NovelToon NovelToon
ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cinta Terlarang
Popularitas:266
Nilai: 5
Nama Author: Ardin Ardianto

📌 Pembuka (Disclaimer)

Cerita ini adalah karya fiksi murni. Semua tokoh, organisasi, maupun kejadian tidak berhubungan dengan dunia nyata. Perselingkuhan, konflik pribadi, dan aksi kriminal yang muncul hanya bagian dari alur cerita, bukan cerminan institusi mana pun. Gaya penulisan mengikuti tradisi novel Amerika Utara yang penuh drama dan konflik berlapis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ardin Ardianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Helikopter telah di setujui, tapi belum di pakai.

Lampu neon di langit-langit ruang Markno di lantai tiga bergeming seperti garis beku, memantulkan kilau pucat ke meja kaca yang penuh peta, folder, dan dua cangkir teh yang mengepulkan uap tipis. Solerom—yang di Militaryum Jakarta lebih sering dipanggil Rom—mendorong pintu, masuk tanpa ketukan, seragamnya masih menyimpan sisa debu latihan menembak. Di dalam, Elesa sedang meneguk teh; lidahnya menyentuh [bibir bawah] sebelum menghilang, gerak reflek yang singkat namun cukup untuk membuat Rom menelan ludah. Sekilas—sangat sekilas—ia teringat pada Lina yang sudah dibawa suaminya ke Kota Baja Purnama; kemungkinan untuk selamanya. Kekosongan itu berdenyut, lalu Rom menahannya dengan disiplin.

“Selamat, Rom,” Markno Damarudi—kepala markas lantai tiga, sekaligus penghubung ke Air-Rium Jakarta—berdiri, merapikan topinya. “Pengajuanmu disetujui.”

Rom berhenti di depan meja, tatapannya berpindah dari Markno ke Elesa, lalu kembali lagi. “Unit helikopter?”

“Ya,” jawab Markno. “Satu kompartemen heli kelas taktis—airframe ringan, variable pitch, posisi duduk tandem—dipinjamkan penuh ke Militaryum Jakarta. Tapi… pilot dari Air-Rium yang akan mengemudi.”

Elesa meletakkan cangkirnya dengan bunyi denting pelan. “Terikat pada klausul operasional gabungan. Mereka maunya sistem avionik, flight plan, dan jadwal perawatan semua lewat Air-Rium. Kita dapat akses, tapi bukan kontrol penuh.”

Rom menghela napas, setengah lega, setengah tidak. “Aku butuh burung itu untuk malam ini. Bukan minggu depan.”

“Burungnya siap malam ini,” timpal Elesa cepat. “Pilotnya juga. Mereka sudah di apron. Tapi, Rom, ingat… komando penerbangan tetap lewat Air-Rium.”

Rom menatapnya—sekilas, cukup untuk Elesa merasakan semacam aliran panas yang tak diakui; dendam tipis mengendap karena kejadian semalam—ketika Rom (menutup mulut) Elesa dengan telapak tangan agar rapat negosiasi tidak berantakan oleh lontaran kata-katanya. Grogi itu melintas di wajah mereka berdua seperti kilat yang tak jadi hujan.

Televisi di sudut ruangan menayangkan berita pagi. Running text berputar: “Rumah Sakit Kencana Permata Indah diduga mengalami pembobolan data…” Reporter berbicara cepat, menahan euforia eksklusif. Rom memicingkan mata.

“Baru ‘duga’,” gumam Rom. “Padahal semalam aku dapat potongan log—indikasi intrusi di jaringan radiologi dan billing.”

Elesa tak berkedip. “Kami dapat lebih dulu,” katanya datar. “Empat jam sebelum tayang. Endpoint mereka dipakai sebagai pivot ke dua server pemerintah daerah. Paketnya rapi. Signature-nya mirip grup yang mencuri data daftar wajib militer tahun lalu.”

