Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
nabil menulis
“Mamaaaah…”
Suara tangis itu menggema dari ruang tengah. Santi yang sedang mencuci bergegas menghampiri. Ia temukan Nabil duduk di lantai, kertas koran berserakan di sekelilingnya, dan matanya sembab.
“Nabil? Ada apa, Nak?” Santi mendekat, mengusap rambut anak itu.
“Aku… aku nggak bisa nulis kayak Mama,” ucap Nabil, tersendat. Tangannya masih menggenggam pensil, sementara coretan di koran terlihat berantakan.
Santi menarik napas dalam, lalu memeluk anak itu. “Sayang… kamu memang belum bisa nulis, tapi kamu sudah bisa membaca. Kamu juga jago berhitung. Itu luar biasa.”
Nabil menggeleng, air matanya menetes lagi. “Tapi… kalau aku nggak bisa nulis… nanti aku nggak bisa bikin sekolah, Mama.”
Santi tersenyum, meski matanya ikut berkaca. “Kenapa Nabil mau bikin sekolah?”
“Biar bisa ngumpulin uang banyak…” jawabnya polos.
Santi terkekeh pelan. “Hehehe… Mama nggak suka kalau tujuan kamu cuma itu.”
“Mama marah kalau Abil kaya?” Nabil bertanya, matanya terlihat bingung.
“Bukan, sayang. Mama suka kok kalau Abil punya banyak uang. Tapi sekolah itu bukan tempat buat cari uang. Sekolah itu tempat untuk berbagi ilmu. Kalau Abil besar nanti, bikinlah banyak sekolah supaya kamu bisa berbagi, bukan cuma mengumpulkan uang.”
Nabil terdiam. Matanya tampak berpikir. “Berbagi? Kayak aku berbagi ikan asin sama Jery?”
Santi tertawa kecil. “Siapa Jery, sayang?”
“Jerry itu meong, Mama. Musuhnya Tom. Tom itu tikus.”
“Dari mana kamu tahu, kita nggak pernah nonton TV?” tanya Santi, merasa heran.
“Itu ada di angkot hijau, Mama. Ada gambar Tom dan Jerry.”
“Ah, kamu pintar membaca ya, Nak?”
“Iya, Mama. Membaca itu menyenangkan. Aku sekarang tahu kalau tokoh Ko Ahong itu juga jual pulsa.”
Santi tersenyum, bangga dengan kecerdasan Nabil meskipun ia sering merasa cemas karena tidak ada sekolah yang mau menerima Nabil. “Nah, kebahagiaan itu datang bukan saat aku merasa memiliki, tapi kebahagiaan datang pada saat kamu berbagi. Kamu senang kan melihat Jery makan lauk asin?”
“Senang, Mama. Senang sekali, dan aku ingin terus berbagi.”
“Bagus, kalau begitu. Jadilah orang yang bahagia, Nak.”
Nabil terdiam, matanya menatap jauh. “Jadi, aku harus bahagia, Mama? Aku bahagia sama Mama, sama Mang Heru, sama Ko Ahong, sama Jery…”
“Dan kamu juga harus mulai bahagia dengan dirimu sendiri, Nak. Jangan hiraukan kata orang. Kalau menurut kamu itu bikin bahagia, lakukan. Kalau tidak, jangan.”
“Tapi aku nggak bisa nulis… aku nggak bahagia,” keluh Nabil.
Santi mengusap air matanya. “Dulu Mang Heru bilang, kamu suka berpikir dan berkata-kata. Sekarang, coba temukan cara menulis yang bikin kamu senang. Nggak perlu sama seperti Mama. Kamu punya caramu sendiri.”
“Bener ya, Mama?”
Santi mengangguk, “Bener, sayang. Sekarang… senyum dulu, ya. Jangan nangis lagi.”
......
"Bayu, aku sudah lelah sekali, Bayu," ucap Sinta dengan suara yang lemah, matanya tampak sembab karena kelelahan.
"Terus bagaimana, Bu? Nunik dan Nina juga kan bantu?" jawab Bayu, berusaha tetap tenang meski melihat ibunya kelelahan.
"Kerjaan mereka nggak ada yang benar, semua, Bayu. Ibu jadi harus kerja dua kali lipat," kata Sinta dengan nada putus asa.
"Aku harus gimana, Bu?" tanya Bayu, merasa terjebak dalam keadaan yang semakin rumit.
"Kamu harus bawa Santi ke sini, Bayu. Ibu sudah capek," jawab Sinta dengan tegas, meski ada kelelahan yang tersirat di suaranya.
