"Briana Anderson, seorang miliarder berusia 30 tahun, bagaikan menggenggam dunia di tangannya. Dingin, penuh perhitungan, dan pemilik perusahaan multijutaan dolar, ia dikenal sebagai wanita yang selalu mendapatkan segala yang diinginkannya... hingga ia bertemu Molly Welstton.
Molly, yang baru berusia 18 tahun, adalah kebalikan sempurna dari Briana. Polos, pemalu, dan penuh dengan impian, ia berfokus pada studinya di jurusan manajemen bisnis. Namun, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat ketika jalan hidupnya bersilangan dengan CEO paling berkuasa dan posesif di New York.
Apa yang awalnya adalah ketertarikan sederhana, berubah menjadi sebuah obsesi yang membara. Briana bertekad untuk memiliki Molly dalam hidupnya dan akan melakukan segalanya untuk melindungi gadis itu dari ancaman apa pun — nyata atau hanya dalam bayangannya.
Akankah cinta Briana yang posesif dan menguasai cukup kuat untuk meluluhkan kepolosan Molly? Atau justru gairah cemburu si miliarder akan membuat Molly terasa terkurung? Sebuah kisah tentang kekuasaan, kontrol, dan cinta yang menantang semua aturan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raylla Mary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10
Antara Hasrat dan Ketakutan
Malam menyelimuti kota seperti kerudung berat. Lampu-lampu gedung memantul di jendela penthouse Briana Anderson, menerangi sosoknya yang elegan saat dia berdiri di depan dinding kaca, memegang gelas anggur. Tatapannya, terpaku pada cakrawala, dipenuhi dengan pikiran — tetapi, di atas segalanya, dengan kecemasan yang tidak bisa lagi dia kendalikan.
Molly telah memenuhi setiap bagian pikirannya. Sejak dia masuk ke dalam hidupnya, gadis pemalu dan polos itu telah membangkitkan dalam dirinya sesuatu yang belum pernah dia alami dengan siapa pun: keinginan yang luar biasa untuk melindungi, memiliki, dan membentuk.
Bel berbunyi dan Briana segera berbalik. Dia tahu siapa itu. Jantungnya, yang jarang berdebar karena sesuatu selain pekerjaan, berpacu seperti jantung seorang remaja.
Ketika dia membuka pintu, Molly ada di sana, dengan senyum malu-malunya, rambutnya diikat dengan ceroboh dan map studi menempel di dadanya.
"Hai..." kata gadis muda itu, hampir kehabisan napas. "Aku harap aku tidak mengganggu."
Briana mengangkat alisnya, geli dengan keraguan itu. "Kamu tidak pernah mengganggu, Molly. Masuklah."
Mahasiswi itu masuk, melihat sekeliling seperti yang selalu dia lakukan, terkesan dengan kemewahan penthouse itu. Setiap detail tampaknya menelan kepolosannya — perabotan modern, aroma lembut parfum Briana, aura kekuatan yang meresap di tempat itu.
Briana menutup pintu dan berjalan di belakangnya, mendekat perlahan. "Aku merindukanmu, Molly."
Gadis itu tersipu, mengalihkan pandangannya. "Aku juga merindukanmu."
Pengusaha itu tersenyum miring. Dia mendekat lagi, sampai Molly merasakan kehangatan tubuhnya dari belakang. Suaranya rendah, hampir berbisik:
"Apakah kamu tahu betapa seringnya aku memikirkanmu?"
Molly bergidik. Dia tidak tahu bagaimana menjawab, jadi dia hanya menekan jari-jarinya ke map itu, seolah itu adalah perisai.
Briana menyentuh ringan tangan gadis itu, memaksanya untuk rileks. "Letakkan itu. Kamu di rumah sekarang."
Molly menurut, meletakkan map itu di atas meja. Gerakan itu tampak kecil, tetapi baginya itu seperti menyerah pada kekuatan yang tak tertahankan.
"Briana..." gumamnya, tanpa keberanian untuk menatap mata biru intens itu.
Pengusaha itu memiringkan kepalanya, mempelajari setiap fitur wajah gadis muda itu. Itu adalah campuran keinginan dan kehati-hatian, seperti mangsa di depan pemburu. Itu hanya membuatnya semakin bersemangat.
