Arabella seorang anak perempuan yang menyimpan dendam terhadap sang Ayah, hal itu diawali sejak sang Ayah ketahuan selingkuh di tempat umum, Ara kecil berharap ayahnya akan memilih dirinya, namun ternyata sang ayah malah memilih wanita lain dan sempat memaki istrinya karena menjambak rambut selingkuhannya itu.
Kejadian pahit ini disaksikan langsung oleh anak berusia 8 tahun, sejak saat itu rasa sayang Ara terhadap ayahnya berubah menjadi dendam.
Mampukah Arabella membalaskan semua rasa sakit yang di derita oleh ibunya??
Nantikan kisah selanjutnya hanya di Manga Toon
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumarhumah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Apa Nak, jadi Papa tidak membelamu lagi?" suara Sena tercekat, bibirnya tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
Tangan itu langsung memeluk erat, mencoba menghapus rasa sakit hati sang anak meskipun itu tidak mungkin, hari Ara sudah terlanjur sakit dengan perlakuan ayahnya yang menang sudah lupa diri.
"Sayang, kuat ya Nak, suatu saat ayahmu pasti akan berubah," ucap Sena.
Anak itu hanya bisa diam, sambil menunduk, namun kemudian dengan perlahan ia mulai mengangkat wajahnya. "Ma, kalau boleh Ara meminta, bolehkah, kita pergi saja dari rumah itu, Ara sudah tidak mau bertemu sama Papa ...," pinta anaknya itu.
Seketika dunia Sena seperti berhenti berputar, ia tidak habis pikir jika anak sekecil Ara akan memilih jalan untuk menjauh dari pada bertahan. 'Astaga Mas Dirga, sedalam apa luka yang kau torehkan, apa tidak cukup hanya denganku kenapa harus Ara yang mengalaminya,' batin Sena.
Sena langsung mengajak pulang sang anak, di dalam perjalanan ia tidak mau sedikitpun melepas genggamannya untuk sang anak, untuk saat ini hanya seorang ibulah yang mampu menenangkan hati sang anak, di saat orang yang seharusnya menjadi rumah malah pergi meninggalkan.
"Anakku selama ada aku, kau akan baik-baik saja Nak," ucap Sena sambil fokus ke arah jalanan.
Sesampainya di rumah Ara benar-benar tidak mau diajak masuk, bayangan sang ayah yang tidak pernah ada dipihaknya mulai menari-nari di pikirannya, dia hanya seorang anak yang keluh kesahnya ingin di dengar, dan di perhatikan melalui kontan batin atau fisik, namun sayang Ara tidak mendapatkan itu.
"Kenapa Papa tidak membela Ara," gumamnya dengan tatapan nanar.
Sena yang mendengarnya langsung mengelus kepala sang anak. "Sayang, jangan mikirin itu lagi ya," ucapnya dengan lembut, namun tidak bisa membuat luka sang anak hilang begitu saja. "Ayo masuk Nak," ajak Sena segera.
Namun tangan Sena ditepis begitu saja oleh sang anak. "Mama masuk saja, aku gak mau tinggal di rumah ini lagi, aku sudah tidak mau bertemu dengan Papa, ayo Ma, segera kemasi barang-barang kita," desak putrinya itu.
Sena terdiam, memang benar kata sang anak semenjak kejadian semalam Dirga tidak ada pulang ataupun meminta maaf, dan hal itu menjadikan alasan kuat untuk pergi,membawa semua luka yang ada.
"Tunggu sebentar ya Nak, Mama kemasi semua baju," pamit Sena.
Langkah wanita itu mantap melangkah masuk, bukan untuk menjadi penghuni rumah itu lagi, melainkan untuk pergi tanpa pamit, sesampainya di kamar, Sena hanya bisa menulis surat yang berisi catatan kecil agar Dirga tidak perlu mencarinya lagi.
"Jika kau membaca surat ini mungkin kami berdua sudah pergi jauh, jangan pernah lagi temui atau cari kami, karena anak perempuanmu sudah merasa kecewa terhadap bapaknya sendiri, orang yang seharusnya menjadi garda terdepan, ternyata malah menancapkan pisau di hati gadis kecilmu," Senandung Cinta.
Setelah menulis surat untuk suaminya, Sena mulai berkemas dengan cepat-cepat, karena khawatir dengan anaknya yang menunggu di depan rumah. Tidak banyak barang yang diambil, hanya barang-barang kebutuhannya saja dan juga perhiasan hasilnya sendiri yang ia dapatkan dari kerja kerasnya.
