Demi meraih mimpinya menjadi arsitek, Bunga, 18 tahun, terpaksa menyetujui pernikahan kontrak dengan pria yang ia anggap sebagai kakaknya sendiri. Mereka setuju untuk hidup sebagai "teman serumah" selama empat tahun, namun perjanjian logis mereka mulai goyah saat kebiasaan dan perhatian tulus menumbuhkan cinta yang tak pernah mereka rencanakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faza Hira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Bunga terbangun pukul setengah enam pagi. Anehnya, ia tidak merasa lelah sama sekali, padahal hari-hari OSPEK begitu menguras tenaga. Jantungnya berdebar, tapi bukan karena cemas akan diteriaki senior.
Pagi ini, ia punya misi: Opor Ayam.
Ia bergegas mandi dan berpakaian—kemeja putih dan rok hitam wajib OSPEK, tapi ia menyempatkan diri memakai kaus kaki lucu bergambar alpukat. Setelah rapi, ia membuka pintu kamarnya.
Apartemen itu masih remang-remang, tapi tidak sepi.
Arga sudah rapi dengan kemeja kantornya, kali ini berwarna navy blue yang membuatnya terlihat semakin berwibawa. Ia sedang berdiri di depan mesin kopi, menunggu cangkirnya terisi.
"Pagi, Mas," sapa Bunga ceria.
Arga menoleh. Wajahnya terlihat jauh lebih segar dari dua malam terakhir. Sepertinya tidur dan semangkuk mi instan panas sudah memperbaiki suasana hatinya.
"Pagi," balasnya. "Tumben semangat. Biasanya dibangunin."
"Ih, Mas Arga! Kan Bunga mau belanja. Jadi, kita belanja sekarang?"
Arga melirik jam di dinding. "Lima belas menit. Mas habiskan kopi dulu. Kamu mau sarapan apa? Roti?"
"Nggak usah! Nanti Bunga sekalian beli bubur di supermarket. Ayo, Mas, keburu siang!" desak Bunga, menarik-narik pelan lengan kemeja Arga.
Arga tertawa kecil melihat antusiasme Bunga. "Iya, iya. Sabar, Melati."
Lima belas menit kemudian, mereka berdua keluar dari unit apartemen. Ini adalah pertama kalinya mereka keluar bersama bukan untuk urusan pindahan atau berangkat kerja. Rasanya... aneh. Seperti kencan yang sangat formal.
Supermarket di lantai dasar apartemen itu terang benderang dan dingin. Bunga langsung mengambil troli belanjaan. "Bunga yang dorong!"
"Nggak usah. Biar Mas aja," kata Arga, mengambil alih troli itu. "Kamu fokus aja cari bumbunya. Mas nggak mau opornya nanti rasa gulai."
"Ih, Bunga tahu, kok! Sini!"
Maka dimulailah perburuan bumbu. Bunga berjalan di depan dengan langkah penuh percaya diri, memimpin Arga yang mendorong troli di belakangnya. Ia terlihat seperti seorang ibu rumah tangga muda yang sedang menjalankan tugasnya.
"Santan. Santan kara aja, ya, Mas? Biar praktis," katanya sambil melempar dua kotak santan instan ke troli.
"Hmm."
"Lengkuas, jahe, kunyit, serai, daun salam, daun jeruk..." Bunga memilah-milah rimpang dengan teliti.
Arga, yang mulai bosan, asal mengambil satu kantong plastik berisi rimpang. "Ini, kan?"
Bunga mengambilnya, memeriksanya, lalu berdecak. "Mas Arga! Ini kencur! Buat bikin seblak! Beda!"
"Sama aja kelihatannya," gumam Arga, mengembalikannya dengan malu.
"Beda, ih! Nih, yang ini lengkuas," Bunga mengedukasi, menunjukkan perbedaannya. "Nanti kalau Bunga nggak ada, Mas Arga salah beli lagi."
Kalimat itu terlontar begitu saja. Kalau Bunga nggak ada. Suasana mendadak hening sejenak. Keduanya sadar akan 'perjanjian' mereka. Suatu hari nanti, Bunga memang tidak akan ada di sana.
Arga berdeham, memecah kecanggungan. "Ya, makanya sekarang Mas belajar."
Mereka lanjut ke bagian daging. Bunga memilih-milih potongan ayam paha dengan saksama. Sementara Arga, matanya berkeliling. Tanpa berkata apa-apa, ia berjalan ke rak pendingin dan memasukkan dua botol kopi susu siap minum, sekotak susu UHT, dan—Bunga terkejut melihatnya—satu pak yoghurt rasa stroberi kesukaannya.
