NovelToon NovelToon
DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

DRAGUNOV SAGA : Love That Defies The Death

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Mafia / Romansa / Enemy to Lovers / Roman-Angst Mafia
Popularitas:396
Nilai: 5
Nama Author: Aruna Kim

Apollo Axelion Dragunov, seorang mafia berhati batu dan kejam, tak pernah percaya pada cinta apalagi pernikahan. Namun hidupnya jungkir balik ketika neneknya memperkenalkan Lyora Alexandra Dimitriv, gadis polos yang tampak ceroboh, bodoh, dan sama sekali bukan tipe wanita mafia.
Pernikahan mereka berjalan dingin. Apollo menganggap Lyora hanya beban, istri idiot yang tak bisa apa-apa. Tapi di balik senyum lugu dan tingkah konyolnya, Lyora menyimpan rahasia kelam. Identitas yang tak seorang pun tahu.
Ketika musuh menyerang keluarga Dragunov, Apollo menyaksikan sendiri bagaimana istrinya berdiri di garis depan, memegang senjata dengan tatapan tajam seorang pemimpin.
Istri yang dulu ia hina… kini menjadi ratu mafia yang ditakuti sekaligus dicintai.
❝ Apakah Apollo mampu menerima kenyataan bahwa istrinya bukan sekadar boneka polos, melainkan pewaris singgasana gelap? Atau justru cinta mereka akan hancur oleh rahasia yang terungkap? ❞

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aruna Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 26

Pendopo.- Siang hari.

Bambu di luar bergesekan, ribuan daun berbisik seperti penonton yang menahan napas. Lentera-lentera kecil berayun pelan, memancarkan cahaya kuning temaram yang memantul halus di ukiran naga pada tiang kayu pendopo.

Di antara bayang-bayang itu, dua sosok duduk berhadapan di meja rosewood, Kedua punggung wanita itu tegap, anggun, penuh bahaya yang terkendali.

Amberlyn meneguk tehnya perlahan, menutup mata sejenak, lalu menghembuskan napas santai.

“Apollo Dragunov tidak pernah benar-benar percaya Lyora. Apollo hanya percaya memori luka lamanya. Dan itu selalu kembali pada Rena.” Suaranya datar, seperti membacakan sebuah fakta yang sudah lama diketahui.

Alexandra meletakkan topeng meraknya di meja, bunyi kayu beradu pelan. Ia berdiri sebentar, lalu berjalan mendekat menatap ke arah Amberlyn. “Kau kira aku tidak tahu?” katanya, menyeringai tipis.

“Kakak ku itu tidak pernah percaya orang yang bisa menyimpan rahasia seperti dia. Dia percaya pada rasa sakit; rasa sakit itu membuatnya kuat. Rena adalah rasa sakit yang tak pernah pulih.”

Amberlyn menghela napas panjang, lalu mencondongkan tubuh ke tiang kayu, menggoyangkan kaki santai seolah semua yang dibicarakan hanyalah urusan teh sore. “Padahal sejujurnya,” ucapnya pelan, “Lyora dan Rena adalah orang yang sama.”

Di luar, angin mengoyang bambu seperti jari-jari raksasa mengetuk jendela dunia. Alexandra berjalan kembali dan mengambil topengnya, memandangnya sebentar sebelum menaruhnya dengan sangat rapi.

 “Jadi,” Amberlyn membuka lagi, suaranya tenang, “kau serius ingin menghancurkan nya?”

Alexandra tertawa, tapi bukan tawa riang. Tawa itu panjang, berderak seperti besi tua. “Hancur bukan kata yang pas,” katanya menatap Amberlyn dengan mata yang menyala dingin.

"Dia harus diturunkan dari tahta yang dia dirikan sendiri. Dia harus bangunkan dari ilusi bahwa dirinya pusat segala.”

