Lucia Davidson hidup dalam ilusi pernikahan yang indah hingga enam bulan kemudian semua kebenaran runtuh. Samuel, pria yang ia percaya sebagai suami sekaligus cintanya, ternyata hanya menikahinya demi balas dendam pada ayah Lucia. Dalam sekejap, ayah Lucia dipenjara hingga mengakhiri hidupnya, ibunya hancur lalu pergi meninggalkan Lucia, dan seluruh harta keluarganya direbut.
Ketika hidupnya sudah luluh lantak, Samuel bahkan tega menggugat cerai. Lucia jatuh ke titik terendah, sendirian, tanpa keluarga dan tanpa harta. Namun di tengah kehancuran itu, takdir memertemukan Lucia dengan Evan Williams, mantan pacar Lucia saat kuliah dulu.
Saat Lucia mulai menata hidupnya, bayangan masa lalu kembali menghantuinya. Samuel, sang mantan suami yang pernah menghancurkan segalanya, justru ingin kembali dengan mengatakan kalau Samuel tidak bisa hidup tanpa Lucia.
Apakah Lucia akan kembali pada Samuel atau dia memilih cinta lama yang terkubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14. TEGANG
Lucia masih duduk di ranjang cukup lama setelah Evan keluar dari kamar. Detak jantungnya belum juga stabil, seakan kehadiran pria itu meninggalkan gema yang tidak mudah hilang. Ia menyandarkan punggung pada sandaran ranjang, menarik napas panjang, mencoba menata diri.
Matanya sekali lagi menyapu ruangan. Semakin ia memperhatikan, semakin ia merasa seperti sedang berada di dunia lain. Tirai panjang yang jatuh dengan anggun, furnitur yang disusun rapi, bahkan karpet tebal berwarna krem di bawah kakinya, semua memberi kesan bahwa tempat ini dirancang dengan penuh ketelitian.
Lucia menurunkan kakinya dari ranjang, merasakan lembutnya permukaan karpet. Ia berjalan pelan ke arah jendela besar yang terbentang dari lantai ke langit-langit. Saat ia menyibakkan sedikit tirai, matanya terbelalak.
Pemandangan kota Los Angeles membentang luas di bawah sana. Jalanan yang sibuk, gedung-gedung tinggi, mobil yang melintas seperti titik-titik kecil, semuanya tampak begitu jauh, seakan ia berada di atas dunia. Cahaya matahari pagi memantulkan kilau keemasan pada kaca gedung-gedung, membuat panorama itu tampak seperti lukisan hidup.
Lucia menelan ludah, jantungnya kembali berdebar. Ia tidak pernah membayangkan akan melihat kota dari sudut pandang setinggi ini. Biasanya, ia hanya berjalan kaki melewati trotoar sempit, dikelilingi suara klakson dan riuh manusia. Kini, semua itu terlihat kecil, jauh, seakan tidak lagi mampu menjangkaunya.
"Sperti kembali ke masa itu lagi," gumamnya pelan. Mengingat kehidupan masa lalu Lucia yang penuh kemewahan namun tidak ada kata bahagia di dalamnya.
Tiba-tiba, suara pintu terbuka lagi. Lucia menoleh cepat, dan kali ini, Evan masuk sambil membawa nampan berisi sarapan.
"Aku pikir lebih baik aku yang menyiapkannya sendiri," ujarnya santai, menaruh nampan itu di meja kecil dekat ranjang.
Lucia menatapnya, hampir tidak percaya. Di atas nampan, ada dua piring: roti panggang yang masih hangat, telur orak-arik lembut dengan taburan daun parsley, dan segelas jus jeruk segar. Semuanya tampak sederhana, namun tersaji dengan rapi.
"Kau ... kau yang membuat ini?" tanya Lucia ragu.
Evan hanya tersenyum samar, duduk kembali di pinggir ranjang. "Jangan menatapku seperti aku baru saja melakukan hal luar biasa. Aku bisa memasak, setidaknya yang sederhana. Aku tinggal sendirian di Boston, jadi aku harus bisa memberi makan diriku sendiri."