"Lho? Mas Arga kok tahu Bunga suka ini?"
"Mas nggak tahu," elak Arga cepat, wajahnya datar. "Mas cuma asal ambil. Kelihatannya enak."
Bunga tahu Arga berbohong. Mas Arga ingat. Sama seperti ia ingat kesukaannya pada sayap ayam. Perhatian kecil yang terselubung di balik sikap kakunya itu membuat pipi Bunga menghangat.
"Pasangan muda, ya? Baru pindah?"
Sebuah suara ramah seorang ibu-ibu paruh baya tiba-tiba menyapa mereka di lorong sereal. Ibu itu tersenyum lebar, melihat Arga yang tinggi dan Bunga yang mungil.
Wajah Bunga langsung memerah padam. "Eh... bukan, Bu. Kami..."
"Titipan, Bu," potong Arga dengan tenang. "Ini adik saya. Dia nge-kost di dekat sini, saya lagi temani belanja bulanan."
Adik.
Kata itu menusuk Bunga lebih tajam dari yang ia duga. Tentu saja. Itu adalah alibi yang paling logis. Tapi entah kenapa, setelah dua hari berbagi kamar, berbagi sarapan, dan sekarang berbagi troli belanja, disebut "adik" rasanya... keliru.
"Oh, kirain," kata Ibu itu, sedikit kecewa. "Soalnya serasi banget. Kakaknya perhatian, ya. Dijagain adiknya."
"Iya, Bu. Permisi," kata Arga, mendorong troli menjauh dari lorong itu dengan cepat, meninggalkan Bunga yang mengekor di belakangnya dengan perasaan campur aduk.
Di kasir, Arga membayar semua belanjaan itu—termasuk bumbu opor Bunga—dengan kartu debitnya. "Masukkan anggaran belanja mingguan," katanya, seolah menjawab pertanyaan Bunga yang belum terucap.
Setelah sarapan bubur ayam cepat di lobi, mereka berpisah. Arga menuju kantornya, Bunga menuju stasiun.
"Mas pulang cepat hari ini," kata Arga sebelum mereka berpisah. "Mau cicip opor ayam pertamamu."
"Pasti enak!" janji Bunga.
"Kita lihat nanti," kata Arga, tersenyum tipis. "Hati-hati di kereta."
Hari ketiga OSPEK adalah tentang pengenalan unit kegiatan mahasiswa (UKM). Jauh lebih santai dan membosankan. Bunga dan Vina duduk di barisan belakang aula, setengah mengantuk.
"Bunga," bisik Vina. "Lihat. Jam sebelas."
Bunga menoleh ke arah yang ditunjuk Vina.
Di pintu masuk aula, berdiri Kak Reza. Ia tidak mengenakan seragam BEM-nya, hanya kaus band indie yang keren, celana jins, dan sneakers. Dia terlihat... mempesona. Dia seperti matahari yang masuk ke ruangan yang membosankan.
Dia sedang berbicara dengan salah satu panitia, lalu matanya memindai kerumunan maba. Dan matanya berhenti. Tepat di Bunga.
Dia tersenyum.
Jantung Bunga serasa berhenti berdetak.
Reza berjalan santai menyusuri lorong, mengabaikan tatapan kagum para mahasiswi baru, dan berhenti tepat di barisan Bunga.
"Hai, Melati," sapanya ramah, suaranya pelan agar tidak mengganggu presentasi UKM di depan.
"H-hai, Kak Reza," gagap Bunga. Vina di sebelahnya sudah terlihat seperti akan pingsan.
"Gimana? Aman?"
"Aman, Kak."
"Bagus." Reza lalu merogoh sakunya. "Haus, kan? Di dalam sini panas." Ia menyodorkan sebotol kecil lemon tea dingin yang berembun.
"Eh... buat Bunga, Kak?"
"Iya. Siapa lagi?" Reza tertawa kecil. "Ambil aja. Tadi saya kebetulan beli dua."
"Makasih banyak, Kak," kata Bunga, menerima botol itu dengan tangan sedikit gemetar.
"Oh ya," lanjut Reza, "saya dengar kabar bagus."
"Kabar apa, Kak?"
"Dito. Senior yang kemarin," kata Reza, merendahkan suaranya. "Dia diskors dari semua kegiatan kepanitiaan semester ini. Kena batunya dia. Saya baru dengar tadi pagi dari dosen kemahasiswaan. Katanya sih, ada laporan masuk tentang track record bullying-nya dia. Syukurlah, jadi kamu nggak akan diganggu lagi."
