangan kurang ajar. Gue ini Kakak lo!" bentak Gallen.
Deva tersenyum kecut. "Kakak? Gue nggak pernah merasa punya Kakak kayak lo, Gal."
"Dev, Daddy nitipin lo sama gue. Wajar kalo gue nanya lo dari mana, di jam segini!"
Deva memiringkan kepalanya, senyum di wajah gadis itu terbit. "Sejak kapan lo peduli sama gue? Urus aja hidup lo kayak biasanya dan anggap lo nggak kenal sama gue, karena gue juga bakal lakuin hal yang sama."
"Lo ma-"
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Gallen, pemuda itu memejamkan mata saat rasa sakit menjalar di pipi kirinya. Ia mendongak, tatapannya mengarah pada sosok adiknya yang sedang menatapnya dengan dingin.
"Jangan sok peduli, gue nggak butuh." Deva menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Daddy cuma pergi dinas, jadi lo nggak usah belagu sok jadi Kakak yang peduli sama adiknya."
"Dev..."
"Sekarang baru tamparan, lain kali gue bakal bikin tangan lo patah, Gal." Setelah memotong ucapan tersebut, Deva bergegas kembali ke kamarnya tanpa sedikitpun mendengarkan ucapan Gallen yang menyuruhnya kembali.