Galih adalah seorang lelaki Penghibur yang menjadi simpanan para Tante-tante kaya. Dia tidak pernah percaya Cinta hingga akhir dia bertemu Lauren yang perlahan mulai membangkitkan gairah cinta dalam hatinya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAAB 34
Sore itu, matahari sudah mulai condong ke barat, Hanya menyisakan sinar jingga yang menerpa trotoar kampus. Lauren berjalan pelan menyusuri jalanan kampus yang mulai sepi. Langkahnya lelah, pundaknya terasa berat oleh tas yang dipenuhi buku catatan dan lembaran-lembaran tugas kuliah yang belum sempat dia kerjakan. Sudah dua minggu dia tertinggal, dan hari ini adalah hari pertama ia kembali mengikuti kelas seharian penuh.
Ia menguap pelan, Matanya berusaha tetap fokus meski pikirannya sudah ingin istirahat.
Di depan gedung kampus langkahnya langsung terhenti saat matanya menangkap sosok yang berdiri di dekat mobilnya. Sosok yang tak ingin dia temui.
Aldo.
Berdiri di sana, bersandar di kap mobil Lauren dengan tangan disilangkan, wajahnya datar namun matanya menatap tajam ke arah Lauren. Ia seperti menunggu sejak lama.
Lauren berdiri terpaku sejenak. Hatinya mengeras. Dia tidak ingin ada drama lagi. Tidak hari ini. Tidak saat kepalanya sudah berat karena kuliah dan emosinya masih belum sepenuhnya stabil. Bertemu dengan Aldo sekarang hanya akan menguras tenaganya dan akan menghancurkan moodnya.
Alih-alih mendekat, Lauren justru berbalik arah dan menyelinap pergi melalui koridor belakang gedung fakultas, Lalu keluar lewat gerbang belakang kampus yang sepi karena jarang digunakan oleh para mahasiswa. Ia mengeluarkan handphonenya, Tanpa ragu ia membuka aplikasi taksi online dan segera memesan mobil. Lauren lebih memilih meninggalkan mobilnya dikampus dan pulang dengan taksi online daripada harus bertemu dengan Aldo.
Tak lama mobil taksi online yang dia pesan datang hanya dalam beberapa menit kemudian, Lauren segera masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi belakang sambil menghela napas panjang. Seakan semua beban dalam pundaknya telah hilang.
Namun belum lama mobil berjalan meninggalkan kampus, sebuah notifikasi muncul di layar ponselnya.
Pesan itu dari ibunya.
“Lauren, bisa ketemu di kafe favorit kamu sore ini? Mama pengen ngobrol sama kamu. Mamah udah ada di kafe. Agak cepet ya nak, Mamah tunggu"
Lauren terdiam sejenak membaca pesan itu. Kafe kesukaannya—kafe yang sering ia kunjungi sejak SMA, tempat ia biasa membaca buku atau menenangkan diri setelah hari yang berat. Tempat yang penuh kenangan, terutama bersama ibunya sebelum mereka mulai berjarak.
Hatinya tiba-tiba terasa hangat. Di tengah semua kekacauan ini… ibunya datang.
Lauren langsung meminta sopir taksi untuk mengubah tujuan. “Pak, ke kafe Parama Coffee, ya.”
Aldo berdiri dengan perasaan bingung dan penuh amarah. Di bawah pohon besar dekat parkiran kampus dia berteriak dan memukul pohon itu dengan keras. Matahari mulai tenggelam, bayangan pepohonan memanjang di aspal. Tangannya masih mengepal, menahan rasa kesal yang sudah mendidih sejak satu jam lalu.
“Ke mana sih cewek itu?” gumamnya pelan namun geram.
Aldo sudah berkeliling kampus beberapa kali. Mulai dari ruang kelas, perpustakaan, kantin, hingga toilet perempuan. Semua telah dia datangi namun semuanya kosong. Mahasiswa lain sudah pulang kerumah mereka masing-masing. Parkiran pun sudah mulai sepi, hanya menyisakan mobil Lauren yang juga tidak kunjung bergerak dari tempat semula. Tapi orangnya—hilang entah ke mana. Seperti ditelan bumi.