Markno menggeser map ke arah Rom. “Ini rencana sergap. Butuh heli untuk penjejakan sinyal di atas jalur tol dan pinggiran pesisir. Kita curiga van yang dipakai sebagai relay bergerak sudah keluar kota. Jalur darat terlambat; udara lebih cepat.”

Rom membuka map, melihat pola grid dan tanda X merah. “Kalau heli dipegang Air-Rium,” katanya lambat, “kerja sama dengan Militaryum harus diatur ulang. Siapa komando misi? Siapa otorisasi eksekusi turun-paksa? Siapa yang memutuskan jam lampu padam di udara?”

“Kalau soal itu…” Markno menyandarkan punggung, menghela. “Air-Rium minta chain of command ganda. Mereka pegang flight safety dan keputusan penerbangan. Kita pegang keputusan taktis di darat.”

“Keputusan taktis di udara adalah taktis juga,” potong Rom. “Jika aku butuh drop cepat di titik C-7, aku tak mau menunggu clearance radio yang melingkar tiga satuan.”

“Safety, Rom.” Elesa mengangkat alis. “Kalau kau menabrakkan taktikmu ke rotor RPM, habis kita semua.”

Rom memutar kunci geser map, menahan nada. “Efisiensi bukan berarti ugal-ugalan. Tapi dua kepala di satu kokpit? Itu resep kebocoran menit-menit emas.”

Markno mengetuk meja pelan, sinyal agar diskusi kembali ke struktur. “Begini: Air-Rium siap kasih pilot dan officer-navigator. Mereka juga menawarkan satu paket kursus heli untuk prajurit Militaryum yang berminat. Dua minggu percepatan, fokus IFR dasar, NVG (night vision goggle) familiarization, dan manuver taktis di ketinggian rendah.”

“Ditolak,” ujar Rom spontan.

“Kau bahkan belum—” Elesa menahan diri, mengeraskan rahang. “Rom, ini kesempatan. Dua minggu bukan waktu panjang untuk sebuah lisensi awal.”

“Dua minggu adalah kerawanan,” balas Rom. “Musuh tidak istirahat menunggu kurikulum selesai. Mereka baru saja menembus RS. Berikutnya bisa pusat kependudukan. Atau gudang logistik. Aku butuh helinya sekarang. Pilotnya boleh dari Air-Rium, tapi sistem kerja mengikuti prosedur lapangan kami.”

Elesa mendesah, menatap layar TV lagi. “Kalau sistem kami tidak diikuti, asuransi penerbangan batal, logbook rusak, dan aku yang kena audit.”

“Dan kalau sistem kami tidak diikuti,” Rom menimpali, “musuh lolos dan kota ini jadi mainan. Pilih auditor atau kehilangan kota?”

Keheningan jatuh sejenak. Denting jarum jam terdengar seperti ketukan sepatu di lorong kosong. Markno mengambil remote, mengecilkan volume TV, lalu menggeser peta jalur pesisir ke tengah.

“Kita kompromi,” kata Markno. “Air-Rium pegang instrumen penerbangan; Militaryum pegang taktis. Tapi… ada liaison—satu kursi di heli—yang berbicara dua bahasa: bahasa udara dan bahasa darat. Perintah taktis lewat dia. Keputusan safety absolut tetap di pilot, tapi liaisonlah yang mengkonversi kebutuhan lapangan ke bahasa kokpit.”

Rom merenung. Elesa mengamati garis rahang Rom yang menegang—dan benci dirinya karena menyadari hal kecil seperti itu. (Menelan) pelan, ia menyibak beberapa lembar dokumen.

“Kita punya satu nama,” kata Elesa akhirnya. “Letda Pangalay—lulusan teknik avionik, unitnya di Militaryum tapi sempat ikut magang singkat Air-Rium. Dia bukan pilot, tapi paham verbal callout. Bisa jadi lidah bersama.”

