ARLOJI BERDARAH - Detik Waktu Saksi Bisu
Malam itu kota tampak tenang. Angin berhembus ringan, menggesek dedaunan kering yang jatuh di pinggir trotoar. Lampu jalan berpendar redup, sebagian meredup seperti hendak padam. Di kejauhan, suara mesin motor sempat melintas lalu hilang, Namun, di balik tenang itu, ada sesuatu yang sedang kacau.
Kos-kosan justru sepi total. Bangunan dua lantai berderet, cat dindingnya kusam, sebagian pintu berkarat. Hanya satu kamar yang berbeda. Jendela tertutup rapat, pintu terkunci, tirai tergantung kaku.
Di depan pintu kamar itu, sepasang sepatu tergeletak di rak kayu yang sudah miring. Sepatu pria yang besar, menempel berdampingan dengan sepatu wanita yang ramping, bersih, masih meninggalkan kilau muda.
Ruang kamar itu sederhana, berisi sedikit furnitur. Kasur busa tipis terhampar langsung di lantai keramik.
Suara televisi menyala lirih, bercampur dengan dentum samar musik yang seakan hanya jadi latar. Semua suara itu tercampur, tetapi tidak mampu menutupi yang paling jelas: bunyi kasur spon yang bergerak berulang, berderit pelan namun ritmis.
Di sela-sela itu, samar terdengar dua napas berat, panjang, tak beraturan. Nafas yang saling berkejaran, menolak ditelan oleh kesunyian. Nafas yang seakan ingin disembunyikan, tapi justru kian nyata, membongkar apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar remang itu.
Itu suara yang mengabarkan bahwa norma telah dilanggar, di antara dua orang yang seharusnya menjaga diri. Sesuatu yang seharusnya mereka rahasiakan.
Di lantai keramik kamar kos yang dingin, sepotong seragam dokter tergeletak kusut. Kain putih itu seharusnya rapi, wangi, bersih—citra dari profesi yang dihormati. Di bagian pundaknya jelas tertempel logo berbentuk tanda “+” berwarna merah, dengan tulisan kecil “R.S.U. Kencana Permata Indah.” Di dada kirinya tercetak nama dengan benang biru: Lina Mayasa Adika. Identitas resmi, tanda pengenal, bukti pengabdian di rumah sakit.
Malam ini, seragam itu tidak berada di tubuhnya. Tidak berdiri gagah di ruang pasien. Ia justru kusut, jatuh sembarangan di lantai, seperti simbol yang dilepaskan begitu saja tanpa lagi dihormati.
Tepat di bawahnya, menumpuk dua benda lain yang asing berdampingan: sebuah rompi anti peluru berwarna gelap, berat, dan di sampingnya jaket hitam dengan sablon besar bergambar tengkorak metal.
Seragam putih yang mewakili penyelamat nyawa.
Rompi hitam yang mewakili perang dan kekerasan.
Jaket tengkorak yang mewakili dunia liar di luar norma.
Di atas kasur busa tipis yang terhampar di lantai, seorang wanita terbaring dengan tubuh tanpa sehelai kain pun yang menutupi. Bentuk tubuhnya jelas menunjukkan kedewasaan: kulitnya halus, sedikit basah oleh keringat, berkilau samar di bawah cahaya lampu neon redup.
Dadanya penuh, besar dan padat, bergerak naik turun dengan ritme yang berat dan tidak stabil, karena berguncang, menegaskan masih merasakan sesuatu yang bercampur antara lelah, panas, dan rahasia yang disembunyikan.
Pinggulnya menonjol, berlekuk jelas, membentuk siluet perempuan yang matang. Jika seorang pria sekadar melirik tubuh itu, barangkali bukan wajah yang pertama kali menjadi pusat perhatiannya, melainkan “aset” tubuh Lina yang begitu menonjol—aset yang diam-diam membuat banyak mata ingin menahannya lebih lama.
