NovelToon NovelToon
Pengganti Yang Mengisi Hati

Pengganti Yang Mengisi Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Pengantin Pengganti / Pengganti / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir / Tukar Pasangan
Popularitas:562
Nilai: 5
Nama Author: Vanesa Fidelika

Seharusnya hari itu jadi momen terindah bagi Tiny—gaun putih sudah terpakai, tamu sudah hadir, dan akad tinggal menunggu hitungan menit.
Tapi calon pengantin pria... justru menghilang tanpa kabar.

Di tengah keheningan yang mencekam, sang ayah mengusulkan sesuatu yang tak masuk akal: Xion—seseorang yang tak pernah Tiny bayangkan—diminta menggantikan posisi di pelaminan.

Akankah pernikahan darurat ini membawa luka yang lebih dalam, atau justru jalan takdir yang diam-diam mengisi hatinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanesa Fidelika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9: Makan Bersama Tersangka

Cahaya pagi menyelinap masuk lewat celah tirai, menyapu lembut kamar yang masih senyap.

Tiny membuka matanya perlahan. Pandangannya masih samar, tapi udara dingin dan aroma kasur yang asing langsung mengingatkannya: ini bukan kamar biasanya. Ini bukan pagi yang biasa. Dan pria di sebelahnya bukan siapa-siapa... kecuali sekarang: suaminya.

Ia menoleh perlahan.

Xion masih terlelap. Tidurnya tenang, satu tangan menelungkup di pipinya, tubuhnya menghadap ke arah Tiny. Tapi yang membuat Tiny terdiam bukan karena posisi tidur itu... melainkan sesuatu yang baru pertama kali ia lihat.

Wajah Xion. Tanpa kacamata.

Selama ini, Xion nyaris selalu terlihat dengan bingkai hitam khasnya. Dari awal perkenalan mereka—sejak pernikahan Rez dan Layla beberapa tahun lalu—Xion adalah pria berkacamata yang pendiam tapi hangat. Tapi kini, untuk pertama kalinya, wajah itu tampak polos. Lebih lembut. Lebih... muda.

Tiny menatapnya sebentar, lalu menghela napas pelan dan bangkit dari kasur.

Langkah kakinya menuju kamar mandi ringan, meski pikirannya belum tentu sama. Entah ia akan kuliah hari ini. Entah ia akan ikut Xion ke Jakarta. Ia bahkan belum menentukan arah. Tapi satu yang ia tahu: ia harus bersiap.

Selesai mandi, tubuh dan pikirannya terasa sedikit lebih segar. Air mengalir seolah ikut membawa pergi separuh rasa sesak yang kemarin belum sempat tuntas.

Tiny memandangi wajahnya di cermin sebentar. “Aku harus mulai belajar lepas...” bisiknya pelan.

Bukan hanya lepas dari kemarin—tapi juga dari nama itu.

Andika.

Hanya menyebutnya saja membuat dadanya terasa perih dan… kesal. Tapi ia tahu, tak selamanya ia bisa menunggu seseorang yang bahkan tidak memberi kabar di hari pernikahan mereka sendiri.

Masih dengan handuk membalut tubuh, Tiny keluar dari kamar mandi, seperti kebiasaannya dulu—sebelum ada sosok lain yang harus ia bagi ruangan ini.

Baru dua langkah keluar, ia tertegun.

Di ranjang, Xion mulai menggeliat. Matanya belum benar-benar terbuka, tapi jelas ia mulai sadar.

Tiny terdiam di tempat. Matanya membelalak kecil.

Astaga. Ia lupa. Ia bukan sendiri lagi sekarang. Ia sudah menikah. Dan pria itu... suaminya kini.

Xion yang baru saja membuka mata, langsung tersadar akan pemandangan di depannya. Mata terbuka lebar.

Lalu, refleks—Dua telapak tangannya langsung menutupi wajahnya.

“Astagfirullah...” ucapnya cepat, suaranya serak karena baru bangun.

Tiny yang baru sadar dengan keadaan dirinya pun buru-buru mundur. Panik, salah tingkah, dan wajahnya memerah.

“Maaf! Aku... aku lupa!” katanya gugup, langsung berbalik dan masuk lagi ke kamar mandi sambil menggerutu dalam hati.

Pintu kamar mandi tertutup.

Suasana hening beberapa detik.

Dari dalam kamar mandi, terdengar suara Tiny setengah malu, “Aku kira kamu masih tidur...”

Xion menjawab dari luar, masih menutupi mata, “Nggak apa-apa. Aku juga nggak sengaja...”

