DEBU (DEMI IBU)

DEBU (DEMI IBU)

1. Harga yang Tak Ternilai

Ardi terduduk di trotoar, tubuhnya lunglai seolah seluruh beban dunia menekan di pundaknya. Matahari sore merayap perlahan, memantulkan cahaya oranye yang membuat bayangan tubuhnya tampak lebih rapuh dari kenyataannya.

Tangannya menutup wajah, rambut acak-acakan menempel pada kening yang basah oleh keringat. Napasnya berat.

“Istriku… sudah telat cuci darah sehari,” gumamnya parau, suaranya nyaris tak terdengar. “Kesehatannya… menurun drastis. Kemana lagi aku harus mencari uang untuk Kemala?”

Ia menunduk lebih dalam, menatap aspal yang retak. Retakan itu seperti hidupnya, patah, hancur, kehilangan arah.

PHK massal telah merenggut pekerjaannya. Rumah satu-satunya sudah ia jual untuk membuka toko kelontong kecil. Baru lima bulan ia dan keluarganya merasakan sedikit harapan, tapi si jago merah mengamuk di pasar, melahap semuanya. Ardi bahkan tak sempat menyelamatkan apa pun dari usahanya.

Motor tua yang dulu setia mengantarnya bekerja pun sudah terjual, demi satu-satunya hal yang masih ia genggam. Nyawa Kemala.

Namun, nyawa itu kini seolah tergantung pada seutas benang tipis. Biaya cuci darah terlampau besar. Ia rela bekerja apa saja demi mendapatkan uang, tetapi tetap tak sanggup mengejar angka-angka yang terus menagih.

“Aku… nggak siap kehilangan Kemala.” Suaranya pecah. “Dan Kevia? Dia masih terlalu kecil… masih butuh ibunya. Tuhan… hamba harus gimana?”

Ardi menekuk tubuh, wajahnya hampir menyentuh lutut. Air matanya jatuh, bercampur dengan debu trotoar. Orang-orang lewat memerhatikannya. Ada yang mengernyit, ada yang melirik iba, lebih banyak lagi yang hanya lewat tanpa peduli.

Dunia seperti berputar tanpa sudi menoleh pada kesedihannya.

Ardi memejamkan mata, berusaha menenangkan gejolak di dadanya. Ia mencoba berpikir jernih, walau otaknya seperti dihimpit tembok tak berujung.

Lalu… suara itu terdengar.

Lembut, namun menusuk.

“Aku akan menanggung biaya cuci darah Kemala… selamanya.”

Ardi terhenyak. Kepalanya terangkat perlahan. Matanya membelalak, mencari sumber suara.

Dan saat ia melihat siapa yang berdiri di hadapannya, napasnya tercekat.

Di depannya, berdiri seorang wanita dengan tubuh tegak, wajah terawat, sedikit lebih muda darinya. Rambut hitam bergelombang jatuh di bahu, bibirnya terukir senyum samar. Senyum yang justru membuat dada Ardi makin sesak.

Rima.

Nama itu menyalak di dalam kepalanya.

Wanita yang sejak remaja dulu tak pernah berhenti mengejarnya. Wanita yang terang-terangan menantang Kemala, namun akhirnya kalah karena hatinya, ruang yang penuh oleh cinta, hanya tertuju pada satu orang. Kemala.

Saat ia memilih Kemala sebagai pendamping hidup, Rima akhirnya menjauh. Setidaknya begitu yang Ardi kira. Tapi sekarang, bertahun-tahun kemudian, ia berdiri lagi di hadapannya. Masih dengan sorot mata yang sama. Kali ini, lebih berani, lebih matang, dan entah kenapa terasa berbahaya.

“Kau…” gumam Ardi lirih, separuh tak percaya.

Rima tersenyum. Senyum yang lembut, tapi Ardi bisa merasakan ketajaman tersembunyi di baliknya.