Ia tiduran telentang, dengan kedua kaki yang terbuka lebar dan ditekuk pada lutut. Posisi itu menyingkapkan seluruh kelemahan, seolah-olah tubuhnya sudah kehilangan hak untuk menolak.
Wajahnya tetap indah, meski rambut panjangnya acak-acakan menempel di dahi yang basah keringat. Ia terus menoleh ke kanan dan ke kiri, seperti mencari arah untuk mengalihkan rasa yang berkecamuk.
Wanita itu adalah Lina Mayasa Adika, seorang dokter muda berusia 27 tahun. Istri dari seorang pria yang mencintainya di rumah. Perempuan yang seharusnya menjadi teladan.
Di atas tubuh wanita itu, seorang pria menindih dengan berat tubuhnya yang kokoh. Tubuhnya menutupi cahaya lampu redup yang bergoyang samar, menciptakan bayangan bergerak di dinding sempit kamar kos.
Pria itu tinggi, kira-kira 185 cm. Bahunya bidang dan berotot, meski perutnya kurus menampakkan garis urat yang menegaskan kerasnya latihan militer. Dari pundaknya, sebuah tato kalajengking hitam pekat tampak jelas, mencakar kulit seakan siap menusuk siapa pun yang berani menantangnya.
Ia pun telanjang, tubuhnya menjadi kontras dengan tubuh perempuan yang ditindihnya. Kedua tangannya menggenggam pinggul dan dada wanita itu, erat, seperti memastikan Lina tak akan bisa melarikan diri.
Namanya Solerom Mungkar, seorang tentara angkatan darat. Di usianya yang baru menginjak 30 tahun, ia dikenal sebagai salah satu yang paling berbakat di antara rekan seangkatannya. Kedisiplinan dan naluri tempur membuatnya menonjol.
Solerom menggerakkan pinggulnya perlahan, maju dan mundur, ritmis, penuh kendali. Gerakannya bukan sekadar fisik, tapi simbol bahwa ia sedang menguasai situasi.
Napasnya berat, bercampur dengan deru napas Lina, menambah riuh keheningan malam.
Arloji hitam melingkar di pergelangan tangan pria itu.
Diam, dingin, seakan menjadi saksi bisu bagi setiap gerakan pemiliknya.
Jarumnya tetap berputar, detik demi detik berjalan tanpa peduli.
Jam itu tidak melihat, tidak mendengar, hanya merekam waktu yang berlalu.
Rom tampak tegang, tubuhnya condong ke depan, pinggulnya bergerak berulang-ulang semakin cepat, seakan kehilangan kendali atas ritme. Arloji hitam di pergelangan tangannya berkilat setiap kali ia mengayun, jarum detik terus berputar seakan mengukur napas yang makin berat.
Lina tidak lagi mampu mengendalikan tubuhnya. Bahunya terangkat-angkat, jemarinya mencengkeram sprei kusut di bawahnya. Mata setengah terpejam, bibirnya terbuka, napasnya terhuyung-huyung seperti dikejar sesuatu. Wajahnya memerah.
Suasana kamar makin padat. Lampu remang menciptakan bayangan bergerak di dinding, AC berderu tapi hawa justru panas dan pengap. Bunyi kasur berulang, bercampur dengan suara televisi, Di balik itu, hanya ada dua tubuh yang saling bertubrukan dengan intensitas penuh, ekspresi campuran antara ketegangan dan pelepasan.
Rom tiba-tiba berhenti. Gerakannya terputus, tubuhnya menegang sesaat sebelum menarik diri dari Lina. Nafasnya masih berat, terdengar jelas di antara hening yang menekan.
Lina mulai merasa lega, dadanya turun dengan lebih teratur. Ekspresinya sedikit melunak, bibirnya menghembuskan udara panjang, seakan menemukan ruang untuk bernapas kembali.
Namun, tanpa banyak jeda, Rom kembali bergerak. Ia mengubah posisi tubuhnya cepat. Kedua kakinya ditekuk, naik ke sisi kanan dan kiri bahu Lina, mengapit dengan kuat. Gerakan itu membuat tubuhnya menjulang lebih dekat, bayangannya jatuh menutupi wajah Lina.