Rom mengangguk, enggan menunjukkan bahwa usulan itu masuk akal. “Baik. Letda Pangalay jadi liaison. Tapi dengar aku: begitu heli take-off dalam misi ini, jam operasi, pola luncur, dan tempo turun harus sinkron dengan playbook kami. Tidak ada holding pattern yang tidak perlu. Tidak ada orbit tambahan karena ‘ragu’. Di X-ray seven, kita turun.”

“Dan kalau cuaca memaksa go-around?” Elesa menyilang tangan.

“Kalau cuaca memaksa, kita go-around.” Rom menatapnya lurus. “Aku bukan bunuh diri. Tapi aku juga tidak menunggu restu untuk setiap belok.”

Pertengkaran kecil itu menyala. Nada naik turun—bukan teriakan, tapi intensitas tajam seperti dua mata pisau yang saling mengasah. Mereka berdebat soal efisiensi pengisian bahan bakar hot-refuel di apron, tentang apakah sensor FLIR diprioritaskan dibandingkan pod surveilans spektrum, tentang garis batas yurisdiksi ketika heli menyeberang ke ruang udara sipil. Markno beberapa kali memecah perdebatan dengan ketukan meja, menyaring butir-butir yang bisa ditulis sebagai lampiran operasi.

“Kalau Air-Rium tetap pegang logistik rotor, berarti jadwal perawatan malam ini milik kami,” ucap Elesa, menahan nada agar tetap profesional. “Kalian tak bisa minta jam terbang tambahan di menit terakhir.”

“Kami tidak minta jam tambahan,” Rom membalas. “Kami minta jam yang tepat.”

“Semantik,” sergah Elesa.

“Matematika,” kata Rom.

Sejenak, mereka saling tatap lagi—grogi tipis seperti kabel yang menegang. Elesa mendadak mengingat lagi momen semalam: tangan Rom (menutup) mulutnya, bukan untuk merendahkan, tetapi untuk mengunci waktu yang berlarian. Ia marah karena dibungkam; ia marah karena mengerti motifnya—agar negosiasi lolos. Rasa itu campur aduk, anehnya bertemu manis yang tidak ia inginkan. Rom memalingkan wajah, seolah tahu dirinya sedang teramati. Ada kilasan liar—keinginan untuk (mendekat), untuk [menggigit] [bibir] Elesa—yang Rom kubur dalam protokol.

Telepon meja berdering—nada panjang yang memotong ketegangan seperti pisau. Markno mengangkat tanpa basa-basi, bahunya menegang.

“Damarudi,” suaranya pendek.

Dari seberang, suara serak dan terburu: “Kepolisian Jakarta. Mohon bantuan cepat, Markno. Kericuhan raksasa di Rumah Sakit Kencana Permata Indah. Warga mengamuk, siap merobohkan gedung kalau perlu. Pasien sudah mulai dievakuasi ke rumah sakit lain. Kami butuh perimeter, butuh kontrol massa, dan… butuh kemampuan siber kalian.”

Rom mendorong peta setengah inci, menajamkan pendengaran. Elesa sudah meraih tablet, jemarinya (menyapu) layar seperti bidak yang tahu ke mana persis melangkah.

“Apa pemicu utamanya?” tanya Markno.

“Video,” jawab pihak kepolisian. “Vulgar—dari ruang persalinan, ginekologi, bedah, sampai prosedur kecil pemasangan kateter—semua tersebar di internet, tanpa sensor, tanpa hak. Orang-orang mengaku keluarga pasien; mereka melihat wajah kerabat mereka. Beberapa video disematkan dengan nama-nama. Situasi nyaris tak terkendali.”

Urat di pelipis Markno berdenyut. “Kami bergerak.” Telepon ditutup. Sejenak hening—hening yang berat, seperti udara enggan lewat.

