Tamparan, pukulan, serta hinaan sudah seperti makanan sehari-hari untuk Anita, namun tak sedikitpun ia mengeluh atas perlakuan sang suami.
Dituduh menggugurkan anak sendiri, membuat Arsenio gelap mata terhadap istrinya. Perlahan dia berubah sikap, siksaan demi siksaan Arsen lakukan demi membalas rasa sakit di hatinya.
Anita menerima dengan lapang dada, menganggap penyiksaan itu adalah sebuah bentuk cinta sang suami kepadanya.
Hingga akhirnya Anita mengetahui pengkhianatan Arsenio yang membuatnya memilih diam dan tak lagi mempedulikan sang suami.
Follow Instragramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anita Mual
Hari mulai merambat malam ketika Anita turun dari kamar. Rambutnya yang basah sudah dikeringkan sebagian, dan tubuhnya terbalut baju tidur berwarna krem yang sederhana. Meski tubuhnya terasa lelah dan sendi-sendinya nyeri, ia tetap berjalan menuju dapur dengan langkah ringan, mencoba mengusir sisa kecanggungan yang masih melekat setelah pergulatan mereka di kamar.
Arsen duduk di kursi makan, matanya menatap piring tanpa benar-benar melihat. Sementara itu, Anita menata makanan dengan telaten, penuh kehati-hatian seperti seseorang yang sedang melangkah di atas kaca rapuh.
“Pih, makan malam sudah siap,” ujar Anita membuyarkan lamunan sesaat Arsenio.
Arsen tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk tanpa suara, di meja sudah tersedia sepiring nasi hangat, sayur bening dengan potongan wortel dan buncis, serta lauk ikan bakar kesukaan Arsen.
Sepanjang makan malam, tak ada percakapan yang terjadi. Hanya suara alat makan yang bertemu dengan piring porselen. Anita sesekali melirik ke arah Arsen, memastikan pria itu cukup nyaman, juga memastikan setiap sendok nasi atau potongan lauk ada dalam jangkauan. Ia tidak berani memulai pembicaraan, seperti sudah tahu bahwa malam ini tidak ada ruang untuk kata-kata.
Arsen, di sisi lain, tampak tenang. Namun bukan tenang yang damai—melainkan hening yang penuh perhitungan. Ia makan perlahan, tidak banyak komentar, tidak ada pujian, juga tidak ada teguran. Hanya satu atau dua anggukan kecil ketika Anita bertanya pelan, "Mau tambah sayurnya?"
Merasa ada lauk yang lupa ia bawa, Anita bangkit perlahan untuk membawanya. Tapi baru beberapa langkah, ia menghentikan gerakannya. Tangannya meraih bagian perut. Sebuah rasa yang tak biasa menjalar—mual, perutnya seperti diaduk. Ia buru-buru menuju wastafel di dekat dapur.
Suara muntah terdengar nyaring di ruang makan yang sunyi. Arsen menoleh cepat. Wajahnya berubah, bingung, tapi tetap tidak bergerak dari tempat duduk. Ia melihat tubuh istrinya membungkuk, pundaknya bergetar pelan saat mengeluarkan semua isi makanan yang tadi sudah ditelan.
Arsen akhirnya bangkit. Ia berjalan ke arah Anita, namun langkahnya terhenti di belakangnya saja. Ia tidak membantu memijat leher sang istri, tidak juga untuk memberi Anita secangkir air hangat, hanya menatap punggung wanita yang sedang berjuang meredakan rasa sakitnya.
Anita meraih tisu, mengelap sudut bibir, lalu membasuh mulutnya. Saat ia berbalik, ia terkejut melihat Arsen berdiri di belakangnya.
“Kamu kenapa?” tanyanya, datar namun terlihat ada sedikit kekhawatiran tersembunyi.
Anita menggeleng perlahan. “Entahlah… aku juga tidak tahu. Makanannya biasa saja, tapi perutku tiba-tiba terasa aneh. Seperti diaduk.”
Arsen menatap wajah istrinya lebih seksama. “Kau sakit?” tanyanya lagi, kali ini dengan sedikit nada ingin tahu.
“Aku rasa tidak. Badanku baik-baik saja. Tidak demam, tidak maag juga” jawab Anita, mencoba tersenyum meski pucat.
Hening kembali mengisi ruang makan. Arsen menyandarkan tubuh ke dinding, menyilangkan tangan di dada. Ia tampak berpikir, matanya menyipit tipis.
“Kau memakan racun?” Celetuk Arsen membuat Anita menoleh cepat.
“Maksudnya? Racun bagaimana, pih?”