Lina membuka mulutnya perlahan. Bibir pink yang semula rapat itu terpisah, Gerakan kecil itu membuat wajahnya tampak ragu sekaligus menanti. Matanya menatap Rom dari bawah, sorotnya bergetar, seakan menyimpan tegang.
Mulut Lina terisi, rahangnya kaku menahan dorongan yang tak terduga. Napasnya tersendat, matanya melebar, tubuhnya ikut bergetar, menyesuaikan diri dengan tekanan yang tiba-tiba hadir.”
Rom mundur perlahan, setiap langkahnya meninggalkan jejak yang membuat Lina menahan napas.
Rom menunduk perlahan, matanya menelusuri lantai keramik, mencari pakaiannya yang berserakan, Tangannya meraih celana dengan gerakan tenang, jari-jari memetik kainnya dengan perlahan, seolah tidak ingin terburu-buru.
Ia mulai mengenakan kaosnya, menariknya melewati kepala dengan gerakan lambat. Jaket dan celana mengikuti, Rom menyesuaikan lipatan dan posisi pakaian, sambil sesekali menatap Lina yang masih berdiri tak jauh darinya.
Lina menahan napas, matanya menyorot gerakan Rom dengan campuran kagum dan rindu. Tangannya meremas kain yang ia pegang, hati berdebar-debar, Ia membatin, “Kenapa rasanya… aneh… tapi aku ingin tetap di sini?”
Rom menyadari tatapan Lina dan sedikit tersenyum, tapi tetap diam, membiarkan suasana itu tetap menggantung di antara mereka.
Rom mengambil sebatang rokok dan koreknya, jari-jari panjangnya menyalakan api dengan gerakan tenang, hampir ritualistik. Ia duduk di tepian kasur busa, pandangan sesekali melirik Lina yang masih terbaring di atas kasur.
Lina mengangkat kepalanya perlahan, pandangan matanya menempel pada Rom. Ia menggeser tubuh, tangannya menapak lembut, Tanpa ragu, ia menempelkan tubuhnya dari belakang, lengan melingkari leher Rom, wajahnya nyaris menempel di pundak dan lehernya.
“Kamuu nakall,” bisik Lina, suaranya rendah dan serak, bibirnya nyaris menyentuh telinga Rom. mata yang menatap lembut di balik rambutnya menunjukkan perpaduan antara rasa ingin dimanja dan menggoda. Tangannya bergeser sedikit, menyentuh bahu Rom dengan lembut.
Tiba-tiba, suara pintu diketuk dengan kasar dan berulang: “Dor! Dor! Dor!” Ritmenya mengguncang udara di ruangan, menimbulkan getaran halus yang sampai ke lantai keramik.
Lina langsung terlepas dari pelukan Rom, tubuhnya mundur beberapa langkah, tangan terangkat setengah menutupi dada, matanya membesar, wajahnya pucat karena kaget. “Siapa itu… bagaimana ini…” gumamnya pelan tapi terdengar panik, suaranya nyaris pecah.
Rom, duduk di tepian kasur busa, bergerak cepat namun tenang. tangan kiri melayang dekat Lina untuk memberi rasa aman. “Tenang… tenang,” ucapnya lembut, matanya menatap Lina dengan tenang.
Lina menggigit bibir bawah, alisnya mengerut, wajahnya menunjukkan kombinasi panik dan frustrasi. “Gimana mau tenang, mikir dongg!” Tubuhnya gemetar, namun ia mencoba menahan rasa takut.
Rom menghela napas pelan, matanya mengikuti setiap gerakan Lina, lalu suaranya terdengar lebih tegas namun tetap lembut: “Pakai pakaianmu.”
Lina mengangguk cepat, Jari-jarinya meraih kaos terlebih dahulu, menariknya melewati kepala dengan gerakan tergesa tapi hati-hati, wajahnya merah, alis masih sedikit berkerut karena sisa panik. Lengan dimasukkan satu per satu, bahu menyesuaikan posisi kain.