Elesa meletakkan tablet di tengah meja. Tayangan-tayangan terbuka seperti luka tanpa perban: halaman-halaman bajakan, unggahan ulang, kanal anonim. “Skema sebarannya cepat,” gumamnya. “Ada bot memicu trending. Lalu repost manual oleh akun-akun kecil.”

Rom bernapas pelan. “Ada watermark?”

Elesa memperbesar satu bingkai. “Ada. Tipis. Dan… oh Tuhan.” Ia menatap Markno. “Ini… ini persalinan istrimu, Pak.”

Untuk sepersekian detik, kepala Markno seperti dihantam palu. Cahaya neon memantul di bola matanya, hampa. Napasnya patah. Ia menahan meja dengan satu tangan, jari-jarinya memutih.

“Sematannya pakai namamu,” lanjut Elesa pelan, hati-hati. “Bukan kebetulan.”

Rom menegakkan tubuh. “Targeted smear. Mereka bukan sekadar mencuri data; mereka ingin membakar kota dengan bensin emosi.”

Markno menarik napas panjang, menahan gemetar yang berusaha naik dari pusat perut ke tenggorokan. Ketika ia bicara lagi, suaranya kembali berbentuk komando—parau, tapi terbaca. “Oke. Kita balas dengan struktur.”

Ia menekan tombol interkom ke jaringan internal Militaryum. “Semua unit siaga. Kanal Bravo-2, dengar. Aku Markno Damarudi. Prioritas merah. Kericuhan di Kencana Permata Indah. Skenario: perimeter, evakuasi, hindari kontak fisik yang memicu balasan massa. Bawa perisai, bukan peluru. Unit Lapangan: Tombak-Satu, Duri-Dua, tameng ke garis depan. Unit Medis: siapkan triase di halaman belakang RSUD tetangga, koordinasi dengan ambulans sipil. Komunikasi: kurangi loud-hailer provokatif; gunakan pesan menenangkan.”

Ia berhenti sejenak, menekan tombol kanal lain. “Unit Siber—Semua peretas internal: siaga. Kita butuh dua stream. Stream satu: take-down dan pelaporan massal ke platform—gunakan jalur kepercayaan kita. Stream dua: forensik—cari asal unggah pertama, signature, dan pivot log dari endpoint rumah sakit. Aku ulang, prioritas merah.”

Rom memutar kursi sedikit, mensinkronkan timing. “Aku koordinasi jalur darat dengan Tombak-Satu. Pola masuk: sayap kanan dari parkiran selatan. Jangan hadang ambulans.”

Elesa mengangkat tangan kecil, memberi isyarat untuk menahan sebentar. “Pak, izinkan aku aktifkan jalur trusted flagger,” katanya pada Markno. “Untuk percepat takedown.”

“Lakukan,” kata Markno—singkat, padat.

Tablet Elesa menari dalam sunyi: lembar legal template, API pelaporan, daftar tautan prioritas, parameter kata kunci. “Ada jejak yang sama dengan kasus peretasan daftar wajib militer tahun lalu,” sambungnya, mata terus menyisir data. “Kali ini lebih kejam—mereka sengaja mengatur urutan unggahan sehingga setiap jam ada pemantik baru. Emosi massa dijaga agar tak turun.”

“Berapa cepat kita bisa memutus sebaran?” tanya Rom.

“Jika platform kooperatif, menit-menit awal bisa disapu. Tapi salinan lokal dan mirror… tak bisa nol. Yang bisa kita lakukan: potong kepala ular—seed pertamanya—lalu bekukan algoritma penyebar.”

Markno menekan tombol mikrofon lagi, suaranya kini menggema ke lorong-lorong markas. “Untuk pasukan lapangan: prioritas keselamatan pasien. Jika massa memaksa masuk ke ICU, forms Wedge dan bawa keluar pasien satu per satu. Ingat, ini bukan musuh; ini warga yang marah. Bedakan provokator.”

“Pak,” sela Rom, “kita perlu satu tim kecil untuk ‘mengeringkan’ bahan bakar massa. Orator menenangkan, bukan polisi. Aku minta satu juru bicara perawat senior. Suara dari dalam selimutkan api dari luar.”