"Jadi, ternyata Santi berguna, ya, Bu? Tidak seperti yang ibu katakan selama ini," ujar Bayu, nada suaranya terdengar sedikit sinis.
"Iya, dia berguna... hanya sebagai pembantu, paham kamu?" jawab Sinta, tak bisa menutupi rasa kesalnya.
"Jadi, sekarang siapa yang jadi pembantu, Bu?" Bayu menantang, meski ia tahu itu bukan pertanyaan yang bijak.
"Jangan kurang ajar, kamu, Bayu!" ucap Sinta dengan tajam, matanya melotot ke arah anaknya.
"Ya, kita harus akui, Bu, Santi sudah melakukan banyak hal untuk keluarga kita. Saat Santi tidak ada, ibu lihat sendiri. Bahkan si Nunik, kamarnya sudah kayak bau toilet, baju numpuk, bekas makanan ringan di mana-mana. Apalagi si Nina, padahal dia sudah punya suami, tapi kok pemalas banget, Bu?" ujar Bayu dengan nada yang lebih keras, seperti mengungkapkan kekecewaan yang sudah lama terpendam.
"Enak saja kamu nyalahin aku, Bayu. Kamu yang nggak becus jagain Santi, harusnya kamu didik Santi dengan keras, kalau perlu kamu pukul dia biar tunduk sama kamu!" terdengar suara Nina dari dalam kamarnya, mendengus kesal.
"Aku memang menceraikannya, tapi kalian juga yang menyuruhku, bukan? Sekarang lihat sendiri akibatnya. Baju kakak sudah berapa hari nggak dicuci, si Nina apalagi. Aku heran, bosan sekali dengan yang kotor. Aku saja, laki-laki, nyuci sendiri," ujar Bayu dengan nada frustrasi.
"Bayu, kita ke kampungnya, kita bawa paksa si Santi!" Sinta tiba-tiba mengusulkan dengan nada penuh tekad.
"Ragu, Bu. Dia galak sekali," jawab Bayu, merasa takut jika Santi akan melawan.
"Ya, terus solusinya apa dari kamu?" Sinta bertanya dengan nada yang semakin kesal.
"Ya paling aku nikah lagi, Bu," jawab Bayu, tanpa berpikir panjang, berharap itu bisa menyelesaikan masalah.
"Alah, nanti salah pilih lagi, repot lagi ibu," ujar Sinta dengan sinis, merasa putus asa menghadapi sikap Bayu yang tampaknya tidak pernah belajar dari kesalahan sebelumnya.
....
“Mamaaah!”
Suara nyaring itu menggetarkan seisi rumah.
Santi yang sedang membereskan cucian di dapur buru-buru berlari ke ruang tamu. Jantungnya berdebar kencang, setengah panik. Tapi begitu melihat wajah kecil Nabil yang bersinar penuh semangat, kegelisahannya sirna.
“Apa, sayang?” katanya lembut, menunduk selevel dengan anak semata wayangnya itu.
“Mah! Aku udah bisa nulis!” serunya sambil menunjukkan secarik kertas penuh coretan.
Santi meraih kertas itu, menatapnya dengan campuran takjub dan geli. Di atas kertas tampak huruf-huruf... atau setidaknya sesuatu yang Nabil anggap sebagai huruf.
Huruf N digambarnya seperti kambing berkaki tiga.
Huruf A mirip atap rumah dengan pintu di tengah.
Huruf B menyerupai wanita menggendong bayi.
Huruf I seperti tiang bendera yang menjulang.
Huruf L terlihat seperti jalan berbelok.
Santi mengerutkan dahi, lalu tersenyum penuh kasih. “Wow... ini tulisan paling indah yang pernah Mama lihat. Kamu hebat sekali, Nabil!”
“Aku hebat ya, Mah?” tanya Nabil dengan mata berbinar.
“Kamu adalah anak paling hebat bagi Mama,” balas Santi, mencium kening anaknya.
Namun kebahagiaan itu hanya sesaat. Nabil mendongak dan bertanya lirih, “Tapi... kenapa orang lain bilang aku anak setan?”
Santi terdiam. Hatinya mencelos. Ia tahu dunia belum sepenuhnya bisa menerima perbedaan Nabil.
“Biarkan saja, Nak,” bisiknya sambil memeluk tubuh mungil itu erat-erat. “Bagi Mama, kamu adalah cahaya. Anak yang paling hebat dan paling dicintai.”
Dan di pelukan itu, Nabil kembali tenang. Dunia boleh mencibir, tapi di mata seorang ibu—anaknya adalah keajaiban.
karya bagus
Up yg byk thor seruu