Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 15
Dita menggerutu sambil membawa alat pel lantai. Pagi ini, ia mendapat tugas membersihkan ruang rapat Megantara Group.
Sebagai cleaning service, ia sudah terbiasa dengan pekerjaannya, tapi hari ini ada hal yang membuatnya kesal. Dari pagi ia belum istirahat sama sekali.
Saat ia sibuk mengelap meja, suara langkah kaki terdengar mendekat. Dita menoleh, dan senyumnya langsung menghilang saat melihat siapa yang masuk ke ruangan.
Anjani.
Wanita itu mengenakan kemeja putih yang diselipkan ke dalam rok pensil hitam, membawa setumpuk berkas dengan ekspresi profesional. Ia melangkah dengan percaya diri ke dalam ruangan tanpa memperhatikan Dita—seolah Dita tidak ada di sana.
Amarah Dita langsung membara. Ia membenci wanita itu sejak dulu. Mantan kakak iparnya yang selalu ia anggap sok suci dan berpura-pura baik.
"Kamu ngapain di sini?" suara Dita penuh sindiran.
Anjani akhirnya menoleh, menatap Dita sekilas sebelum menjawab, "Aku bekerja."
Dita tertawa sinis. "Oh, kamu juga kerja disini sebagai apa?."
Anjani tetap tenang. "Memangnya kenapa?"
Dita menyilangkan tangan di dada, matanya menatap Anjani dengan penuh kebencian. "Pasti kamu juga jadi OB seperti aku?"
Anjani menarik nafas pelan, lalu menaruh dokumennya di meja rapat. "Aku bekerja sesuai kemampuanku, Dita. Tidak seperti orang lain yang hanya bisa mengeluh tanpa berusaha memperbaiki hidupnya."
Wajah Dita memerah karena marah. "Maksud kamu aku?"
Anjani hanya tersenyum tipis. "Kalau merasa tersindir, mungkin ada benarnya."
Dita mengepalkan tangan. Ia ingin membalas, tetapi sebelum sempat berbicara, suara lain terdengar dari pintu.
"Rapat akan dimulai dalam lima menit."
Mereka menoleh dan melihat William, pemilik Megantara Group, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi netral. Namun, matanya sempat melirik Dita yang masih memegang alat pel tanpa bergerak.
Anjani tidak mengatakan apapun lagi. Ia mengambil dokumennya dan berjalan menuju meja rapat dengan tenang.
Sementara itu, Dita hanya bisa menggigit bibirnya, dia baru sadar kalau Anjani bekerja bukan sebagai OB, karena tak mungkin seorang OB ikut dalam sebuah meeting perusahaan. Dita merasa harga dirinya diinjak.
Dita mengepal kain pel di tangannya, menatap Anjani dengan penuh kebencian yang sulit ia sembunyikan. Perasaan terhina mengalir deras dalam dirinya.
"Kenapa harus dia? Kenapa harus Anjani yang melihatku dan mempermalukan aku seperti ini?"
Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya hanya seorang OB, sementara Anjani duduk dengan tenang sebagai seseorang yang jelas memiliki posisi lebih tinggi darinya.
Anjani, yang menyadari emosi Dita, tetap bersikap tenang. Namun, ia tidak bisa mengabaikan sorot mata penuh kebencian yang diberikan iparnya itu.
"Aku tidak ingin ada masalah dengannya, tapi jika dia mencari gara-gara, aku tidak akan tinggal diam," pikir Anjani.
Dita akhirnya membuka mulut, suaranya penuh dengan sarkasme. "Jadi, kamu pasti senang melihatku seperti ini, kan? Melihat aku bekerja membersihkan lantai sementara kamu duduk nyaman di ruangan ber-AC?"
Anjani menatapnya, tidak menunjukkan ekspresi yang bisa ditebak. "Aku tidak pernah berpikir seperti itu, Dita."
Dita tertawa sinis. "Oh, ayolah. Jangan sok suci. Pasti di dalam hatimu kamu senang melihat aku terpuruk. Aku tahu kamu selalu ingin membalas dendam karena aku dan Mama lebih berkuasa di rumah!"
Anjani menarik napas panjang, berusaha tetap sabar. "Aku tidak peduli tentang masa lalu, Dita. Aku hanya ingin bekerja dengan tenang tanpa masalah."
