Mampukah janda muda menahan diri saat godaan datang dari pria yang paling tabu? Setelah kepergian suaminya, Ayana (26) berjuang membesarkan anaknya sendirian. Takdir membawanya bekerja di perusahaan milik keluarga suaminya. Di sana, pesona Arfan (38), paman direktur yang berkarisma, mulai menggoyahkan hatinya. Arfan, duda mapan dengan masa lalu kelam, melihat Ayana bukan hanya sebagai menantu mendiang kakaknya, melainkan wanita memikat yang membangkitkan gairah terpendam. Di antara tatapan curiga dan bisikan sumbang keluarga, mereka terjerat dalam tarik-ulur cinta terlarang. Bagaimana Ayana akan memilih antara kesetiaan pada masa lalu dan gairah yang tak terbendung, di tengah tuntutan etika yang menguji batas?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14: Undangan Berdosa
Jantung Ayana berdentum keras, beresonansi aneh di dalam dadanya. Kartu nama di telapak tangannya terasa seperti bara api, bukan es. Ia menatap kosong ke jalanan yang mulai sepi, bayangan Arfan yang pergi masih menari-nari di retinanya.
“Malam ini, jam delapan. Di restoran La Fleur. Sesuatu yang mungkin akan mengubah segalanya.”
Kalimat itu terus terngiang, berputar-putar dalam benaknya. Mengubah segalanya? Apa maksud Arfan? Tawaran pekerjaan? Sebuah rahasia keluarga? Atau… sesuatu yang lebih pribadi, lebih terlarang, yang selama ini hanya berani ia bayangkan dalam diam?
Tangannya gemetar saat ia menyalakan mesin mobil. Udara dalam kabin terasa pengap. Ia melaju perlahan, otaknya bekerja cepat, mencoba memproses undangan mendadak itu. La Fleur. Restoran mewah yang sering ia dengar, tapi tak pernah ia kunjungi.
Ini gila. Benar-benar gila. Ia seorang janda, ibu dari seorang anak, bekerja di perusahaan keluarga mendiang suaminya. Arfan adalah paman dari almarhum suaminya, direktur utama. Hubungan apa pun di luar profesionalitas adalah… bencana. Sebuah skandal yang bisa menghancurkan reputasinya, masa depan anaknya.
Namun, di balik ketakutan itu, ada percikan rasa penasaran yang tak bisa ia padamkan. Sebuah dorongan aneh, yang selalu muncul setiap kali ia berinteraksi dengan Arfan. Daya tarik gelap, manis, dan berbahaya.
Dosa. Kata itu terlintas di benaknya. Rasanya seperti ia akan melangkah ke jurang dosa yang indah.
Sampai di rumah, Ayana mendapati ibunya sedang menyiapkan makan malam bersama asisten rumah tangga. Ia berusaha terlihat biasa saja, menyapa ibunya dan bertanya tentang Rafa yang sudah tertidur pulas.
“Kamu kenapa, Nak? Pucat sekali,” ujar Ibu, menatap Ayana khawatir. “Ada masalah di kantor?”
Ayana menggeleng cepat. “Tidak, Bu. Hanya sedikit lelah saja. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.” Ia memaksakan senyum, berusaha menyembunyikan badai yang berkecamuk di dalam hatinya.
Pukul tujuh malam. Ayana berdiri di depan lemari pakaiannya, menatap deretan baju dengan pandangan kosong. Kemeja formal? Terlalu kaku. Gaun kasual? Terlalu biasa. Apa yang harus ia kenakan untuk pertemuan yang bisa “mengubah segalanya” ini?
Dia harus terlihat profesional, tapi juga… menarik. Ada bagian dari dirinya yang ingin memprovokasi, menguji batas. Ada bagian lain yang ingin lari sejauh mungkin.
Akhirnya, ia memilih sebuah blus sutra berwarna biru tua yang elegan, dipadukan dengan rok pensil hitam yang membentuk lekuk tubuhnya dengan sempurna. Tidak terlalu terbuka, tapi cukup memancarkan aura dewasa yang percaya diri. Rambutnya ia biarkan tergerai, dengan sedikit sentuhan gelombang lembut di ujungnya. Make up tipis, hanya untuk menonjolkan matanya yang tampak gelisah.