Selanjutnya, ia meraih celana, punggung membungkuk, rambut jatuh ke depan, ia merapikan dengan tangan menarik celana ke pinggang.
Terakhir, Lina mengambil seragam dokternya. Ia menahan napas sebentar sebelum memasukkan tubuhnya, menarik kerah perlahan melewati kepala, menyesuaikan lengan satu per satu. Tangan kanannya menekan kancing, tangan kiri menahan kain agar rapi.
Lina menatap Rom dari bawah kelopak matanya.
Rom menahan senyum, jari-jarinya masih memegang rokok yang mulai membara, tapi tubuhnya merasakan setiap sentuhan Lina. Bahunya menegang sedikit saat Lina menekan tubuhnya lebih dekat.
Lina menempelkan tubuhnya lebih dekat ke Rom, dagunya bersandar ringan di bahu pria itu. Suaranya terdengar manja dan sedikit bergumam, “Kalau suamiku tahu… gimana yaa…” Bibirnya menekuk kecil, matanya menatap Rom dari belakang.
Rom menoleh sedikit, senyum tipis terukir di wajahnya, suaranya tenang, “Gak lahh, tenang aja.” Tangannya tetap memegang rokok, tapi perlahan jari-jarinya menyentuh punggung Lina, gerakan ringan namun hangat, seolah memberi ketenangan.
Lina menarik napas pelan, membiarkan getaran hatinya keluar lewat kata-kata manis, “Makasih yaa… yang tadi itu anggap aja hadiah. Selama ini kamu baik, perhatian banget ke aku.” Kata-kata itu mengalir lembut, bibirnya tersenyum nakal dan mata berbinar hangat. Tanpa ragu, ia mencondongkan tubuhnya ke depan, mencium Rom di pipi, momen yang sederhana tapi sarat makna.
Rom menatapnya, ekspresi hangat dan sedikit terkejut, namun matanya lembut penuh arti. “Sama-sama. Hadiah ini bakal kuingat terus… ini benar-benar berharga buatku,” ucapnya pelan, suaranya berat tapi lembut. Tangannya kini menyentuh lengan Lina, merasakan kelembutan di kulitnya.
Lina tertawa kecil, menepuk bahu Rom dengan ringan, “Ya jangan di ingat-ingat lahh, mending kamu minta hadiah lagi aja kalo kamu pengen.” Suaranya manja, mata berbinar, tubuhnya masih menempel erat, seolah tak ingin melepaskan momen itu.
Rom mengangguk pelan, senyumnya melebar, “Iya dehh.” Ia membiarkan tubuhnya sedikit bersandar ke Lina, menikmati hangatnya kontak dan keintiman yang tercipta, ruangan tetap remang, bayangan lampu menari lembut di dinding, sementara udara dipenuhi rasa manja, nyaman, dan rahasia yang hanya mereka berdua tahu.
Rom menoleh sebentar ke arah Lina, tangan cekatan menarik rompi anti peluru dari kursi di dekat kasur. Jari-jarinya memasukkan lengan ke dalam rompi dengan cepat tapi terkontrol, menarik tali pengikat di pinggang dengan satu gerakan tegas. Napasnya teratur, mata menatap pintu dengan waspada, bibirnya menekuk tipis dalam ekspresi serius.
“Sembunyi lahh, ku urus mereka,” ucap Rom, suaranya berat dan tegas, namun tetap memancarkan rasa aman bagi Lina. Tubuhnya condong sedikit ke depan, siap bergerak, bahunya menegang saat ia mengukur jarak ke pintu.
Lina mengangguk cepat, wajahnya pucat tapi matanya bersinar sedikit karena rasa percaya pada Rom. Dengan langkah cepat tapi hati-hati, ia berlari menuju kamar mandi, rambut sedikit berantakan, tangan meraih gagang pintu, menariknya rapat. Ia menutup pintu, menempelkan punggungnya ke permukaan dingin, menarik napas panjang, jantungnya berdetak kencang, campuran takut dan tegang.