Xion masih menutupi wajah dengan satu tangan, sementara tangan lainnya ia turunkan perlahan, memastikan pandangannya tetap lurus ke dinding.

“Baju kamu gimana?” tanyanya hati-hati, suaranya sedikit pelan.

Dari balik pintu, Tiny menjawab, “Ambilin... boleh?”

Xion mengangguk walau tidak terlihat, lalu bertanya lagi, memastikan, “Baju aja kan? Sama... rok?”

Tiny cepat menjawab, “Jangan rok, celana aja.”

Xion mengangguk lagi, lalu melangkah ke arah lemari tempat koper Tiny berada. Karena kamar ini hanya kamar tamu, bukan kamar tetap Tiny.

Tangannya mulai memilih asal saja, mengambil kaos dan celana panjang yang menurutnya paling ‘aman’. Tapi di dalam hatinya, Xion bisa merasakan jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Ia tahu, Tiny pasti butuh lebih dari itu... tapi tentu, dia tidak akan tanya.

Dan benar saja—di balik pintu kamar mandi, Tiny menggigit bibir bawahnya.

Ia memang butuh lebih. Tapi... meminta Xion mengambil barang-barang dalam? Tidak. Terlalu malu. Terlalu baru.

Tiny bersandar ke dinding kamar mandi, menarik napas panjang sambil menatap ke arah pintu, menahan malu yang membara di pipinya.

Tak lama kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu.

“Tiny... aku taruh bajunya di depan pintu ya. Celananya juga.”

Tiny cepat-cepat menjawab, “Oke, makasih.”

Xion menaruh baju dan celana itu di gagang pintu, lalu segera menjauh.

Setelah langkahnya terdengar menjauh, barulah Tiny mengintip sedikit dari celah pintu, mengambil pakaiannya—masih dengan wajah super merah.

Tiny segera menarik pakaian itu ke dalam kamar mandi dengan gerakan cepat, lalu menutup pintunya kembali rapat-rapat. Nafasnya masih naik-turun, tapi perlahan mulai kembali tenang.

Setidaknya Xion cukup pengertian. Tak banyak tanya. Tak komentar macam-macam. Dan yang paling penting—tak memanfaatkan situasi.

Sambil mengenakan pakaian yang tadi diberikan, Tiny sempat menatap dirinya di cermin. Wajahnya masih memerah, tapi ia berusaha tersenyum.

“Mulai sekarang harus terbiasa,” gumamnya pada bayangan sendiri. “Kamu istri orang.”

Beberapa menit kemudian, Tiny keluar dari kamar mandi. Kali ini sudah berpakaian rapi. Rambutnya setengah basah, dan wajahnya tampak lebih segar meski ada sedikit sisa gugup dari kejadian tadi.

Xion sudah duduk di sofa kecil dekat jendela. Kacamata sudah kembali bertengger di wajahnya. Ia menoleh sebentar saat mendengar pintu terbuka, lalu berdiri.

“Udah?” tanyanya singkat.

Tiny mengangguk. “Udah.”

Xion bangkit dari duduknya. Setelah melihat Tiny sudah rapi, ia berkata singkat, “Aku mandi dulu ya. Kalau mau sarapan, sarapan aja dulu.”

Tiny menoleh sekilas, sedikit menaikkan alis. “Emangnya aku bilang mau nungguin kamu selesai mandi?”

Xion sempat terdiam, agak kaku. Lalu mengangguk pelan. “Iya juga sih.”

Nada bicaranya tetap tenang, tapi sorot matanya seperti baru sadar—iya, memang tak ada yang menyuruh ia ngatur-ngatur.

Tiny berjalan menuju meja kecil sambil mengambil ponselnya. “Sikat gigi baru di kanan, handuk ada yang baru di rak atas. Sabun juga baru diganti Mama tadi pagi.”

Xion tersenyum sekilas. “Noted.”

Ia masuk ke kamar mandi, dan saat suara air mulai terdengar, Tiny hanya menggeleng kecil.

“Dosen, tapi kadang kayak anak kos semester awal,” gumamnya pelan. Tapi senyuman tipis muncul juga di wajahnya. Lucu juga, ternyata.

°°°°

Xion baru saja menyuapkan sesendok nasi kuning ke mulutnya ketika suara berat Papa Rudy membuat gerakannya terhenti.

“Kamu nggak perlu berangkat sekarang, Xion,” ucap Papa Rudy tenang, dengan nada khasnya yang selalu terdengar tegas.