Wajah Aldo menegang. Pikirannya mulai dipenuhi kemungkinan buruk.
Atau… dia sengaja menghindar? Lalu pulang diam-diam dan meninggalkan mobilnya di sini.
Lalu tiba-tiba, sepotong suara terngiang di dalam kepalanya. Suara marah ayahnya.
“Kalau kamu gak bisa balik sama Lauren, Maka jangan harap aku masih ngakuin kamu sebagai anak. Gara-gara kebodohan kamu semua rencana yang sudah kita susun rapi jadi hancur berantakan."
Suara itu menghantam pikirannya seperti cambuk. Dingin. Menyakitkan. Yang sudah terlalu akrab dengan dirinya.
Sejak kecil, Aldo hidup di bawah bayang-bayang tekanan keras dari ayahnya—Pak Suryo. Selalu menuntut Aldo agar semuanya harus sempurna. Semua harus sesuai dengan rencana ayahnya. Tidak boleh ada kata gagal. Tidak boleh ada kata kalah. Tidak boleh ada kata malu. Dan jika dia melanggar semua itu… hukuman yang Aldo terima tidak pernah terasa ringan.
Aldo masih ingat malam-malam saat ia dikunci di kamar mandi selama tiga hari dan tidak dikasih makan sedikitpun dia harus bertahan hidup dengan meminum air keran, atau saat tubuhnya dipukuli dengan ikat pinggang hingga sekujur tubuhnya merah hanya karena nilainya turun. Semua bentuk "pendidikan" dari ayahnya dimaksudkan agar dia jadi lelaki yang tangguh. Tapi yang tumbuh malah bukan ketangguhan. Namun yang tumbuh justru adalah ketakutan, Trauma, dan Kebengisan. Yang membuatnya rela melakukan apa saja demi mencapai tujuannya. Entah cara itu baik maupun kotor.
Dan kini, Lauren telah menjadi tujuan terpenting dalam hidupnya.
Jika dia gagal mendapatkan Lauren kembali, maka tamat sudah hidupnya. Ayahnya pasti akan menghukumnya atau yang paling parah, Ayahnya akan membuangnya karena dia sudah dianggap tidak berguna.
“Kalau kamu gak bisa balikan dengan anak si Gunawan itu, Maka kamu udah gak ada gunanya jadi anakku! Lebih baik kamu pergi dari rumah ini"
Aldo menggertakkan gigi. Wajahnya memerah oleh amarah dan kepanikan. Tangannya mengepal sangat kencang hingga kuku-kukunya menembus kulit telapak tangannya. Darah segar pun perlahan mengalir dari luka di telapak tangannya.
"Aku harus dapatkan Lauren kembali."
"Baik dengan cara apa pun. Tidak akan aku biarkan kamu pergi dariku, Lauren. Kali ini akan aku gunakan cara yang sedikit kotor untuk mendapatkanmu Lauren."
Dia mengambil ponselnya, membuka kontak di hpnya "Reza"—teman lamanya dari masa kelam hidupnya. seseorang yang dulu sering dia bayar untuk "melakukan hal-hal kotor".
Jarinya ragu untuk beberapa detik… lalu akhirnya mengetik:
“Bro, bisa bantu nyari cewek? Namanya Lauren. Kita harus ketemuin dia malam ini. fotonya nanti aku kirim dan satu lagi akan aku kasih bayaran yang menarik jika bisa menyelesaikannya malam ini"
Tangannya sedikit gemetar saat mengirim pesan itu.
"Oke bentar lagi orang-orang gue akan bergerak tunggu saja di tempat biasa" balas Reza dalam pesannya.
Aldo menarik napas panjang, untuk menenangkan dirinya.
Aldo tidak peduli dengan apa yang akan terjadi baginya perintah ayahnya adalah mutlak. Meskipun harus menghancurkan dunia tetap dia lakukan untuk memenuhi keinginan ayahnya.