“Aku nggak kaya raya, Ar,” ucapnya pelan, namun setiap kata terdengar mantap. “Tapi aku lebih dari mampu… jika hanya untuk membiayai cuci darah Kemala. Aku punya dua minimarket, dan satu biro pengiriman barang. Sekarang sedang ramai. Kau tahu sendiri, orang-orang makin tergantung pada toko online.”

Ardi terdiam. Kata-kata itu menancap seperti paku di benaknya. Menanggung biaya cuci darah Kemala… selamanya? Dari mulut Rima? Wanita yang dulu menjadi saingan istrinya?

Tak masuk akal. Tak bisa dipercaya.

“Bagaimana?” suara Rima kembali mengalun, kali ini lebih halus, nyaris seperti bisikan. “Kita bicara di mobilku.”

Perkataannya lebih mirip ajakan yang tak memberi pilihan.

Ardi menunduk. Ragunya menjerit, logikanya menolak, namun bayangan wajah Kemala yang pucat dan tubuhnya yang melemah menghantam lebih keras. Demi wanita yang ia cintai, demi putrinya yang masih terlalu kecil untuk kehilangan ibunya, ia tak punya banyak waktu untuk ragu.

Pelan, berat, Ardi mengangguk.

Senyum Rima mengembang. Ada kilatan yang tak bisa disembunyikan dari matanya. Entah itu kebahagiaan… atau mungkin awal dari sebuah kemenangan yang sejak lama ia nantikan.

Begitu duduk di mobil, Ardi langsung bersuara, tanpa menatap wanita di sampingnya, jelas enggan berlama-lama dengan Rima.

“Di dunia ini nggak ada yang gratis.” Suaranya parau, membelah keheningan mobil. Tatapan Ardi lurus ke depan, rahangnya mengeras. “Kau pasti punya syarat untuk membantuku, kan? Apalagi… dulu kau saingan Kemala.”

Rima terkekeh lirih. Senyumannya penuh percaya diri.

“Ardi sayang,” ucapnya manis, “kau memang nggak pernah berubah. To the point. Dan itu selalu bikin aku tertarik.” Ia mencondongkan tubuh, mata berkilat. “Ya, kau benar. Tak ada yang gratis di dunia ini.”

Ardi menghela napas, firasatnya terbukti.

“Aku bersedia menanggung semua biaya cuci darah Kemala… selamanya,” kata Rima datar, tapi dengan senyum penuh kemenangan. “Hitam di atas putih. Tapi syaratnya... ceraikan dia.”

Ardi menoleh, tersenyum pahit. “Sudah kuduga. Tapi sejak janji suci itu terucap, aku bersumpah… Kemala tetap satu-satunya istriku. Dunia akhirat.”

Rima mendengus, lalu bersandar santai. Senyumannya melebar, tapi dingin.

“Kalau begitu… kau akan membiarkannya mati?”

Ardi memejamkan mata, dadanya terasa sesak. Ia sudah mencoba segala cara untuk bertahan. Pagi hingga sore ia bekerja serabutan, berjualan keliling, menjadi kuli bangunan, kuli panggul, memeras tenaga hingga tulangnya seakan berteriak.

Saat matahari turun, ia masih memungut botol bekas hingga larut malam. Tidurnya hanya sebentar. Sebelum fajar, ia kembali menyusuri tumpukan sampah demi beberapa rupiah. Namun sekeras apa pun ia berjuang, uang itu selalu habis, tak pernah cukup untuk membayar cuci darah rutin Kemala.

“Tuhan… aku nggak siap kehilangannya…” hatinya terasa diremas tiap kali bayangan kehilangan itu datang. Bayangan Kemala pergi selamanya hanya karena ia tak mampu membiayai hidupnya, itu terlalu menyakitkan.

Rima menatapnya, senyum miring terbit di bibirnya. "Oke." Ia mencondongkan wajah, suaranya terdengar dingin. “Aku tak memintamu menceraikannya. Dia tetap jadi istrimu. Tapi sebagai imbalan… kau menikah denganku.”