Suasana sarapan di ruang tengah pagi itu terasa lebih hangat dari biasanya. Bukan di meja makan besar, melainkan di atas karpet yang digelar luas di ruang keluarga. Semua duduk bersila, menyantap hidangan sisa resepsi semalam yang masih tersaji hangat. Rasanya seperti perayaan kecil setelah badai.

Jarang sekali mereka bisa berkumpul selengkap ini—rezeki yang tak terduga setelah hari yang penuh kejutan.

Xion menoleh, agak bingung. “Kenapa, Om?”

Belum sempat mendapat jawaban, Tiny yang duduk di sampingnya menyikut pelan lengan suaminya. Isyarat lembut tapi cukup jelas.

Xion langsung memperbaiki ucapannya, nada suaranya lebih sopan meski sedikit gugup. “Maksud nya... kenapa, Pa?”

Papa Rudy tersenyum tipis. Lalu, sambil menyendokkan sayur labu ke piringnya, ia berkata dengan tenang, “Semuanya udah Papa urus. Cuti kerja kamu, kuliahnya Tiny, bahkan yang lain juga—baik yang kuliah atau kerja. Sekarang kalian semua libur. Fokus istirahat, terutama kamu dan Tiny.”

Matanya menatap satu per satu anak dan menantunya yang ikut berkumpul, lalu berhenti sejenak di Diva—yang jelas bukan menantu di keluarga ini—dan mengangguk kecil padanya.

Xion sempat tercenung. “Papa yang urus semuanya?”

“Iya,” jawab Papa Rudy sambil tersenyum lebih lebar. “Papa kamu juga bantu. Jadi tenang aja. Nikmati dulu waktu kalian. Jangan langsung terburu-buru balik ke rutinitas.”

Xion mengangguk pelan. Ia tahu, jika dua nama besar itu—Rudy dan Ali—sudah turun tangan, maka segalanya akan berjalan lancar. Apalagi rektor kampus tempatnya mengajar dan kuliah adalah sahabat lama ayahnya sendiri.

Di sampingnya, Tiny menyunggingkan senyum kecil.

Di tengah suasana makan yang hangat, dengan suara sendok beradu pelan di piring dan sesekali celoteh ringan dari anak-anak, Xion sempat melirik ke arah Gery—kakaknya sendiri—yang duduk agak serong dari tempatnya.

Mata Xion menyipit, gerakannya kecil tapi jelas. Ia melihat ekspresi Gery yang tampak... mencurigakan. Mulutnya sedikit mengatup, dagu bergerak-gerak seperti menahan sesuatu—dan benar saja, dua detik kemudian, sudut bibir Gery nyaris terangkat sebelum buru-buru ditekan lagi.

Xion makin curiga.

Lalu tatapannya berpindah. Tepat ke samping Gery—di sana duduk Rez, kakak ipar sekaligus sahabat dekat Gery sejak lama.

Rez juga tampak mencurigakan. Awalnya biasa saja, tapi begitu sadar Xion sedang melihat ke arah mereka, Rez cepat-cepat menggenggam sendok dan menyuapi Aneley—putri kecilnya—dengan gerakan yang terlalu mendadak untuk dibilang spontan.

Apalagi, sebelum itu, Xion sempat melihat bagaimana Rez mengode Gery. Isyarat tangan dan anggukan kepala kecil yang jelas bukan gerakan biasa.

Dan lebih lucunya, keduanya sama-sama diapit istri masing-masing. Gery dengan Alicia yang sedang fokus pada si kembar, dan Rez dengan Layla yang sibuk menepuk-nepuk bahu Aneley yang batuk kecil.

Xion menoleh pelan ke arah makanannya lagi, tapi senyumnya sekilas muncul.

Jangan-jangan... mereka berdua pelakunya?

1
Arisu75
Alur yang menarik
Vanesa Fidelika: makasih kak..

btw, ada novel tentang Rez Layla dan Gery Alicia lho..

bisa cek di..
Senyum dibalik masa depan, Fizz*novel
Potret yang mengubah segalanya, wat*pad
total 1 replies
Aiko
Gak bisa dijelaskan dengan kata-kata betapa keren penulisan cerita ini, continue the good work!
Vanesa Fidelika: aa seneng banget..makasih udah mau mampir kak. hehe

btw ada kisah Rez Layla dan juga Gery Alicia kok. silakan mampir kalau ada waktu..

Senyum Dibalik Masa Depan👉Fi*zonovel
Potret Yang Mengubah Segalanya👉Wat*pad
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!