Anindya Selira, panggil saja Anin. Mahasiswa fakultas kedokteran yang sedang menempuh gelar dokter Sp.Dv, lebih mudahnya spesialis kulit.
Dengan kemurahan hatinya dia menolong seorang pria yang mengalami luka karena dikejar oleh penjahat. Dengan terpaksa membawa pria itu pulang ke rumahnya. Pria itu adalah Raksa Wirajaya, pengusaha sukses yang memiliki pengaruh besar.
Perbuatan baiknya justru membuat Anin terlibat pernikahan paksa dengan Raksa, karena mereka berdua kepergok oleh warga komplek sekitar rumah Anin.
Bagaimana hubungan pernikahan mereka berdua?
Akankah mereka memiliki perasaan cinta satu sama lain?
Atau mereka mengakhiri pernikahannya?
Yuk baca kisah mereka. Ada 2 couple lain yang akan menambah keseruan cerita mereka!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cchocomoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Patuh
“Raksa!! Stop! Tidak bisakah kamu menghentikannya? Aku membiarkanmu memelukku, tapi tidak seperti ini juga. Jadi, sudah cukup! Atau kamu tidak akan mendapatkannya lagi,” ancam Anin.
Anin sudah sangat bersabar, siapa sangka jika Raksa justru memanfaatkannya. Entah sudah yang keberapa kali Raksa terus menciuminya, bahkan lehernya juga menjadi sasarannya.
Tidak hanya ciuman, Raksa juga menghisapnya sesekali. Anin sangat yakin jika lehernya ada bercak berwarna merah karena perbuatan Raksa.
“Sayang? Jangan dong! Aku cuma kelepasan aja tadi, aku minta maaf ya? Janji deh nggak akan ulangi lagi,” bujuk Raksa.
Raksa tidak ingin kesempatannya hilang begitu aja karena kecerobohan dirinya. Untuk saat ini ia akan mengalah, tapi tidak untuk kesempatan yang mendatang.
“Sekarang menyingkirlah! Aku harus pakai baju yang menutupi leherku. Jika tidak apa kata teman-teman kamu?” Raksa menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
Raksa baru menyadari jika dirinya seagresif itu, melihat beberapa tanda yang ada di leher Anin. Kali ini ia beruntung karena Anin tidak begitu mempermasalahkannya. Jika tidak, sudah pasti Anin tidak akan membiarkan Raksa untuk memeluknya lagi.
Apalagi hubungan mereka baru saja membaik beberapa jam yang lalu. Hal itu membuat Raksa menjadi khawatir jika ancaman Anin sungguhan.
“Aku minta maaf,” lirihnya menundukkan kepala.
“Lupakan saja. Ingat, jangan pernah kamu ulangi lagi. Aku diam bukan berarti kamu bisa bebas melakukannya, kecuali aku sudah memberimu izin. Tapi, kalau aku memintamu berhenti, maka kamu harus berhenti,” jelas Anin memperingatkan Raksa.
“Dimengerti.”
Anin beranjak untuk mencari baju yang akan ia kenakan. Tidak mungkin juga ia akan mengenakan piyama seperti biasanya.
Jika hanya makan berdua dengan Raksa, Anin akan mengenakan piyamanya. Tapi kali ini teman-teman Raksa dan juga Larisa akan datang untuk berkunjung sekaligus makan malam bersama.
Jadi, sangat tidak mungkin ia mengenakan itu. Takutnya, itu akan memancing kemarahan Raksa, dan berakhir dirinya diterkam oleh Raksa.
Anin tidak menginginkan itu. Anin memilih baju berlengan panjang, dengan bahan yang dingin. Sehingga tidak akan membuat teman-teman mereka curiga.
...* * *...
Di rumah sakit.
“Sayang? Kamu sudah selesai?” tanya Larisa yang kini berdiri diambang pintu ruangan Bima.
“Udah kok, tinggal beresin berkas-berkas aja,” jawabnya seraya tersenyum melirik sekilas ke arah istrinya. “Oh iya, kamu sudah hubungi Meira? Takutnya mereka berdua masih berada di kantin,” imbuhnya.
Tangan Bima terus bergerak kesana kemari menata berkas-berkas yang ada di atas mejanya.
Hari ini, ada beberapa dokumen yang yang harus Bima pelajari sebelum bertemu pasiennya esok hari.
Peraturan rumah sakit ini adalah berkas medis atau riwayat medis pasien harus masuk sebelum jadwal konsultasi. Semua itu dilakukan agar tidak ada kesalahan dalam mendiagnosis atau memberikan resep obatnya.
“Sudah! Aku sudah mengirimkan pesan pada Meira agar menunggu kita di parkiran. Apa perlu aku bantu?” tanya Larisa yang melihat suaminya masih sibuk merapikan mejanya.
“Tidak perlu, ini sudah selesai kok. Hanya tinggal disimpan di dalam lemari aja.” Larisa mengangguk, masih setia menunggu Bima di pintu.