Markno mengangguk cepat. “Catat. Akan kuhubungi Humas RS tetangga.”

Tiba-tiba, dinding kaca bergetar samar—kerumunan di luar telah mencapai halaman depan. Sirene mengiris malam. Dari TV, gambar berganti ke siaran langsung: pagar rumah sakit berguncang, poster-poster mengecam, wajah-wajah putus asa dan murka bercampur dalam satu gelombang.

“Perimeter harus terbentuk sekarang,” ucap Rom ke handset taktis. “Tombak-Satu, formasi perisai, jaga jarak satu setengah meter. Jangan adu dorong. Tarik garis pita kuning dua lapis. Duri-Dua, siapkan buffer zone untuk ambulans keluar-masuk.”

“Copy,” terdengar sahutan berlapis.

Elesa memiringkan tablet. “Pak, aku butuh izin memanggil pasukan perentas swasta—rekanan yang biasa jadi cleaner team untuk insiden publik. Kita perlu tangan banyak untuk proses takedown dan counter-seeding.”

Markno menatapnya, ragu sekejap—prosedur selalu mencurigai pihak ketiga. Namun tatapannya jatuh lagi ke bingkai berhenti—wajah istrinya—dan ragu itu hancur. “Panggil. Minta mereka ke rumah sakit. Mereka bekerja di bawah koordinasimu. Semua aktivitas log disimpan.”

Elesa mengangguk, (mengetik) cepat. “Tim Swasta A, B, C—bergerak. Titik kumpul: pos polisi depan RS. Bawa kit forensik portabel.”

Rom melirik jam di pergelangan. “Kita butuh loud-hailer dengan narasi tidak memicu. Hindari kata ‘ilegal’ atau ‘dilarang’ di menit-menit awal. Pakai ‘tolong menepi’, ‘beri ruang pasien’, ‘ada jalur evakuasi’. Validasi psikologi massa.”

“Setuju,” kata Markno. Ia menekan lagi mikrofon. “Komunikasi lapangan: teks pesan disiarkan sesuai saran Rom. Rekam respons massa.”

Suara dari TV meninggi—reporter kehilangan jarak aman, gambar bergoyang. Pagar depan terlepas di satu sisi. Beberapa orang melempar botol kosong—bunyi pecah memantul.

“Ini akan menetes ke ruang UGD,” kata Elesa rendah. “Kalau pecah di dalam, kita kehilangan kendali.”

“Duri-Dua,” panggil Rom, “buka jalur samping kanan. Ambil sepuluh orang dengan soft barrier. Alihkan arus ke lapangan sekolah sebelah untuk de-escalation. Cari tetua RT/RW—suara komunitas sering lebih didengar ketimbang seragam.”

“Copy.”

Markno mengusap wajah, sekali, dalam-dalam. Saat tangannya turun, yang tersisa hanya perwira. “Aku butuh asal seed. Elesa.”

Elesa membuka jendela konsol baru. “Ada tiga unggahan primer berjarak tiga menit. Dua memakai server luar negeri, satu compromised home router di daerah pesisir—diduga van relay yang tadi kita identifikasi. Titik Ki-48 mengarah ke situ.” Ia mengangkat mata pada Rom. “Skenario udara tadi—masih relevan. Tapi…”

“Tapi kali ini kau tak mengizinkannya,” sela Rom, tenang.

Sorot mata Markno menajam. “Misi belum pakai helikopter,” katanya, suara tegas bagai palu sidang. “Tidak ada negosiasi. Rom, kau tetap di ruang ini. Koordinasi pusat. Aku butuh otakmu dingin, bukan tubuhmu terguncang rotor.”