Ketika jarum jam menunjuk pukul 7.30 malam, Ayana menarik napas dalam. “Bu, saya ada janji dengan klien penting,” ucapnya pada sang ibu. “Mungkin agak larut. Tolong jaga Rafa ya.”
Ibunya mengangguk. “Hati-hati, Nak. Jangan lupa makan.”
Ayana keluar rumah, jantungnya berdetak kencang seperti akan lepas. Ia tahu ia berbohong. Ia tahu ini salah. Tapi kakinya terus melangkah, seolah ditarik oleh kekuatan tak kasat mata menuju takdir yang tak pasti.
Perjalanan menuju La Fleur terasa begitu panjang, namun juga begitu singkat. Setiap belokan jalan terasa seperti jembatan menuju keputusan besar. Restoran itu berdiri megah, dengan arsitektur klasik dan penerangan temaram yang menciptakan suasana romantis sekaligus misterius.
Ayana turun dari taksi daring, merapikan blusnya. Ia merasa seperti mata-mata yang sedang menjalankan misi rahasia. Dengan langkah mantap yang dibuat-buat, ia memasuki lobi, disambut oleh seorang pelayan berbaju rapi.
“Reservasi atas nama Arfan Sanjaya,” ucap Ayana, suaranya sedikit bergetar.
Pelayan itu tersenyum sopan. “Silakan lewat sini, Nyonya.”
Ia dibawa ke sebuah sudut terpencil, di dekat jendela besar yang memperlihatkan pemandangan kota di malam hari. Dan di sana, di meja yang sudah dihias elegan, Arfan sudah menunggunya.
Arfan mengenakan kemeja biru gelap yang pas di tubuhnya, memperlihatkan lengannya yang kokoh. Rambutnya tertata rapi, dan senyum tipisnya yang selalu mematikan terpampang jelas. Matanya yang tajam menatap Ayana, menyiratkan campuran kegembiraan dan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam dan tak terbaca.
“Tepat waktu,” Arfan tersenyum, menarik kursi untuk Ayana. “Saya suka itu.”
Ayana duduk, mencoba menenangkan diri. Aroma makanan mewah dan bunga segar memenuhi indra penciumannya. “Apa yang sebenarnya ingin Anda bicarakan, Arfan?” tanyanya tanpa basa-basi, mencoba menguasai kegugupannya.
Arfan mengangkat tangan, meminta Ayana untuk bersabar. “Kita pesan makanan dulu. Saya yakin Anda lapar. Dan kita punya banyak waktu.”
Makan malam berlangsung dalam keheningan yang canggung, diselingi obrolan ringan yang terasa dangkal. Ayana merasa diawasi, setiap gerakannya diperhatikan oleh Arfan. Pria itu sesekali melemparkan tatapan intens yang membuat Ayana bergidik, namun sekaligus terpikat.
Setelah hidangan utama selesai dan pelayan pergi, Arfan akhirnya meletakkan garpunya. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, tatapannya kini sepenuhnya terfokus pada Ayana. Atmosfer di antara mereka berubah, menjadi lebih pekat, lebih intim.
“Ayana,” katanya, suaranya rendah dan serak, memanggil namanya seolah itu adalah sebuah rahasia. “Saya tahu ini mungkin akan mengejutkan Anda. Bahkan mungkin akan membuat Anda marah. Tapi saya harus mengatakannya.”
Napas Ayana tertahan. Ini dia. Momen yang ia takutkan sekaligus harapkan. Jantungnya berpacu seperti kuda liar.
“Sejak pertama kali kita bertemu, saya sudah merasakan sesuatu yang berbeda. Ada daya tarik yang kuat, yang tak bisa saya jelaskan. Anda… Anda bukan seperti wanita lain, Ayana. Anda kuat, mandiri, dan rapuh di saat yang bersamaan.”
Ayana menelan ludah. Pujian ini terasa seperti perangkap madu. “Apa intinya, Arfan?” desaknya, mencoba mempertahankan dinding pertahanan.
Senyum Arfan menghilang, digantikan ekspresi serius yang jarang ia tunjukkan. “Intinya adalah,” ia berhenti sejenak, matanya menelusuri wajah Ayana, seolah ingin membaca setiap pikiran di sana. “Saya tidak bisa lagi mengabaikan perasaan ini. Perasaan… terhadap Anda.”
Udara di sekitar mereka seolah menipis. Ayana merasa seluruh tubuhnya menegang. Ini lebih langsung, lebih berani dari yang ia bayangkan.