Bunga terpaku. Diskors.
Ia pikir Arga hanya memberi "peringatan". Tapi ini... ini jauh lebih serius. Kekuatan "telepon" Arga ternyata sedahsyat itu. Arga tidak hanya melindungi Bunga, dia melenyapkan masalahnya.
Bunga tiba-tiba merasa ngeri sekaligus... aman luar biasa.
"Bunga? Kok bengong?" tanya Reza.
"Eh, nggak, Kak. Kaget aja. Syukurlah kalau gitu." Bunga memaksakan senyum. Ia merasa bersalah karena Reza berpikir ini adalah karma atau hasil kerja BEM, padahal ini adalah ulah "suami"-nya.
"Iya. Keadilan harus ditegakkan," kata Reza dengan senyum pahlawan. "Ngomong-ngomong, soal yang saya WA kemarin. Saya lagi butuh bantuan rendering buat proyek sosial BEM, mau bikin taman baca di kampung pinggir rel. Kamu jago gambar, kan?"
"Bisa dikit, Kak..."
"Bagus. Nanti saya kirim detailnya via WA, ya?" tanya Reza. "Atau... mungkin kita bisa ngopi sore ini sambil saya jelasin? Ada kafe bagus dekat kampus."
Ini dia. Ajakan itu.
Jantung Bunga berdebar kencang. Ini adalah impiannya. Diajak ngopi oleh senior tampan, Presiden BEM pula. Ini adalah kehidupan kampus normal yang ia dambakan!
Tapi...
Bayangan Arga melintas di kepalanya. 'Mas pulang cepat hari ini. Mau cicip opor ayam pertamamu.'
"Sore ini... aduh, maaf banget, Kak," kata Bunga, merasa sangat bersalah. "Sore ini Bunga ada janji, Kak. Nggak bisa."
Raut kecewa samar-samar melintas di wajah Reza, tapi ia segera menutupinya dengan senyum. "Oh, janji? Sibuk banget, ya, maba satu ini," candanya. "Ya udah, nggak apa-apa. Gimana kalau... besok?"
"Besok...?" Bunga menggigit bibirnya.
"Besok sore, deh. Di tempat yang sama. Gimana?" desak Reza lembut.
Bunga tidak punya alasan lagi. "I-iya, Kak. Besok sore... bisa."
"Sip!" Senyum Reza merekah. "Nanti saya WA lokasinya. Jangan lupa, ya. Saya tunggu." Ia mengedipkan sebelah matanya, lalu berbalik dan berjalan santai keluar aula.
Begitu Reza hilang dari pandangan, Vina langsung mengguncang-guncang lengan Bunga.
"AAAAAAAAA! DIA NGAJAK LO NGOPiiiiii! BERDUA! BUNGA! GILA! KENAPA LO TOLAK HARI INI? ADA JANJI APA LO SOK SIBUK BANGET?!"
"Sstt! Vina, berisik!" Bunga menutup mulut temannya. Pipinya semerah tomat.
"Janji apa, sih?" desak Vina.
"Mau... mau masak," cicit Bunga.
"APA? MASAK?!" Vina menatapnya seolah Bunga sudah gila. "Lo nolak Presiden BEM demi masak? Lo mau masak apaan emang? Masak batu?"
"Masak opor ayam..." kata Bunga, merasa alasannya terdengar sangat konyol sekarang.
"Ya ampun, Bunga! Lo aneh banget!" Vina menepuk jidatnya. "Untung dia ngajak lagi besok. Awas ya, lo, kalau besok lo bilang mau masak rendang!"
Bunga hanya tertawa kecil. Hatinya melambung tinggi. Ia punya janji kencan—bukan, janji meeting proyek—dengan Kak Reza besok.
Bunga pulang ke apartemen dengan langkah ringan. Ia setengah berlari dari stasiun, tidak sabar untuk memulai misi keduanya hari ini.
Ia tiba di apartemen pukul empat sore. Arga belum pulang. Bagus.
Ia langsung menuju dapur. Ia mengeluarkan semua bahan belanjaan tadi pagi. Ia mengeluarkan cobek pusakanya, bersiap mengulek bumbu halus. Ia menyalakan playlist lagu favoritnya di ponsel.