Sementara itu, Rom bergegas ke arah pintu, langkahnya mantap dan cepat di lantai keramik, gerakannya seimbang dan cekatan. Rompi anti peluru membuat bahunya terlihat lebih tegap, namun gerakannya tetap luwes. Ia menoleh sesaat ke arah Lina, memastikan ia aman, mata penuh tekad.
Tiba-tiba, suara dari luar semakin keras, dan Rom menegakkan tubuhnya, menatap pintu dengan serius. Tangannya mengepal ringan, kaki menapak mantap di lantai. Dengan suara penuh otoritas, ia berteriak keras: “DIAMLAH!!” Suaranya menggema di ruangan, menyentak udara dan menimbulkan getaran tipis di dinding.
Lina di dalam kamar mandi menekuk lutut, menempelkan tangan ke lantai, napasnya masih tersengal, pipinya memerah karena campuran rasa takut, cemas, dan sedikit kagum pada keberanian Rom. Bayangan cahaya dari lampu koridor menembus celah pintu, menciptakan nuansa tegang dan intens.
Di luar, Rom tetap di posisi, mata menyapu pintu, bahu menegang siap menghadapi siapa pun yang ada di depan. Udara di sekeliling mereka terasa berat, setiap derit lantai kayu dan lantai keramik menambah ketegangan, sementara aroma rokok samar masih menyisakan jejak hangat di ruangan, menekankan kontras antara keintiman sebelumnya dan bahaya yang kini datang.
Rom menapak mantap ke pintu, tangannya kuat menggenggam gagang besi. Dengan satu tarikan, pintu terbuka, memperlihatkan wajahnya yang sangar, mata melotot menatap barisan orang dewasa yang berdiri di luar. Tubuh mereka lebih pendek darinya, tidak ada yang menyaingi tinggi dan tegap Rom. Jantungnya berdegup cepat, campuran kaget dan marah membuncah: bagaimana mungkin mereka bisa curiga?
“ADA APA!!” teriak Rom, suaranya bergema, tegas dan berat, memaksa udara di lorong ikut menahan getarannya. Tubuhnya tegap, bahu menonjol di bawah rompi anti peluru, mata menyapu setiap wajah di depannya.
Salah satu bapak, suara tegas tapi ragu, bersuara, “Awas… di mana kamu sembunyikan wanita itu?”
Rom mendengus, geram. Ia menepuk pintu dengan keras: DORR!!! Suara dentuman itu bergema, seakan menegaskan otoritasnya.
“Jangan mengganggu pekerjaan saya!!! Investigasi di larang diganggu!!” teriak Rom, jari-jari tangannya mengepal ringan, bahu menegang, dan tubuhnya maju sedikit, memberi tekanan fisik dan visual kepada orang-orang di luar.
Salah satu bapak maju lebih dekat, suaranya bergetar tapi sopan, “Maaf, Pak Tentara, saya RT di sini. Ada laporan terkait suara hubungan di dalam kamar ini… mohon maaf, kami ingin memastikan.”
Rom menunduk sedikit, alisnya mengerut, lalu acungkan jari telunjuk ke arah pak RT. Suaranya berat, tegas, tidak memberi celah, “Tidak! Saya tidak mengizinkan kalian mengganggu pekerjaan saya! Cepat pergi dari sini!” Bahunya menonjol, napasnya panjang, aura tegasnya memenuhi lorong, membuat siapapun yang melihatnya menahan langkah.
Pak RT tetap maju, nada sedikit tegang, “Bagaimana kami tahu anda tidak berbuat mesum di dalam jika kami dilarang memastikan?”
Rom menatap tajam, rahangnya menegang, matanya melotot penuh determinasi. “Harus dengan cara apa saya menjelaskan, bahwa saya tengah bekerja? Kamar ini dicurigai menyimpan sabu-sabu! Pergilah! Saya harus bekerja!” suara Rom menggelegar, menekankan urgensi dan otoritasnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments