NovelToon NovelToon
Endless Journey: Emperors Of All Time

Endless Journey: Emperors Of All Time

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Misteri / Fantasi Timur
Popularitas:328
Nilai: 5
Nama Author: Slycle024

Ketika perang abadi Alam atas dan Alam bawah merembes ke dunia fana, keseimbangan runtuh. Dari kekacauan itu lahir energi misterius yang mengubah setiap kehidupan mampu melampaui batas dan mencapai trensedensi sejati.

Hao, seseorang manusia biasa tanpa latar belakang, tanpa keistimewaan, tanpa ingatan masa lalu, dan tumbuh dibawah konsep bertahan hidup sebagai prioritas utama.

Namun usahanya untuk bertahan hidup justru membawanya terjerat dalam konflik tanpa akhirnya. Akankah dia bertahan dan menjadi transeden—sebagai sosok yang melampaui batas penciptaan dan kehancuran?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Slycle024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Keluargaan

Angin segar berdesir, suara kota perlahan mulai ramai. Sebelum sinar matahari pagi muncul, Zhang Feng membuka mata secara perlahan. Wajahnya masih tampak memerah karena terlalu banyak minum.

Ia menoleh ke arah Mu Tian yang masih terbaring dengan botol minuman di tangannya, lalu bangkit dan meminta pelayan untuk menyampaikan pesan pada Mu Tian bahwa mereka harus segera kembali.

Setelah itu, Zhang Feng dan istrinya pergi.

Beberapa saat kemudian, Mu Tian membuka mata dan mendapati Zhang Feng sudah tidak ada. Ia hanya menghela nafas dan mengerti beberapa kebiasaan Zhang Feng, Ia mengeluarkan sebuah token, lalu memanggil pelayan. 

Seketika dua orang pelayan mendekat dan memberi salam dengan penuh hormat.

“Salam, Tuan Mu Tian. Air dan hidangan untuk pagi ini sudah kami siapkan,” ucap salah satu pelayan.

Masih dalam keadaan linglung, Mu Tian menatap mereka berdua, lalu berkata: “Baiklah…terima kasih, apakah mereka sudah pergi?”

Pelayan terdiam, mereka saling berhadapan, segera mengerti maksudnya dan menjawab: “Tuan Zhang dan istrinya berangkat sebelum matahari terbit. Beliau berpesan, akan hadir pada hari penobatan Kepala Keluarga Mu.”

Mendengar hal itu, Mu Tian tampak cukup senang, kemudian Ia terdiam sejenak, merenung, lalu menatap kedua pelayannya.

“Pergilah. Pastikan suhu air seperti biasa. Siapkan juga sup untuk mengurangi mabuk, dan bawakan juga seorang pencicip.” Ucap Mu Tian dengan nada tegas. Bagaimanapun, akhir-akhir ini terlalu banyak orang yang ingin membunuhnya.

***

Di sebuah tempat, langkah kuda berpacu cukup cepat di jalan setapak yang masih dalam remang-remang.

Di dalam gerbong, Zhang Feng duduk bersandar. Wajahnya sudah kembali normal, meski sesekali ia menarik napas panjang, seolah mencoba menenangkan pikirannya.

“Sayang… kamu sudah sadar,” ucap Fei Yin dari depan, tangannya mantap memegang kendali kuda.

“Iya,” jawab Zhang Feng singkat. “Beri aku waktu setengah jam.”

“Baiklah.”

Di kejauhan, bayangan padang rumput menyambutnya. Burung-burung mulai berkicau riang menyambut matahari pagi, seakan tak peduli pada kegelisahan manusia yang secara perlahan berlalu. 

Setengah jam kemudian, Zhang Feng akhirnya maju menggantikan istrinya mengendalikan kuda.

“Sayang… apa yang kamu bicarakan semalam?” tanya Fei Yin pelan.

“Tidak banyak, hanya kejadian masa lalu” jawab Zhang Feng, matanya tetap lurus ke depan. “satu hal lagi—Saudara Mu mengundang kita hadir di acara penobatannya.”

“Jadi begitu…” gumam Fei Yin singkat, lalu tersenyum samar. “Kalau begitu, nanti kita berhenti sebentar di pasar. Aku ingin membeli beberapa mainan untuk Mei’er.”

Zhang Feng mengangguk. Segera, ia mengambil cambuk, lalu gerakan kereta menjadi dua kali lebih cepat.

Saat melewati sebuah tikungan, ia menoleh ke arah belakang, firasatnya terasa aneh dan kurang menyenangkan. Seperti ada yang mengawasi. Namun, ia mengabaikannya.

Dalam dunia seperti ini, kewaspadaan dan kecurigaan sangat penting dimiliki.

Beberapa kilometer kemudian, mereka tiba di pasar kecil. Setelah membeli beberapa kebutuhan dan mainan, pasangan itu kembali melanjutkan perjalanan pulang.

 

Pagi menjelang siang, Hao masih santai membalikan halaman demi halaman, sementara Zhang Mei berbaring di kursi menatap jalan menunggu kepulangan orang tuanya.

Tiba-tiba, suara derap kuda terdengar dari kejauhan. Dalam sekejap, wajah lesu Zhang Mei berubah cerah. Ia bangkit, lalu berlari ke depan pagar rumah, seakan ingin segera menyambut kepulangan mereka.

“Kakak! Itu pasti Ayah dan Ibu!” serunya sambil berlari ke depan pagar.

Hao melirik perlahan. “Jangan terlalu bersemangat dulu. Bisa saja itu orang lain.”