Lucia masih menatapnya dengan heran. Ada sisi Evan yang ia sama sekali tidak bayangkan sebelumnya. Selama ini, ia mengenal Evan sebagai sosok yang misterius, dingin, penuh kendali. Namun kini, di depannya, pria itu terlihat begitu biasa, bahkan hangat.
Evan mengambil salah satu piring, lalu menyerahkannya pada Lucia. "Makanlah. Kau butuh energi."
Lucia menerima piring itu, jemarinya sedikit gemetar. Ia menunduk, mencoba menyembunyikan rona yang mulai muncul di wajahnya. "Terima kasih," ucapnya lirih.
Mereka makan dalam diam beberapa saat. Suara garpu yang beradu pelan dengan piring terdengar jelas di tengah keheningan. Namun bagi Lucia, diam itu bukan kosong, melainkan sarat dengan sesuatu yang tak bisa ia definisikan.
Sesekali, ia mencuri pandang pada Evan. Pria itu tampak tenang, menikmati sarapannya tanpa terburu-buru. Cahaya matahari yang masuk dari jendela besar jatuh di wajahnya, menegaskan garis rahang tegas dan sorot matanya yang dalam.
Lucia segera memalingkan wajah setiap kali Evan hampir menoleh. Ia tidak ingin ketahuan. Namun tetap saja, ada sesuatu dalam dirinya yang terus menariknya untuk melihat lagi, dan lagi.
Setelah beberapa menit, Evan meletakkan garpunya dan meneguk jus jeruknya.
"Lucy?" panggil Evan lembut.
Lucia terlonjak kecil, hampir menjatuhkan garpu. "Y-ya?"
Evan menatapnya serius, namun nada suaranya tetap tenang. "Kau tidak perlu takut. Selama kau di sini, tidak ada yang bisa menyentuhmu. Aku berjanji."
Ucapan itu membuat napas Lucia tercekat. Ada keyakinan yang begitu kuat di dalamnya, keyakinan yang entah kenapa membuatnya ingin percaya.
Namun di balik itu semua, pertanyaan demi pertanyaan berputar di benaknya. Siapa sebenarnya Evan sampai bisa ditinggal di Penthouse mewah ini? Kenapa dia begitu yakin bisa melindungiku? Dan ... kenapa dia melakukan semua ini untukku?
Lucia menggenggam garpunya erat-erat, berusaha menahan gejolak di dalam dada. Ia tahu, jawabannya mungkin belum saatnya ia dengar. Namun untuk pertama kalinya, ia merasa aman, meski aman itu datang dari seseorang yang misterinya justru semakin dalam. Seolah apa yang Lucia tahu tentang Evan dulu ketika mereka kuliah justru menghilang dna digantikan dengan Evan yang tidak Lucia kenal.
Sarapan selesai, namun suasana antara mereka tetap menyisakan keheningan yang dalam. Lucia menaruh piring kosong di atas meja kecil, sementara pikirannya masih dipenuhi rasa bingung. Ia ingin berterima kasih, tapi kata-kata seakan tersangkut di tenggorokan.
Evan berdiri perlahan, lalu menatapnya dengan senyum samar. "Ayo. Aku akan menunjukkan padamu tempat ini. Kalau kau harus tinggal di sini untuk sementara waktu, kau perlu mengenalnya."
Lucia hampir terbatuk mendengar kalimat itu. “T-tinggal di sini?" suaranya melengking sedikit.
Evan mengangguk tenang, seakan hal itu sudah pasti. "Ya. Setidaknya sampai aku yakin orang yang mengikutimu itu tidak lagi menjadi ancaman."
Lucia terdiam, menunduk. Ada perasaan canggung yang menelusup, tapi juga ada sedikit rasa lega, meski ia enggan mengakuinya.
Dengan langkah ragu, ia mengikuti Evan keluar kamar.
Koridor yang mereka lewati luas, dengan lantai kayu yang mengilap. Dindingnya dihiasi lukisan abstrak yang berpadu harmonis dengan lampu-lampu gantung modern. Setiap langkah terasa menggema, menandakan betapa besar ruang ini.