Setelah menyimpan berkasnya di dalam lemari, Bima menghampiri Larisa dan menggandeng tangannya.
Larisa tersenyum, mengikuti Bima yang sudah mulai berjalan dengan menarik tangannya.
Disisi lain, Meira yang mendapatkan pesan dari Larisa, langsung mengajak Ardhan untuk menunggu di parkiran.
“Sayang, kak Risa minta kita buat nunggu di parkiran. Lebih baik kita pergi sekarang, aku yakin jika mereka sudah jalan menuju kesana.”
Ardhan mengangguk, “Tunggu sebentar, aku akan bayar makanan kita lebih dulu.”
Meira menunggu Ardhan di pintu keluar, senyumnya mengambang saat Ardhan berjalan menghampirinya.
Ardhan menggandeng tangan Meira, sesekali meliriknya dengan senyuman di bibirnya.
Sudah terpikirkan dalam hatinya, dalam waktu dekat ini ia ingin melamar Meira. Hanya saja ia takut jika akan ditolak.
Selama ini, tidak ada pembicaraan yang mengarah ke hal itu. Apalagi Meira yang selalu membahas pekerjaannya sebagai model.
Ardhan tidak marah atau bosan mendengarnya. Hanya saja jika Meira membahas mengenai keseriusan hubungan mereka, maka Ardhan akan tau jika Meira menginginkannya. Tapi selama ini tidak ada pembicaraan itu sama sekali. Ardhan takut jika ia membahas dengan Meira mengenai hubungan mereka, Meira akan merasa terganggu.
Dan yang pasti, Ardhan tidak ingin mengganggu karir Meira hanya dengan pernikahan yang sama sekali belum ada di dalam list Meira.
Bagaimana caranya agar aku bisa tau apakah Meira mau menjalin hubungan serius denganku atau tidak. Jika aku minta bantuan Larisa, akankah dia mau membantuku? tanya Ardhan dalam hatinya.
“Sayang, apa yang kamu pikirkan? Sampai-sampai kamu jalan sambil melamun?” tanya Meira yang sejak tadi memperhatikan Ardhan.
“Bukan apa-apa, tidak begitu penting. Lupakan aja,” jawabnya.
“Oke, jika kamu ada masalah. Katakan padaku, aku siap mendengarkannya. Jangan kamu pendam sendiri, bagilah denganku.”
“Tentu saja, tapi aku baik-baik aja. Kalaupun ada masalah. Kamu orang pertama yang akan aku beritahu.” Meira tersenyum mendengarnya.
“Kak Risa!!” panggil Meira dengan nada yang cukup keras.
Larisa hampir saja terjatuh karena terkejut, beruntungnya Bima dengan cepat menahan Larisa.
“Meira!” geram Larisa.
Meira hanya tersenyum seperti tidak merasa bersalah. “Maaf kak, aku nggak sengaja. Lagian jaraknya juga cukup jauh, takutnya kak Risa nggak dengar, jadinya aku teriak.”
“Sudah, tidak perlu diperpanjang. Lebih baik kita pergi sekarang, aku yakin Raksa dan Anin sudah menunggu kita,” lerai Bima.
“Kita langsung pergi kesana atau mau beli sesuatu? Sepertinya aku ingin beli kue buat teman kita ngobrol nanti. Meskipun Raksa punya banyak, apa salahnya kita juga bawa,” usul Ardhan.
“Ardhan benar, lebih baik kita beli sesuatu sebagai buah tangan. Aku juga mau belikan cemilan kesukaan Anin. Dia pasti tidak akan menolaknya.”
“Baiklah, kita pergi sekarang. Kalian bisa cari kue, dan aku akan temani istriku buat beli makanan kesukaan Anin.”
Ardhan dan Meira pergi lebih dahulu, meninggalkan Larisa dan Bima yang masih berdiri di luar mobil.
“Sayang, kamu mau beli apa? Kalau bisa kita beli yang kemungkinan Raksa makan. Nggak enak kalo kita bawa buah tangan tapi tuan rumahnya tidak makan,” ucap Bima.
“Aku tau, sebenarnya aku mau beli cemilan untuk makanan penutup. Aku mau beli pisang hijau. Cukup aman untuk Raksa, karena kita makannya menggunakan santan dan gula merah yang sudah dicairkan. Ada susu juga, tapi tenang aja, semua itu dipisah kok. Jadi, Raksa bisa menyesuaikannya,” jelas Larisa.
“Baiklah, seharusnya itu akan aman untuk Raksa. Karena bukan makananan fermentasi, Anin pasti juga tau mengenai ini. Diakan juga seorang dokter. Sudah dipastikan dia tau apa saja kandungannya, apalagi ini makanan kesukaannya.” Larisa mengangguk.
suamiku jg ada tapi ga nular tapi juga ga sembun sampe sekarang aneh segala obat udah hasil ya sama ,