“Saya tahu ini salah. Saya tahu posisi saya. Anda istri dari keponakan saya. Tapi cinta… cinta tidak mengenal batasan itu, Ayana.” Arfan mengangkat tangannya perlahan, menutupi punggung tangan Ayana yang tergeletak di atas meja. Sentuhannya hangat, membakar kulit Ayana. Sebuah percikan listrik mengalir, membuat Ayana membeku.
“Saya menginginkan Anda, Ayana.” Suara Arfan nyaris berbisik, namun terdengar begitu jelas di telinga Ayana. “Saya menginginkan Anda lebih dari yang pernah saya inginkan wanita lain. Dan saya percaya, jauh di dalam lubuk hati Anda, Anda juga merasakan hal yang sama.”
Ayana ingin menarik tangannya, ingin lari. Tapi tubuhnya menolak. Tatapan Arfan mengunci dirinya, menembus setiap pertahanannya. Ia merasa telanjang, semua perasaannya terbongkar di bawah tatapan intens itu. Ia merasakan kehangatan yang menjalar dari tangan mereka, naik ke lengannya, lalu ke seluruh tubuhnya.
Benarkah? Apakah ia memang merasakan hal yang sama? Kata-kata itu berputar-putar di kepalanya. Dosa. Manisnya dosa.
Arfan mengusap punggung tangan Ayana dengan ibu jarinya, gerakannya lembut dan memabukkan. “Saya tahu ini sulit. Saya tahu ini akan menciptakan badai. Tapi saya siap menghadapi semuanya, jika itu berarti saya bisa bersama Anda.” Ia menarik napas, matanya berkedip penuh gairah. “Ayana, saya ingin Anda menjadi milik saya. Saya akan memberikan apa pun yang Anda inginkan. Posisi yang lebih baik di perusahaan, jaminan masa depan Rafa. Apa pun.”
Ayana menatap Arfan, pikirannya kacau balau. Ia merasakan gairah yang bergejolak di dalam dirinya, berbenturan dengan alarm bahaya yang berteriak. Ini adalah penawaran yang berbahaya, sebuah janji yang bisa menghancurkan atau membangun kembali hidupnya.
“Arfan… ini… ini tidak mungkin,” bisiknya, suaranya serak dan nyaris tak terdengar. Ia mencoba menarik tangannya, namun genggaman Arfan semakin kuat, tidak menyakitkan, tapi tegas.
Arfan tersenyum tipis, senyum yang tahu ia memegang kendali. “Tidak ada yang tidak mungkin, Ayana. Apalagi jika kita berdua sama-sama menginginkannya.” Ia mendekatkan wajahnya, matanya menatap dalam mata Ayana, menantangnya. “Katakan padaku, Ayana. Apakah kamu berani mengambil risiko untuk kebahagiaanmu sendiri? Untuk… kita?”
Sebuah pertanyaan yang menggantung di udara, membebani setiap sel dalam tubuh Ayana. Pertanyaan yang menuntut jawaban, sebuah pilihan antara hidup yang aman tapi hampa, atau melompat ke dalam jurang gairah yang terlarang, dengan konsekuensi yang tak terbayangkan.
Sebelum Ayana bisa menjawab, Arfan mendekatkan wajahnya lebih jauh lagi. Terlalu dekat. Ayana bisa merasakan napas hangatnya di bibirnya. Sebuah sentuhan lembut, seolah Arfan hanya sedang menguji, menunggu izin tak terucap. Tubuh Ayana kaku, antara ingin menolak dan menyerah. Bibir Arfan semakin dekat, nyaris menyentuh bibirnya, berhenti hanya sepersekian inci. Aroma maskulinnya memenuhi paru-paru Ayana, memabukkan dan menguasai segala akal sehatnya.
“Arfan…” Hanya itu yang bisa Ayana bisikkan, sebuah campuran antara protes dan permohonan, saat Arfan memiringkan kepalanya, siap untuk menciumnya di tengah keramaian restoran mewah itu. Dunia Ayana seolah berhenti berputar. Ini bukan sekadar undangan makan malam. Ini adalah awal dari badai yang sesungguhnya.
Benar2 membingungkan & bikin gw jd malas utk membaca novel ini lg
Jgn membingungkan pembaca yg berminat utk membaca novel ini