Amberlyn mengangkat cangkirnya sedikit, gerakan sederhana tapi penuh makna. “Sampai kapanpun dia akan selalu berdiri di atas orang lain. Itu Dragunov. Itu takdirnya.”

“Bukan jika kita mengubah takdir itu,” jawab Alexandra, mencondongkan wajahnya hingga jarak mereka menyusut.

 Ia mengulang dengan nada yang sama dinginnya seperti delapan tahun lalu, saat pengkhianatan masih segar di ingatannya. “ Saudaraku itu terlalu percaya bahwa semua bergerak untuknya. Dia pikir dirinya tak tergantikan.”

Ada jeda. Di kejauhan, seekor burung malam melintas, suaranya nyaris tak terdengar. Amberlyn menyipitkan mata, lalu menanyakan sesuatu yang lebih pribadi. “Kau mau membalas untuk Rena, atau untuk dirimu sendiri?”

Alexandra terdiam beberapa lama. Saat ia menjawab, suaranya rendah, hampir seperti pengakuan: “Mungkin dua-duanya.” Getaran itu tipis, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa dendamnya bukan sekadar alasan dingin. itu luka lama yang menuntut bayaran.

Amberlyn menundukkan kepala, menelaah sketsa-strategi yang terbentang di meja. “Kau tahu menariknya?. Apollo mungkin sudah merasakan bahwa Lyora sekarang… bukan Lyora sepenuhnya.”

Ia meneguk teh lagi, lalu meletakkan cangkir nya dengan hati-hati. “Aku penasaran, seberapa cepat logikanya akan retak saat kebenaran bocor sedikit demi sedikit.”

Alexandra tersenyum samar, matanya menyipit. “Ketika dia mulai percaya Rena mungkin hidup… semua pertahanan rasionalnya akan runtuh."

" Keputusan demi keputusan akan dipengaruhi oleh harapan yang kita buat. Dan ketika dia jatuh, Dragunov Corp. struktur yang dia bangun di atas rasa takut dan rasa bersalah akan ikut roboh.”

Amberlyn menatap ke arah jendela bambu, lalu kembali menatap Alexandra. “Kita tidak perlu serangan frontal. Kita pecah harapan nya. Kita buat dia menggali luka yang tak boleh dibuka. Kita taburkan keraguan lewat hal yang paling menyiksa: harapan.”

Alexandra mendekatkan wajahnya, bisikan hampir tak terdengar, “Bukan cinta,” katanya, menggigit sedikit kata itu. “Bukan cinta yang kita gunakan. Kita mainkan… harapan.”

Amberlyn tersenyum, bukan senyum hangat, melainkan senyum seseorang yang menemu kan celah emas di balik batu. “Baik,” katanya sambil menepuk tangan Alexandra halus. “Kita mulai dengan memecah keyakinan bahwa Rena telah mati.”

Alexandra mengangkat gelasnya. “Begitu ia mulai percaya Rena hidup lagi… segala logika itu runtuh. Dia akan membuat keputusan bodoh demi mengamankan yang ia kira hilang.”

Amberlyn mengangkat cangkir lebih tinggi, keduanya melakukan toast kecil, ritual dingin mereka. “Untuk Dragunov,” kata Amberlyn.

“Untuk akhir seorang Raja,” sahut Alexandra, suaranya landai namun penuh janji.

Di luar, bambu terus bergesekan, bisikannya terdengar seperti suara dunia yang menunggu kehancuran itu dimulai. Lentera berayun, bayangan menari, dan di meja rosewood rencana mereka kini tertempa menjadi niat yang tak bisa ditarik kembali.

Saat Amberlyn dan Alexandra sedang masuk ke inti strategi membelah harapan Apollo . tiba-tiba… sebuah bayangan cepat melintas di pinggir pendopo.

Bukan suara langkah jelas. Bukan pintu yang berderit. Hanya siluet di tempat yang seharus nya kosong . lalu lenyap seolah udara itu sendiri menelan.