Satu jam berikutnya, Bunga tenggelam dalam proses memasak. Dapur modern Arga yang biasanya steril, kini berantakan dengan bumbu, mangkuk, dan wajan. Tapi aromanya... surgawi. Wangi tumisan bumbu, santan gurih, dan ayam berpadu memenuhi seluruh ruangan.
Ia menelepon Ibunya. "Ibu! Ini santan kentalnya dimasukkan sekarang, kan? Terus diaduk sampai kapan?"
"Aduk terus, Nduk, jangan sampai pecah santannya..." suara Ibunya terdengar ceria di seberang sana.
Pukul setengah enam, opor ayam itu matang dengan sempurna. Kuahnya kental, kuning keemasan, dan ayamnya empuk. Bunga juga memasak nasi di rice cooker. Ia menata dua piring di meja makan. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri.
Pukul enam lewat lima belas, ia mendengar suara pintu depan dibuka. Cklek.
Arga pulang.
Laki-laki itu masuk sambil melonggarkan dasinya, terlihat lelah seperti biasa. Tapi ia berhenti melangkah tepat di ambang pintu.
Ia memejamkan matanya sejenak, menarik napas dalam-dalam.
"Masuk, Mas," kata Bunga dari dapur, menyeka tangannya di celemek. "Udah matang!"
Arga membuka matanya. Ia menatap Bunga yang berdiri di dapur dengan celemek pink bermotif bunga, lalu menatap meja makan yang sudah tertata. Ia tersenyum. Senyum yang tulus dan sedikit lelah.
"Baunya... kayak di rumah," katanya pelan.
Hati Bunga menghangat mendengarnya. "Ayo, Mas, cuci tangan! Bunga ambilkan nasi."
Arga meletakkan tasnya, mencuci tangan, dan duduk di meja makan. Bunga meletakkan sepiring nasi panas dan semangkuk besar opor ayam di depannya.
"Selamat makan!" kata Bunga antusias.
Ia memperhatikan Arga dengan cemas. Ini adalah penghakiman terbesarnya.
Arga mengambil sendok, menyendok kuah opor, lalu sepotong ayam. Ia mengunyahnya perlahan. Matanya terpejam sejenak, menganalisis rasa.
Bunga menahan napas. "Gimana, Mas?"
Arga menelan kunyahannya. Ia menatap Bunga.
"...Enak."
"Beneran?" pekik Bunga.
"Beneran," kata Arga. Ia mengambil lagi sesendok besar. "Enak banget, Bunga. Bumbunya pas. Nggak beda jauh sama buatan Ibumu."
Pujian itu adalah penghargaan tertinggi. Bunga tersenyum begitu lebar hingga pipinya terasa kram. "Beneran, kan! Bunga bilang juga apa!"
Mereka makan malam. Untuk pertama kalinya, keheningan di antara mereka seratus persen terasa nyaman. Bukan lagi keheningan canggung, bukan keheningan kaku. Ini adalah keheningan yang damai. Keheningan dua orang yang lelah setelah seharian beraktivitas dan kini menikmati makanan rumahan.
Bunga menatap Arga yang makan dengan lahap, bahkan sampai menambah nasi. Ia merasa sangat... bahagia. Ini adalah jenis kebahagiaan yang tenang, hangat, dan memuaskan.
Perasaan ini begitu berbeda dengan debaran jantung yang meletup-letup saat ia bicara dengan Reza tadi siang.
Kak Reza terasa seperti kembang api. Terang, indah, mendebarkan, dan membuat semua orang menoleh.
Mas Arga, di sisi lain, terasa seperti... rumah. Hangat, aman, dan baunya seperti opor ayam.
Tiba-tiba, ponsel Bunga yang tergeletak di meja bergetar.
Sebuah pesan WhatsApp masuk.
[Kak Reza (BEM)]
Besok jadi, ya. Jam 4 sore di Kafe seberang gerbang utama. Saya traktir. 🙂
Bunga menatap pesan itu. Senyumnya sedikit memudar.
Ia menatap layar ponselnya. Lalu ia mendongak, menatap Arga yang sedang asyik membersihkan piringnya dengan sendok kuah opor terakhir. Arga sama sekali tidak sadar akan gejolak di hati Bunga.
Bunga tiba-tiba merasa bersalah. Sangat bersalah.
Besok, ia akan pergi "kencan" pertama di kehidupan kampusnya. Dan ia akan berbohong pada laki-laki di depannya ini—suaminya, pelindungnya, dan orang yang baru saja memuji opor ayam buatannya.
Ia tidak membalas pesan Reza. Belum.