Rom menahan reaksi. Ada dorongan untuk menolak—untuk melompat ke apron, memaksa langit tunduk pada taktik. Namun ia menangkap sekelebat di mata Markno: bukan semata komando, tapi seorang suami yang sedang menjaga agar keputusan tidak dibakar oleh dendam pribadi.

“Siap,” kata Rom akhirnya. “Aku kunci darat. Kita mainkan papan sirkuit kota.”

Elesa menutup satu tab dan membuka tab lain; dashboard takedown bergerak, angka-angka turun perlahan, lalu lebih cepat. “Tiga puluh dua tautan primer dipotong. Cermin mulai bermunculan. Tim Swasta A sudah on-site.”

Markno menekan tombol PA internal Militaryum, kali ini suaranya diarahkan ke seluruh sayap markas: “Semua personel, ini operasi berbasis restraint. Kita lindungi pasien, bukan memburu warga. Provokator ditandai, bukan dikeroyok. Kamera kalian bagian dari catatan resmi—rekam, jangan pancing. Dan… terima kasih.”

Ia melepas tombol, menatap dua orang di hadapannya—Rom dan Elesa—seolah hendak mengatakan sesuatu yang bukan bagian dari protokol. Yang keluar hanya satu kalimat kering, tetapi bergetar di tepinya: “Jangan biarkan mereka menghancurkan perempuan itu untuk kedua kalinya.”

Rom mencondongkan tubuh. “Tidak akan.”

“Tidak akan,” ulang Elesa, lebih lembut.

Markno meraih field jacket, memasangnya dengan gerakan otomatis. “Aku ke depan. Komando lapangan butuh wajah.” Ia melangkah, lalu berhenti di ambang pintu. Menoleh sekali. “Rom—kau pusatkan bridge komunikasi. Elesa—kau cut the fuel. Tulis semua. Simpan semua.”

“Kopi panas menunggu kalau kita menang,” tambah Rom, ringan tapi tegas.

Markno mengangguk—tatapan singkat yang lebih mirip salam prajurit daripada persetujuan—lalu pergi. Pintu menutup. Gemuruh jauh dari luar menyelinap lewat ventilasi, bagai badai yang mencoba mengeja nama-nama.

Tersisa Elesa dan Rom.

Di meja, tablet Elesa berdenyut dengan pemberitahuan baru; peta digital di depan Rom menyala dengan rute-rute biru yang bergerak; jam dinding membuat garis tipis yang tak pernah berhenti. Untuk sesaat, mereka saling melihat—bukan lagi tentang heli, bukan lagi tentang siapa memegang komando, melainkan tentang kota yang harus tetap utuh, dan seorang bayi dalam video yang tak seharusnya jadi konsumsi dunia.

Elesa (menarik napas), mencondongkan layar ke arah Rom. “Aku butuh satu hal darimu.”

“Apa?”

“Kalimat tiga baris untuk loud-hailer. Bahasa Rom. Jelas, keras yang lembut.”

Rom mengangguk pelan, menatap kosong setengah detik seperti sedang menulis di udara, kemudian mendikte: “Warga Jakarta, kami mohon ruang untuk pasien. Biarkan ambulans lewat. Kami sedang menolong keluarga kalian dari dalam.”

Elesa menuliskannya, memperbaiki satu diksi kecil, menambahkan jeda di antara baris. “Bagus.”

Di luar, sirene menjauh sesaat. Di dalam, dua cangkir teh di meja telah kehilangan uapnya. Rom menyadari jemarinya mengepal, lalu sengaja (mengendurkannya). Elesa menyadari rahangnya menegang, lalu menelannya pelan.

Kerja belum selesai. Malam belum berpihak. Tapi sementara ini, pusat kendali ada di sini: ruang lantai tiga, lampu neon pucat, peta-peta, dan dua manusia yang memilih menahan lidah dari kata-kata yang tak perlu—agar kota punya kesempatan bangun esok pagi dengan lebih sedikit luka.