Mereka sampai di ruang tamu. Lucia terperangah. Ruang itu terbuka lebar, dengan langit-langit tinggi dan dinding kaca yang kembali menampilkan panorama kota. Sofa besar berwarna abu-abu gelap tersusun melingkar, menghadap televisi layar datar raksasa yang menempel pada dinding. Namun yang paling mencuri perhatian Lucia adalah piano hitam mengilap di sudut ruangan, berdiri gagah seakan menjadi pusat dari segalanya.
"Kau bisa bermain piano?" tanya Lucia tanpa sadar.
Evan melirik ke arah instrumen itu, lalu tersenyum samar. "Sedikit."
Jawaban singkat itu justru membuat rasa penasaran Lucia semakin besar. Ia membayangkan jemari Evan menari di atas tuts piano, dan entah mengapa bayangan itu membuat dadanya terasa aneh.
Evan melanjutkan langkah, mengajaknya ke dapur terbuka yang menyatu dengan ruang tamu. Dapur itu tampak modern, dengan peralatan serba stainless steel, meja bar marmer putih, dan rak-rak yang tertata rapi.
Lucia berhenti sejenak, menatap sekeliling. "Ini ... terlalu mewah."
Evan menoleh, menaikkan sebelah alis. "Kenapa?"
Lucia mengangkat bahu. "Aku tidak tahu ... seakan tempat ini tidak nyata. Seakan aku hanya sedang berkhayal. Merasa apakah kau Evan yang aku kenal dulu."
Evan mendekat, jaraknya cukup untuk membuat Lucia menahan napas. Tatapannya menusuk, tapi bukan untuk mengintimidasi, lebih kepada ingin meyakinkan. "Tempat ini nyata. Dan begitu pula aku yang berdiri di hadapanmu."
Lucia menunduk cepat, wajahnya memanas. Ia tidak tahu bagaimana menanggapi kalimat itu.
Mereka kemudian melangkah ke balkon. Begitu pintu kaca geser dibuka, angin pagi menerpa wajah Lucia. Pemandangan kota Los Angeles terbentang tanpa batas, jauh lebih indah dari balik kaca tadi. Jalanan tampak sibuk, namun dari ketinggian ini, semuanya terasa tenang, seperti dunia kecil yang terpisah dari hiruk pikuk di bawah sana.
Lucia berdiri di pagar kaca transparan, jemarinya menyentuh permukaan dingin itu. "Indah sekali," bisiknya.
Evan berdiri di sampingnya, diam beberapa saat sebelum akhirnya berkata, "Itulah alasanku memilih tempat ini. Dari sini, aku bisa melihat segalanya. Dan aku bisa memastikan bahwa dunia di bawah sana tidak bisa menyentuhku begitu saja."
Kalimat itu membuat Lucia menoleh. Ada sesuatu dalam nada suara Evan yang terdengar berbeda, seakan mengandung rahasia besar yang ia sembunyikan.
"Evan?" Lucia membuka suara, ragu. "Sebenarnya ... siapa dirimu?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tanpa bisa ia tahan.
Evan menatap jauh ke arah horizon, tidak langsung menjawab. Angin meniup rambutnya, membuat sosoknya tampak semakin sulit dijangkau. Lalu, perlahan, ia menoleh pada Lucia dengan senyum samar, senyum yang entah kenapa terasa menenangkan sekaligus membingungkan. Ia tahu kalau Lucia pasti akan bertanya tentang diri Evan jika ia membawa wanita itu ke rumah ini.
"Pertanyaan itu," ucapnya pelan, "akan aku beritahu nanti. Aku hanya takut kalau kau ... belum siap."
Lucia tercekat. Ia ingin mendesak lebih jauh, tapi sorot mata Evan seakan memberi sinyal bahwa ini bukan saatnya.
Mereka kembali terdiam, hanya ditemani suara angin dan riuh samar kota di kejauhan. Namun keheningan itu berbeda dari sebelumnya. Kini, di antara mereka, ada benang tipis yang mulai terjalin, benang yang terbuat dari rasa percaya, meski penuh tanda tanya.
Alhamdulillah operasi berhasil, semoga Lucia cepat pulih