Arsen mengerukkan bahu seraya berkata, “Mungkin saja kau memasukkan racun ke dalam makanan itu untukku, tapi kau lupa menukarnya. Dan akhirnya kau sendiri yang keracunan”
Anita jelas terperangah, bagaimana mungkin arsen berpikir demikian, dia tak pernah ada niat sedikitpun untuk meracuni suaminya sendiri. “Aku bersumpah tidak pernah melakukan itu” sembari mengacungkan dua jari ke udara.
“Aku sendiri juga bingung, pih. Tapi yang jelas bukan racun ataupun karena makanan berbahaya, mana mungkin juga aku mau melakukan hal keji seperti itu” tutur Anita membela diri, namun arsen tetap acuh sembari mengibaskan tangannya.
“Aku kan bilang, mungkin! Tidak benar-benar menuduhmu” balas Arsen sedikit tak terima dengan pembelaan Anita.
Suasana kembali senyap, Anita memilih duduk sambil memijat pelipisnya yang terasa pening, makan malamnya jadi tidak terasa nikmat lagi, makin pusing ketika Arsen malah menuduhnya mencampurkan racun ke dalam makanan. Ada-ada saja.
“Mungkin kau hamil,” cetus Arsen tiba-tiba.
Anita mengerutkan alis, terkejut mendengar pernyataan itu. “Hamil?”
“Ya, wanita yang hamil biasanya cenderung merasa mual dan sering muntah-muntah. Dulu kau juga pernah begitu, kan?” Ucap Arsen memperjelas.
Anita refleks memegang perutnya sendiri, memikirkan praduga yang dikatakan Arsen tadi. “Tapi… sepertinya tidak mungkin, Pih. Aku baru saja selesai haid minggu lalu.”
“Tidak selalu begitu,” Arsen membalas. “Bisa jadi kau hamil muda. Banyak perempuan tidak sadar sampai beberapa minggu. Apalagi kau tiba-tiba muntah seperti itu. Apalagi kalau bukan hamil?”
Anita menggigit bibir bawahnya. Ia tidak berani langsung menyangkal. Tubuhnya memang terasa berbeda, tapi ia tidak ingin terlalu cepat berharap. Selain itu, pikirannya masih diliputi keraguan dan ketakutan.
Arsen memandangi Anita dalam diam. Ingatannya melayang pada percakapan dengan Ananda saat mereka bertemu di restoran tadi siang. Sejak ananda bertanya seputar anak Arsen tidak terlalu memikirkannya, tetapi begitu melihat Anita yang tiba-tiba muntah, ia merasa mungkin saja takdir sedang bermain di pihak mereka.
“Lebih baik kamu test dengan test pack” titah Arsen tak sabaran.
“Aku tidak punya, pih. Stok testosck ku sudah habis, sudah lama juga aku tidak mengeceknya” lirih Anita yang mana membuat Arsen berdecak.
“Ck, kau ini! Giliran sedang butuh saja malah tidak ada. Lain kali cepat-cepat beli kalau sudah kehabisan” tegurnya kesal.
“Lagipula belum tentu juga pih, mungkin aku hanya sedang kecapean. Aku tidak mau terlalu berharap sesuatu secara berlebihan”
Namun arsen seperti tersindir, dia memarahi Anita yang malah berpikir ke arah lain. “Kau ini seperti enggan membicarakan soal anak, kenapa huh?! Kau masih belum siap? Ucapan itu adalah doa, kau seharusnya berpikir positif. Ini yang aku tidak suka darimu, pantas saja kau dulu menggugurkan anak kita!” Sentak Arsen menggeram.
“Tidak pih, bukan begitu…. Tentu aku juga berharap bisa mengandung lagi. Setelah peristiwa tragis yang menimpa anak kita. Tapi jujur pih, aku tidak menggugurkan janin kita saat itu” lirih Anita berkaca-kaca, harus terus menjelaskan kebenaran di titik sudah lelah dengan semua itu.
“Sudahlah, pokoknya besok kau harus melakukan testpack. Kita beli pagi-pagi ke apotik”
Anita menunduk, meremas jemari tangannya sendiri. “Baik, Pih.”
Arsen tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya melirik jam dinding dan kembali duduk di meja makan. Meski makanannya sudah dingin, ia tetap menyuapkan beberapa suapan ke mulutnya. Anita tetap duduk, tapi tidak menyentuh makanannya lagi. Perutnya masih terasa mual.
Ketegangan di antara mereka masih terasa, namun kini berubah bentuk. Bukan lagi kemarahan atau ketegangan karena konflik, melainkan ketidakpastian — akan masa depan, akan tubuh Anita yang mungkin menyimpan kehidupan baru di dalamnya.
tinggal Takdir yg menentukan..
dan bagaimana respon dr yg menjalani setiap takdir nya tsb 👍
jagain dari jauh, doain yang terbaik buat Anita...