"Aku bisa menciummu sekarang, Molly." Kalimat itu jatuh seperti tantangan. "Tapi apakah kamu akan membiarkannya?"
Jantung mahasiswi itu berpacu. Dia menelan ludah, tidak tahu apakah dia harus mundur atau tersesat dalam tatapan magnetis itu.
"Aku... aku tidak tahu..." gagapnya.
Briana tersenyum, puas. Dia tidak membutuhkan jawaban. Keheningan dan keraguan sudah mengatakan segalanya.
"Kalau begitu mari kita cari tahu bersama-sama," bisiknya.
Dengan hati-hati, dia mengangkat dagu Molly dengan ujung jarinya, memaksanya untuk menatap tatapannya. Intensitas pengusaha itu membuat kaki gadis itu gemetar. Untuk sesaat, Briana berpikir untuk maju, mengambil apa yang dia inginkan... tetapi dia menahan diri.
Itu bukan hanya keinginan duniawi. Itu tentang kontrol, tentang penaklukan lambat, tentang mengubah setiap saat menjadi sesuatu yang tidak akan pernah dilupakan Molly.
"Kamu membuatku gila, Molly," akunya, suaranya yang dalam bergema dalam keheningan. "Begitu polos, begitu manis... tapi aku tahu bahwa di dalam dirimu ada sesuatu yang menunggu untuk dibangkitkan."
Molly tersipu hebat, memalingkan wajahnya. "Aku belum pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya... aku tidak tahu apa yang harus dilakukan."
Briana tertawa rendah, mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu. "Kamu tidak perlu tahu. Kamu hanya perlu percaya padaku."
Kedekatan itu hampir menyesakkan. Parfum Briana, kehangatan napasnya, keteguhan kehadirannya... semuanya menghabiskan Molly. Tubuhnya meminta sesuatu yang belum dipahami pikirannya.
Tiba-tiba, Briana mundur selangkah, memecah ketegangan. Dia pergi ke bar dan mengisi dua gelas anggur.
"Minumlah sedikit. Itu akan membantu untuk rileks."
Molly ragu-ragu, tetapi menerima gelas itu. Dia menyesap dengan malu-malu, dan merasakan kehangatan semakin naik ke seluruh tubuhnya.
"Aku ingin kamu tahu satu hal," kata Briana, kembali mendekat, tetapi kali ini menjaga jarak kecil. "Aku bukan wanita yang mudah dihadapi. Aku cemburu, posesif... dan ketika sesuatu menjadi milikku, aku melindunginya dengan gigi dan kuku."
Kata-kata itu membuat jantung Molly berpacu. Dia tidak tahu apakah dia harus merasa takut atau sensasi keamanan yang aneh.
"Kamu sedikit membuatku takut..." akunya, pelan.
Briana tertawa singkat, tetapi bukan ejekan. Itu lebih seperti peringatan. "Kamu tidak perlu takut. Aku tidak akan pernah melakukan apa pun yang tidak kamu inginkan. Tapi... aku akan menguji batasanmu. Selalu."
Ketegangan tumbuh lagi, mencekik lingkungan. Molly menatap pengusaha itu seolah dia berdiri di depan jurang, siap melompat.
Akhirnya, dengan keberanian yang bahkan tidak dia ketahui, dia bergumam:
"Aku... aku percaya padamu, Briana."
Senyum yang terbentuk di bibir miliarder itu lambat, berbahaya, dan tak tertahankan. Itu adalah kemenangan yang dia tunggu-tunggu.
Dia tidak menciumnya malam itu. Dia tidak perlu. Permainan rayuan sedang berlangsung, dan Molly sudah terperangkap dalam jaringnya.
Dan, untuk pertama kalinya, gadis muda itu menyadari bahwa mungkin dia tidak ingin melarikan diri.
Makan malam telah selesai, tetapi keheningan yang terjadi di antara mereka lebih fasih daripada kata-kata apa pun. Jantung Molly berdebar kencang, mencoba memahami apa yang sedang terjadi padanya. Setiap gerakan Briana, setiap tatapan lama, seolah-olah alam semesta baru terbuka di dalam dirinya.