Alexandra terdiam. Hening, sampai detak bambu pun terdengar seperti tetesan air.

“…Dia menguping.”

Nada Alexandra turun satu oktaf. Bukan marah. Bukan pula panik. Tapi sadar bahwa permainan mereka tidak sedang mereka dua saja.Ia berdiri pelan dan melangkah seperti predator yang sudah tahu arah buruan.

Ia berjalan menuju lorong samping mansion. Lorong itu kini sepi. Hanya cahaya dari ujung yang memantul di lantai hitam obsidian.

Dan di ujung sana… punggung seorang pelayan wanita berbaju hitam berjalan menjauh perlahan, tanpa sedikit pun terburu-buru. Bahunya lurus, langkahnya stabil.Seolah dia memang menunggu tertangkap basah , tapi tidak ingin memberi kepanikan pada penangkapnya.

Alexandra hanya setengah menyipitkan mata.

Tidak mengejarnya, Hanya menyeringai kecil, sinis, penuh keyakinan bahwa ia baru saja meng-identifikasi pion yang bukan pion.

“Oh… jadi kau.”Ia berbalik kembali dengan keangkuhan dingin khasnya , seolah ia yang masih dominan di papan permainan.

Ia kembali duduk di pendopo. Amberlyn tidak bertanya , mereka sama-sama tidak pernah perlu banyak kata untuk mengerti. Namun di sisi pilar dekat pintu ruang baca…

ada wanita lain. Dia berdiri diam, tenang, memegang teratai hitam seperti simbol otoritas kuno yang tidak pernah dilebur generasi.

Ia melihat semua itu. Seluruh percakapan. Seluruh arah permainan. Senyumnya tipis. Senyum orang yang bukan sedang mematahkan rencana orang lain…

tetapi sedang menunggu timing paling mahal untuk menutup papan. “Oh… jadi itu rencana kalian…”Suaranya halus.

Nyaris seperti mantera yang sudah ribuan tahun sebelum Dragunov berdiri.

Ia memutar teratai hitam di jarinya perlahan , seperti mainan kecil yang tidak berarti apa-apa. Lalu ia berjalan pergi tanpa suara.

Tanpa arah jelas. Tanpa jejak langkah di lantai marmer.Yang tertinggal hanya aroma samar bunga malam…Aroma milik mereka yang pernah mati, lalu memilih untuk kembali.

Black Bloom .

Wanita itu membalik badan. Langkahnya meninggalkan pendopo seperti seseorang yang baru saja mengunci papan catur , lalu turun ke ruangan bawah tanah. Dan lenyap.

Sementara di lantai bawah, Apollo berjalan menuju kamar utama , kamar dia dan Lyora.

Koridor sepi. Hanya bunyi langkah sepatunya yang memantul di marmer. Sampai tiba-tiba , dia berhenti.

Hidungnya menangkap aroma samar yang menusuk memori paling purba di tubuhnya.

Aroma bunga malam bercampur parfum elegan dan dingin. Aroma yang pernah menempel di masa kecilnya. Aroma yang sudah dua puluh tahun tidak pernah ada lagi.

Napasnya tercekat.

“…Ibu.”

Bisikan itu jatuh hampir tanpa suara.Tirai putih di kamar bergoyang pelan, seolah ada seseorang baru saja berdiri di sana beberapa detik lalu, sebelum menghilang. Namun ruangan kosong. Hening. Tak ada siapa pun.

Yang tersisa hanya wangi itu dan rasa dingin yang merayap perlahan di tulang belakang Apollo.

1
tefa(♡u♡)
Thor, aku tunggu cerita selanjutnya, kasih kabar dong.
Aruna Kim: siap !. update menunggu
total 1 replies
shookiebu👽
Aduh, abis baca ini pengen kencan sama tokoh di cerita deh. 😂😂
<|^BeLly^|>
Ga nyangka bisa terkena hook dari karya ini. Jempol atas buat author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!