Setelah itu ia mulai beralih ke kamar anaknya, sama halnya apa yang dilakukan dikamarnya sebelumnya, tak ada barang yang banyak, yang ia bawa hanya semuat kopernya saja. Selesai mengemas, ia pun langsung menyeret kedua koper besar itu keluar dari rumah, rumah yang sudah delapan tahun ini ia huni bersama keluarga kecilnya.
"Selamat tinggal, terima kasih sudah menjadi tempat ternyaman kita selama delapan tahun ini.
Sena keluar dengan hari tegar, mencoba untuk tidak tantrum meskipun luka yang ia terima tidak sebanding dengan pengorbanannya menjadi seorang istri.
"Sayang, makasih ya udah mau nungguin Mama," ucap Sena.
"Iya Ma," sahut Ara.
Sementara itu asisten rumah tangga mereka hanya bisa menangisi kepergian majikannya yang tidak tahu akan pergi kemana.
"Bu ... jangan pergi Bu," cegah asisten rumah tangganya itu.
"Bi Jum, kalau ada salah kata, tolong dimaafkan ya, maaf, aku harus pergi," ujar Sena singkat lalu mulai memasukkan sendiri koper-kopernya.
Mobil Sena mulai melaju, meninggalkan rumah yang penuh ketenangan, di dalam perjalanan, Sena tidak pernah mengalihkan pandangannya ke anaknya meskipun saat ini dirinya sedang menyetir, jemari lentik itu selalu mengelus bahu tangan Ara memastikan anaknya sedang baik-baik saja.
"Nak, kau tidak lapar, kita berhenti sebentar untuk makan."
Dengan cepat Ara menggelengkan kepalanya. "Kita belum keluar dari kota ini Ma," sahutnya seolah tidak mau lagi menginjakkan kakinya di kota ini.
Sena hanya bisa mengelus dada, sedalam itukah luka yang tengah dihadapi oleh anaknya.
☘️☘️☘️☘️
Malam harinya, angin malam masuk menyelinap melalui celah jendela, suasana rumah besar itu terasa sepi, apalagi disaat tuan rumah mulai menginjakkan kaki di dalam rumahnya, rumah yang ia datangi ketika ada inginnya saja, rumah yang saat ini jarang ia pijak.
Namun tatapannya sekarang mulai heran, harinya mulai berdebar, seperti ada yang kurang dari rumah ini, dimana istri yang setiap malam selalu menyambutnya dengan senyuman, dimana rengekan Ara yang selalu menuntutnya untuk pulang cepat.
Semuanya terasa hambar, rumah ini serasa kosong tak berpenghuni. "Ma ... Mama ... Ara ... Papa pulang Nak ...," ucap Dirga seolah sambil melangkah ke ruang tengah tempat Ara dan Sena bermain sambil menunggu dirinya pulang.
Lagi-lagi yang ia dapat hanya kesunyian, cemilan dan minuman hangat yang biasanya tersaji di meja sekarang kosong tak berjalan dalam hati. "Sebenarnya mereka ada di mana?"
"Sena ... Ara ....!" teriaknya semakin menggema. "Sebenarnya kalian ada di mana sih, apa kalian berdua marah padaku!" teriaknya kembali.
Tidak puas di ruang tengah langkah kaki Dirga langsung menaiki anakan tangga dengan cepat, dan sesampainya di kamar utama jantung Dirga seperti dihantam kilatan dahsyat yang benar-benar mengguncang hatinya.
"Astaga, ini kenapa, dimana keberadaan anak dan istriku," ucap Dirga risau bahkan keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
Dirga mulai beranjak ke meja rias, yang memang Sena selalu meninggalkan sesuatu jika dirinya telat pulang ataupun ada keperluan mendesak, dan hal itu membuat Dirga langsung menuju di sana.
Seketika tatapan Dirga tertuju kepada surat kecil yang ditinggalkan oleh sang istri, tangannya langsung terulur, namun dunianya seolah berhenti ketika membaca surat tertulis itu.
"Tidak ....!" teriak Dirga hampir putus asa.
Entah kenapa hatinya merasa hancur padahal dia sendiri yang sudah bermain api dan lebih memilih wanita baru yang ada di dalam kehidupannya. "Sena tolong jangan pergi aku tidak mau kehilangan kalian berdua," ucapnya terdengar sedikit egois.
Bersambung.
janji "aja tuh