Briana, pada gilirannya, tetap teguh, posturnya sempurna dan tatapannya tertuju pada Molly, seolah-olah dia bisa melihat menembus jiwanya. Dia telah menaklukkan kerajaan, membeli perusahaan bangkrut dan mengubahnya menjadi kekuatan, tetapi belum pernah merasakan sensasi kemenangan yang disebabkan oleh mahasiswi polos itu hanya dengan tersenyum malu-malu.
"Kamu terlalu diam, Molly..." komentar Briana, dengan nada lembut, hampir provokatif. "Apa yang terjadi di kepala kecil itu?"
Molly mengalihkan pandangannya, dengan gugup memainkan serbet di atas meja.
"Aku hanya... sedang berpikir."
"Berpikir tentang apa?" Briana sedikit mencondongkan tubuh ke depan, parfum mahal melingkupi Molly seperti jebakan manis. "Tentang aku?"
Wajah gadis muda itu langsung memerah. Keheningan adalah jawaban paling jujur yang bisa dia berikan, dan Briana tersenyum puas. Dia bangkit perlahan, mengitari meja dengan langkah mantap sampai dia berdiri di belakang Molly. Dia meletakkan tangannya di bahu gadis itu, membuatnya bergidik.
"Kamu tidak tahu betapa transparannya dirimu..." bisiknya dekat telinganya. "Aku bisa merasakan kegugupanmu, keinginanmu yang tersembunyi... Dan itu hanya membuatku semakin terpesona."
Molly menelan ludah, tanpa keberanian untuk bergerak. Matanya terpaku pada tangan Briana, begitu tegas dan lembut pada saat yang sama, beristirahat di atasnya. Sentuhan sederhana itu memberinya keamanan dan, pada saat yang sama, api batin yang belum pernah dia alami.
"Briana..." panggilnya pelan, tidak tahu pasti apa yang ingin dia katakan.
"Ssst..." Briana mengusap jari-jarinya di lengannya, perlahan. "Kamu tidak perlu bicara. Biarkan aku memimpin."
Lingkungan tampak menyusut, seolah-olah hanya ada mereka berdua di sana. Jam tangan emas di pergelangan tangan Briana bersinar di bawah cahaya lembut, menandai irama napas berat Molly.
"Kamu sedang menguji batasanku..." kata Molly hampir tanpa sadar, dalam bisikan gemetar.
"Aku tahu," jawab Briana, dengan senyum berbahaya. "Dan kamu menyukainya."
Molly tidak memiliki kekuatan untuk menyangkal. Setiap kali Briana mendekat, dia merasa kepolosannya bertabrakan dengan gelombang keinginan yang tak tertahankan. Itu adalah wilayah yang tidak dikenal, tetapi dia ingin menjelajahinya, meskipun dia takut tersesat di dalamnya.
Briana mencondongkan tubuh lebih dekat, bibirnya hampir menyentuh kulit halus leher gadis muda itu. Dia tidak menciumnya, tidak menyentuhnya sama sekali — hanya membiarkan janji itu menggantung di udara.
"Suatu hari nanti, Molly... kamu akan memohon agar aku tidak berhenti." Kata-kata itu diucapkan dengan nada rendah, dalam, sarat dengan intensitas.
Molly memejamkan mata, merasakan getaran menjalar ke seluruh tubuhnya. Ketika dia membuka matanya lagi, dia menemukan Briana berdiri di depannya, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Pengusaha itu mengambil gelas anggurnya dan menyesapnya, tersenyum seolah-olah dia punya semua waktu di dunia.
"Tapi untuk hari ini... itu sudah cukup." Briana mengedipkan mata. "Aku tidak ingin membuatmu takut, sayangku."
Molly tidak bisa bereaksi. Sebagian dirinya ingin melarikan diri, yang lain ingin melemparkan dirinya ke pelukan wanita magnetis itu. Jantungnya berdetak begitu cepat sehingga terasa akan meledak.
Briana berjalan ke pintu, berhenti untuk melihat ke atas bahunya:
"Istirahatlah, Molly. Besok akan menjadi hari baru... dan aku ingin melihat seberapa jauh kamu bisa melangkah."
Molly tetap tidak bergerak, terhipnotis, saat sosok agung Briana menghilang di lorong.
Dan pada saat itu, mahasiswi itu tahu: dia sudah benar-benar tersesat dalam rayuan berbahaya itu.