Lampu neon di langit-langit ruang lantai tiga mendesis pelan, seperti ular listrik yang malas bergerak. Bau kertas lembap bercampur jejak teh yang sudah mendingin. Di dinding, peta kota menunggu jari-jari yang berani memutuskan garis.

Rom berdiri setengah condong pada meja kaca, napasnya masih memikul sisa adrenalin dari kabar di luar. “Mengapa aku tetap di sini? Bukankah seharusnya aku ikut bertempur… maksudku, menenangkan warga,” ucapnya—lebih seperti desis yang tak ingin terdengar memohon.

Elesa tidak langsung menoleh. Ia merapikan berkas, merapatkan spine map dengan telapak (menekan) satu kali, baru suaranya keluar, rata tapi tebal. “Urus dulu helikoptermu.”

Rom membenarkan posisi bahu, separuh tersenyum, separuh kesal. “Emang kita pakai helikopter? Ehh… yang bener dong, Elesa—maksud saya, Bu Elesa.”

Nada “Bu” itu terdengar canggung, menggelinding patah di lantai dingin. Elesa mundur selangkah, bukan lari, tetapi seperti orang yang menjaga garis tak terlihat di udara. Sorot matanya singkat, waspada. Rom, refleks melangkah kecil—nyaris tidak terdengar—dan perubahan mikro itu memantik gerak Elesa: (mengangkat) telapak tangan ke depan bibirnya, penegas batas yang tak butuh kata.

“Jangan mendekat,” katanya, datar, dengan jeda yang disengaja. “Duduklah.”

Rom berhenti. “Kenapa sih, El… eh, Bu—gitu banget…”

Sekejap, senyap menelan ruang. Jarum jam di dinding menekankan detik seperti palu kecil memaku syaraf. Elesa menyapu napas pelan, menaruh map ke sisi meja, lalu menatap tepat di antara alis Rom—tempat ego sering tinggal. “Kamu tunggu arahan. Jangan ngeyel. Kalau nanti musuh terlacak, siapa yang bakal nemenin pilot helikopter?”

Rom mengerjap, menahan kecenderungan membalas dengan nada keras. “Kan saya cuma tanya…”

“Mundur, Rom.” Suara Elesa merendah namun mengikat. “Aku akan berteriak jika kamu maju selangkah lagi.”

Kata “berteriak” menggema di kepalanya sebagai kemungkinan, bukan ancaman kosong. Rom menahan bahu yang sempat naik, membiarkan gravitasi (menurunkannya) kembali. “O… oke, Bu.”

Ia menarik kursi—gesek logamnya pendek, tertib. Rom duduk, kedua telapak (menekap) lutut, pandangannya jatuh pada peta. Di pinggir penglihatannya, siluet Elesa tetap tegak, seperti tiang bendera di badai: tidak mundur, tidak menyerang, hanya memastikan kainnya tidak tercabik.

ponsel elesa di saku dada menyala , telepon berdering, elesa mengambil ponsel nya.

1
Suzy❤️Koko
Makin penasaran nih!
Ardin Ardianto: "Semoga segera terobati penasaranmu! Bab berikutnya akan segera hadir. Kami akan sangat menghargai bantuan Anda dengan saran dan masukan Anda untuk membuat cerita ini semakin menarik."
total 1 replies
Daisy
Aku jadi nggak sabar pengen baca kelanjutannya! 🤩
Ardin Ardianto: Terima kasih atas kesabaran Anda. Bab berikutnya akan segera tayang dengan konten yang lebih menarik
total 1 replies
foxy_gamer156
Tidak sabar untuk sekuelnya!
Ardin Ardianto: "Terima kasih atas antusiasme dan kesabaran Anda! Kami sangat menghargai dukungan Anda dan senang mendengar pendapat Anda. Kami menerima masukan dan saran Anda untuk membantu kami meningkatkan kualitas konten kami. Silakan berbagi pendapat Anda tentang apa yang ingin Anda lihat di bab berikutnya!"
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!