Rima kembali menyandarkan punggung ke kursi, lalu menatap Ardi dengan penuh percaya diri. "Tak apa aku jadi yang kedua. . Itu cukup untuk membuktikan, bahwa aku bisa memiliki dirimu.”

Tangannya terulur, mengusap rahang Ardi dengan lembut. Refleks, Ardi menepis kasar. Wajahnya menegang, antara muak dan putus asa.

Rima tidak marah. Ia hanya tersenyum kecut, lalu menembakkan kata-kata berikutnya dengan kejam, tanpa jeda, seperti peluru.

“Kau tak punya pekerjaan tetap. Kemala akan mati kalau tak cuci darah. Anakmu, Kevia, akan kehilangan ibunya. Kalian tinggal di kontrakan sempit dua kamar yang bahkan bocor kalau hujan. Kau pikir masa depan anakmu akan seperti apa?”

Ardi terdiam. Kata-kata itu menohok, karena semua benar.

“Aku memberimu kesempatan menyelamatkan istrimu,” Rima melanjutkan, nadanya kini lembut tapi mencekik. “Menyelamatkan masa depan putrimu. Semua bisa kau dapatkan hanya dengan satu kata: ya. Tapi kalau kau menolak… berarti kau lebih mementingkan egomu. Cinta mulia yang kau banggakan itu? Ego, Ardi. Kau tega membiarkan mereka hancur hanya karena kau tak mau mengorbankan harga diri.”

Ardi terdiam.

Ego? Bukan. Ini tentang cinta, tentang janji yang pernah ia ucapkan di depan Tuhan. Tapi apa arti janji jika ia hanya bisa duduk di samping ranjang Kemala, menatap istrinya sekarat karena tak ada uang? Apa arti setia kalau akhirnya hanya menyisakan penyesalan di hadapan putrinya yang kehilangan ibu?

Ardi menatap kosong ke luar jendela. Hatinya berteriak menolak, tapi logikanya dicekik realita. Bayangan wajah Kemala yang lemah, Kevia yang masih terlalu kecil… semuanya menekan dadanya.

Ia tahu, sekali ia mengangguk, hidupnya tak lagi sama. Tapi jika tidak… ia mungkin akan kehilangan segalanya.

...🌸❤️🌸...

Next chapter...

“Sayang…” panggilnya lirih. Suaranya bergetar. “Aku… ingin menikah lagi.”

To be continued

Terpopuler

Comments

anonim

anonim

Ardi seorang suami dan ayah dari seorang putri sedang mengalami kesulitan keuangan.
Kemala istrinya harus menjalani cuci darah rutin. Keadaan yang sangat memprihatinkan - terkena PHK masal - musibah menimpanya - kerja apa saja demi mendapatkan uang - tapi jauh mencukupi kebutuhan hidup.
Rima - wanita yang pernah mengejar Ardi sejak remaja menawarkan menanggung biaya cuci darah Kemala - selamanya - dengan syarat Ardi menceraikan istrinya. Tak mungkin Ardi menceraikan istrinya.
Akhirnya penawaran Rima sebagai istri ke dua pun mau.

terima kasih Author dengan cerita barunya - ditunggu kelanjutannya

2025-08-19

3

Anitha Ramto

Anitha Ramto

mampir di Kariya baru Kak Nana...
sepertinya kisah Kian dan Kanya akan segera Tamat....

Pak Ardi kalah dengan kekuatan uang...demi nyelamatkan istrinya ia rela menikah lagi,,sakit hati Kemala lebih baik ia mati dari pada di madu

2025-08-19

2

tse

tse

kasihan Ardi...
hal semacam ini banyak terjadi di sekitar kita, banyak yang di lema seperti ini biadanya adalah wanita....
jadi pengkhianatan bukan hanya karna keinginan masing2 tapi ada yang awalnya karna sebuah tekanan ekonomi...

pasti ceritanya sangat menarik dan penuh polemik unik di dalamnya...

semoga Ardi tetap setia menjaga hati dan cintanya hanya untuk Keluarga kecilnya..

2025-08-20

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!