Dita menggertakkan giginya. "Tanpa masalah? Kamu pikir aku akan membiarkanmu hidup nyaman di sini setelah apa yang terjadi?"
Anjani mulai kehilangan kesabarannya. Matanya menatap tajam ke arah Dita. "Kalau kamu berpikir untuk membuat masalah denganku di tempat kerja, hati-hati, Dita. Ini bukan rumah, dan kamu tidak bisa mengandalkan ibumu di sini. Di tempat ini, semua orang dinilai dari kerja kerasnya, bukan dari siapa keluarganya."
Wajah Dita memerah karena emosi. Ia ingin membalas, tetapi ia tahu Anjani ada benarnya. Tidak ada yang peduli siapa dirinya di Megantara.
Namun, Dita tidak akan tinggal diam begitu saja.
"Aku akan membuat hidupmu sulit di sini, Anjani. Tunggu saja.
Dita menggertakkan giginya, menahan amarah yang berkecamuk di dadanya. Anjani sudah pergi dari ruang meeting, meninggalkannya dengan tatapan penuh peringatan yang masih terbayang di kepalanya.
"Dia pikir siapa dirinya? Hanya karena punya posisi lebih tinggi, dia merasa bisa mengaturku?"
Dita meremas kain pel di tangannya. Rasa malu dan marah bercampur menjadi satu. Selama ini, ia selalu berada di atas Anjani, menertawakan penderitaannya, menganggapnya tidak lebih dari wanita lemah yang mudah diinjak.
Tapi sekarang?
Anjani berdiri tegak, kuat, dan tidak bisa lagi digertak.
"Tidak bisa! Aku tidak akan membiarkan dia merasa menang!"
Dita tahu ia harus melakukan sesuatu. Jika ia membiarkan Anjani terus berada di posisinya sekarang, maka ia akan benar-benar kalah.
Setelah ruangan rapat bersih dan siap, para staf segera berkumpul untuk melakukan rapat rutin .dua jam berlalu rapat berjalan baik .
setelah selesai beberes ,Anjani kembali ke ruangannya dengan kepala yang sedikit pusing. Ia sudah menduga akan bertemu Dita cepat atau lambat, tetapi ia tidak menyangka pertemuan itu akan secepat ini.
Ia menghela napas dan duduk di kursinya. Matanya menatap tumpukan dokumen di meja, tetapi pikirannya masih memikirkan Dita.
"Aku tidak ingin masalah, tapi sepertinya Dita tidak akan tinggal diam."
Anjani mengenal iparnya itu terlalu baik. Dita bukan tipe orang yang bisa menerima kekalahan. Jika ia merasa diremehkan, ia akan mencari cara untuk membalas.
Dan itu berarti…
Anjani harus bersiap menghadapi serangan yang mungkin datang kapan saja.
Adrian duduk di sofa dengan kepala bersandar ke belakang, pikirannya terasa berat. Di sebelahnya, Anggun tersenyum puas, jemarinya dengan lembut memainkan rambut pria itu.
"Akhirnya, dia semakin dalam dalam genggamanku."
"Jadi, kamu benar-benar akan menikahiku?" tanyanya dengan suara manja.
Adrian membuka matanya, menatap wajah cantik di hadapannya. "Ya. Aku akan menikahimu."
Anggun tersenyum semakin lebar, tetapi ada ketidaksabaran dalam tatapannya. "Lalu bagaimana dengan Anjani?"
Adrian menghela napas, mengalihkan pandangannya. "Perceraian masih dalam proses. Aku bahkan belum memberikan berkasnya padanya."
Anggun langsung cemberut. "Kenapa lama sekali? Aku tidak mau menunggu terlalu lama, Adrian. Aku ingin kita segera menikah."
Adrian menoleh, menatapnya dengan lelah. "Aku juga ingin, Anggun. Tapi aku harus menyelesaikan semuanya dengan Anjani dulu."
Anggun mendengus kesal. "Kalau begitu, kita tunangan dulu! Setidaknya semua orang tahu bahwa aku adalah calon istrimu. Aku tidak mau terus berada di posisi yang tidak jelas seperti ini!"
Adrian terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah. Kita akan tunangan dulu."
Anggun tersenyum dalam hati. Semua rencananya berjalan dengan sempurna.
"Anjani... kamu pikir kamu bisa menang? Lihat saja. Aku akan mengambil semuanya darimu."
hrs berani lawan lahhh