Namun, begitu kereta berhenti di depan rumah, terlihat jelas Zhang Feng di kusir dan Fei Yin di sampingnya. Zhang Mei tersenyum lebar, lalu melambaikan tangan dengan riang.

“Ibu! Ayah! Kalian pulang juga!” teriaknya sambil berlari menghampiri.

Fei Yin turun lebih dulu, menyambut putrinya dengan pelukan erat. “Mei’er, Ibu merindukanmu. Kau pasti ketakutan tidur sendiri, kan?”

Zhang Mei mengangguk cepat. “Seperti biasa, Ibu. Tapi aku bosan… aku menunggu dari pagi.”

Zhang Feng ikut turun, menepuk kepala putrinya lembut. “Hm, sudah jadi gadis manis, ya?”

Hao akhirnya berjalan mendekat, tangannya masih memegang buku. “Kalian pulang lebih cepat dari perkiraan.”

“Kau tidak senang, Nak?” tanya Fei Yin sambil tersenyum.

“Hanya sedikit pegal,” jawab Hao datar, tapi matanya menatap mereka dengan lega. “Bagaimana perjalanannya?”

“Lancar,” sahut Zhang Feng singkat. “Kami hanya terlibat dengan sedikit masalah, lalu mampir membeli beberapa barang. Dan… mainan untuk Mei’er.”

“Mainan?!” Zhang Mei langsung berseri-seri. “Ibu, cepat tunjukkan! Apa boneka lagi? Atau permen?atau gaun baru?”

Fei Yin terkekeh kecil. “Tunggu dulu, biarkan Ayahmu membawanya masuk. Kau ini, dasar anak manja.”

Hao menyilangkan tangan, lalu menghela napas pendek. “Kalau bukan karena ada mainan, kau pasti langsung mengeluh.”

Zhang Mei manyun sambil menoleh pada kakaknya. “Kakak ini selalu dingin! Ayah, lihatlah, dia bahkan tidak kangen dengan kalian!”

Hao terdiam sejenak, lalu menunduk kecil. “Selamat datang kembali, Mei'er tidak ada jalan-jalan minggu besok.” ucapnya pelan.

Zhang Mei langsung terdiam, seakan kehilangan sesuatu.

Hening sesaat. Lalu Hao menoleh pada Fei Yin. “Ibu… apakah Ibu punya peta yang mencakup Hutan Iblis juga?”

Pertanyaan itu membuat Zhang Feng dan Fei Yin saling menatap, jelas ada keterkejutan di wajah mereka.

“Hutan Iblis?” ulang Fei Yin ragu. “Untuk apa kau menanyakannya?”

Hao menarik nafas panjang, menatap lurus pada mereka. “Aku… sudah lama tidak bertemu dengan kenalan lama.”

Zhang Feng terdiam, alisnya mengernyit. Fei Yin, meski masih bingung, akhirnya berdiri dan mengambil sebuah gulungan dari rak kayu. Dengan hati-hati ia menyerahkannya pada Hao.

“Ini mencakup wilayah empat keluarga besar, termasuk Hutan Iblis,” ucapnya.

Hao membentangkan peta itu. Setelah menelusuri jalur dengan matanya, ia mendapati bahwa hutan itu sebenarnya tak terlalu jauh—hanya butuh dua jam perjalanan.

Ia menggulung peta kembali, lalu menyelipkannya di pinggang. “Kalau begitu… aku pamit dulu.”

Tanpa menunggu reaksi lebih lanjut, Hao berbalik dan melangkah keluar rumah, meninggalkan Zhang Feng dan Fei Yin yang masih terdiam dengan tatapan penuh tanya.

Saat langkah Hao hampir melewati pagar, Zhang Feng tersadar. Ia maju setengah langkah dan berteriak : “Kembalilah sebelum matahari terbenam. Besok kita akan jalan-jalan bersama.”

Hao berhenti sejenak, menoleh separuh dan mengangguk.

Saat ini, Hao berdiri di gerbang pasar. Ia berjalan pelan, matanya berkeliling sambil sesekali bertanya pada orang-orang, mencari informasi tentang kereta mana yang bersedia mengantarnya ke desa dekat Hutan Iblis.

Secara tak sengaja, ia melihat seorang pria menyelipkan beberapa koin ke tangan penjaga, lalu tak lama sebuah kereta berhenti di hadapan pria itu. Dari sana, Hao menyadari cara tercepat untuk pergi.

Ia pun berjalan mendekat. Mengeluarkan sebuah kantong kecil, ia menyerahkannya pada penjaga sambil membuka peta.

“Pak penjaga, apakah ada kereta yang melewati desa ini? Tolong.” Ujung jarinya menunjuk sebuah desa yang berada di dekat hutan iblis.

Penjaga itu melirik isi kantung, lalu wajahnya berubah ramah. Ia menepuk pundak Hao singkat. “Tunggu sebentar di sini.”

Tak lama kemudian, sebuah kereta muncul di hadapan Hao. Penjaga tadi memberi isyarat agar ia naik.

Hao masuk tanpa banyak bicara. Begitu pintu tertutup, kereta pun berderit perlahan, bergerak meninggalkan pasar.

Setelah satu jam perjalanan, kereta berhenti di sebuah desa yang dikenal Hao. Namun saat menjejak tanah, ia tertegun.

Desa itu berubah drastis—rumah-rumah tampak tidak merata, jalan yang sepi, dan wajah penduduk penuh kemuraman. Ini bukan lagi tempat yang sama dalam ingatannya.

1
誠也
7-10?
Muhammad Fatih
Gokil!
Jenny Ruiz Pérez
Bagus banget alur ceritanya, tidak monoton dan bikin penasaran.
Rukawasfound
Lucu banget! 😂
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!