seorang perempuan yang mempunyai kesalahan untuk jatuh cinta terhadap seseorang, dari sekian banyaknya laki-laki di dunia ini mengapa ia pilih laki-laki itu untuk menjadi kekasih hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon naura hasna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
satu per satu hari sudah hasna lewati tanpa bunyi notifikasi dari orang favoritnya, acara pernikahan akan segera di gelar, tenda sudah di booking dan akan segera dipasang, semuanya sudah di booking dan akan segera dipasangkan. Tapi, Tuhan mungkin lebih sayang kepada sepupunya. Sepupunya sudah mendapatkan tempat terindah di sana.
Hasna memandangi foto fardhan yang ada di ponselnya tahun lalu, dan tak sadar, hasna kembali meneteskan air matanya, lalu berkata dalam hatinya. "Aku rindu—"
Hasna mengambil buku diary nya. Kata demi kata hasna tuliskan dengan tangan yang sedikit bergetar.
..."Kamu tau ngga? Beberapa hari lagi kita...
...Udah mau nikah tau, kok kamu tiba-tiba...
...Ngilang kayak gini? Aku kangen tauuu...
...Sekarang gak ada lagi yang bisa ajarin aku bahasa Jawa, Sekarang gak ada voice note bahasa Jawa lagi...
...Kok kamu bisa pergi secepat ini sih?...
...Besok itu hari bahagia kita, masa kamu gak ada sih?...
...Kamu kan, calon suami aku....
...Aku masih ngerasa bingung, siapa yang mau duduk di sebelah aku nanti? kalau kamu gak ada di sini? Namamu akan selalu abadi di dalam hati...
...aku, I love you"...
Kurang lebih seperti itu isi dalam surat atau buku diary hasna yang mengungkapkan sebuah kerinduannya kepada sang sepupu laki-lakinya yang sudah tiada, yang sudah tenang di dunia yang berbeda dengannya.
Dari arah lain, Rani memanggil sang anak perempuannya untuk menghampiri sang ibu di ruang tamu bersama dengan ayahnya juga. "nak, coba kamu ke sini dulu, ibu mau bilang sesuatu penting banget."
"iya mah, pah, bentar dulu yaa aku lagi beresin kamar dulu," sahut hasna dari arah kamar.
Pintu kamar yang terbuka berderet, celah pintu perlahan terbuka, menampilkan langsung ke ruang tamu yang berada di latai satu.
Hasna menuruni beberapa banyaknya anak tangga untuk menuju ke lantai satu, adanya tempat ruang tamu atau pun tempat makan.
"Mau ngobrolin apa mah? Kok tumben?" Tanya hasna Keheranan melihat raut wajah ke dua orang tuanya, yang sepertinya terlihat seperti ingin mengobrolkan sesuatu yang penting.
"Gini nak, kamu kan terakhir saat fardhan dikabarkan mau ke sini itu mau bertemu denganmu sebelum akhirnya akan menikah di sini ditemani dengan adik dan keluarga besarnya juga kan,"
Papa hasna tidak melanjutkan obrolannya dan berhenti sejenak selama beberapa detik untuk mencari moment yang pas tentunya, karena bisa dibilang, ini juga kabar buruk yang pastinya tidak ingin putri nya dengar.
"Terus gimana pah?" jantung hasna seolah berdetak lebih kencang, melihat papanya tidak melanjutkan obrolannya, seperti ada kata-kata yang disembunyikan papanya itu.
"sekarang kan semuanya sudah terlanjur disiapkan dengan matang, tapi Tuhan berkehendak lain atas ini, bagaimana jika nanti yang menemani kamu di meja akad itu adalah orang lain yang sudah papa percayai? Papa tau ini pasti akan menjadi kabar atau keputusan yang sama sekali tidak kamu inginkan, tapi yaa mau bagaimana lagi? Semuanya sudah terlanjur disiapkan dan jika tidak jadi diselenggarakan, sayang semua budget yang sudah dikeluarkan untuk acara ini nak."
Mendengar perkataan yang cukup panjang dan sangat tidak mengenakan itu, mata hasna terbelalak kaget. "beneran pah? Jadi maksud papa aku nikah sama orang lain pilihan papa? Kenapa harus mendadak gini pah? Fardhan baru meninggal kemarin pah, papa secepet ini melupakan hal itu?!"
Alexandra menarik napas dan berkata. "Maafin papa nak, ini mungkin yang terbaik buat kamu."
"Yang terbaik buat aku? Itu yang terbaik buat papa sama mama aja kali, sekarang mah terserah papa sama mama aja deh, tapi ya jangan sekarang juga, pah, aku belum bisa lupain kejadian kemarin loh."
Tanpa aba-aba, hasna meninggalkan kedua orang tuanya di tempat makan.
Kedua orang tuanya hanya saling menatap dengan penuh tanda tanya. "ini gimana pah? Kita harus apa?"
Alexandra kembali menarik napasnya, dengan kebingungan. "papa juga gak tau mah."