Demi menikahi wanita yang dicintainya, Arhan Sanjaya mengorbankan segalanya, bahkan rela berhutang banyak dan memenuhi semua keinginan calon mertuanya. Terbelenggu hutang, Arhan nekat bekerja di negeri seberang. Namun, setelah dua tahun pengorbanan, ia justru dikhianati oleh istri dengan pria yang tak pernah dia sangka.
Kenyataan pahit itu membuat Arhan gelap mata. Amarah yang meledak justru membuatnya mendekam di balik jeruji besi, merenggut kebebasannya dan semua yang ia miliki.
Terperangkap dalam kegelapan, akankah Arhan menjadi pecundang yang hanya bisa menangisi nasib? Atau ia akan bangkit dari keterpurukan, membalaskan rasa sakitnya, dan menunjukkan kepada dunia bahwa orang yang terbuang pun bisa menjadi pemenang?
Karya ini berkolaborasi spesial dengan author Moms TZ.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Budi datang bersama Larasati
.
Matahari kian meninggi, sinarnya membakar semangat Arhan. Namun, hingga siang menjelang sore, warungnya masih sepi. Hanya beberapa pembeli yang datang, itupun mungkin karena penasaran dengan warung baru.
"Tenang, Han. Ini baru hari pertama. Besok pasti lebih ramai," gumam Arhan sambil menyeka peluh di dahi. Menasehati diri sendiri bahwa semua memang butuh proses.
Saat seorang bapak paruh baya membayar pesanannya, Arhan tersenyum lebar. "Terima kasih banyak, Pak. Jangan kapok ya!"
Bapak itu mengangguk. "Kalau kualitasnya terus seperti ini sih, saya nggak akan kapok, Mas. Sambalnya mantap. Pedasnya bikin nagih. Asalkan jangan setelah laris terus kualitas dikurangi aja."
Arhan tersenyum menanggapi itu. "In Syaa Allah tidak akan, Pak,* jawabnya.
Hal yang biasa sebenarnya ucapan bapak itu. Malah terkesan seperti nasehat. Mengingat tidak sedikit, penjual makanan yang ketika di awal mereka mengutamakan kualitas, tetapi kemudian setelah laris kualitas bahan dikurangi.
Setelah bapak itu pergi, Arhan kembali duduk di kursi, menatap jalanan yang mulai ramai. Budi belum juga datang, padahal ia sudah sangat menantikan kehadirannya.
"Mungkin masih sibuk kerja," pikirnya, mencoba berpikir positif.
Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di benaknya. "Kenapa tidak coba promosi dengan kasih diskon saja? Mudah-mudahan bisa menarik pembeli," gumamnya.
Arhan bergegas mengambil kardus kosong yang ada di dapur. Dia ambil bagian lebarnya untuk membuat pengumuman menggunakan spidol dan ditempelkan di bawah spanduk yang ada di depan warung.
"DISKON 50% KHUSUS HARI INI! GRAND OPENING WARUNG SAMBAL BAKAR BARA API!"
Tak lama kemudian, seorang anak muda berhenti di depan warung, membaca pengumuman itu dengan seksama. "Wah, diskon nih? Boleh juga dicoba," ujarnya, lalu masuk ke dalam warung.
"Mas, ayam bakar satu ya. Sambalnya yang paling pedas!"
Arhan tersenyum sumringah. "Siap, Mas! Diskon 50% ya!"
Anak muda itu terkejut. "Wah, beneran diskon nih? Mantap!" Berbicara sendiri sambil menggosok-gosok dua telapak tangannya.
Arhan tertawa. "Iya, Mas. Khusus hari ini saja. Biar pada nyobain sambal bakar buatan saya."
"Oke deh, Mas. Semoga laris manis ya!"
"Aamiin! Makasih banyak, Mas!"
Dengan adanya tulisan diskon yang ia pasang di depan, warung Arhan mulai didatangi lebih banyak orang. Meski belum seramai yang ia harapkan, setidaknya ada peningkatan. Arhan terus menyemangati dirinya sendiri, berharap esok hari akan lebih baik.
"Semangat, Arhan! Kamu pasti bisa!" bisiknya, sambil terus melayani pelanggan dengan senyum terbaiknya.
*
Matahari semakin bergeser ke Barat, langit mulai dihiasi semburat jingga. Arhan masih sibuk melayani pelanggan yang datang silih berganti. Hatinya sedikit lega, diskon 50% ternyata cukup ampuh menarik perhatian.
Tiba-tiba, suara riuh rendah terdengar dari kejauhan. Arhan yang baru selesai mencuci piring, menoleh dan melihat Budi berjalan menghampirinya, diikuti beberapa orang di belakangnya.
"Arhan! Ini dia jagoan sambal bakar!" seru Budi, merangkul pundak Arhan.
Arhan tertawa. "Bud, kamu beneran datang bawa teman?"
"Harus dong! Biar pada nyobain sambal bakar resep Bu Astuti yang bikin nagih," jawab Budi, lalu memperkenalkan teman-temannya satu per satu. "Kenalin, ini Ririn, ini Joko, ini Ridho, dan ini..."
Arhan tertegun. Di antara rombongan itu, ada seorang wanita yang sangat familiar baginya. "Bu Larasati?"
Wanita itu tersenyum anggun. "Halo, Pak Arhan. Apa kabar?"
"Baik, baik sekali. Terima kasih sudah datang," jawab Arhan, sedikit gugup.
Budi menepuk pundak Arhan. "Arhan, kamu masih ingat dengan Laras?"
Arhan mengangguk, mengingat kembali masa-masa sulit itu. "Saya tidak akan pernah melupakan jasa Bu Larasati."
Larasati tersenyum. "Sudah lupakan saja yang lalu. Saya senang bisa melihat Anda bangkit. Saya dengar dari Mas Budi, sambal bakar buatan Pak Arhan mantul pedasnya."
"Arhan saja, Bu.” Arhan meminta Larasati untuk tidak memanggilnya ‘Pak’. “Semoga Bu Laras suka," jawab Arhan, bersemangat. "Silakan duduk, biar saya siapkan pesanan untuk Bu Laras dan teman-teman."
Larasati mengangguk lalu segera duduk di meja yang sudah disiapkan diikuti oleh teman-temannya.
Arhan bergegas ke dapur diikuti oleh Budi, menyiapkan pesanan mereka.
“Teman-teman kamu suka ayam atau ikan, Bud?" tanya Arhan. “Atau dua-duanya?"
“Bikinin dua-duanya juga nggak papa," jawab Budi. “Yang buat Laras nasinya separuh saja," lanjutnya.
Kalimat yang membuat Arhan menoleh. Segitu hafalnya budi dengan kebiasaan Bu Laras. Apakah ada something special? Ah, ia akan tanya nanti kalau pulang.
Sambil memasak, tak henti-hentinya Arhan tersenyum. Kedatangan Budi dan teman-temannya membuatnya semakin bersemangat.
Beberapa menit kemudian pesanan selesai. Arahan segera membawanya ke depan dibantu oleh Budi.
"Ini dia pesanan ayam bakar sambal bakar spesial dari Warung Bara Api!" seru Budi yang berjalan dengan nampan di tangannya.
"Wah, aromanya saja sudah bikin lapar!" kata Ririn.
"Silakan dicoba. Jangan lupa kritik dan sarannya kalau ada yang kalau kurang pas ya," ujar Arhan, tersenyum.
Semua orang mulai menyantap hidangan dengan lahap. Suasana warung semakin ramai dan hangat. Arhan merasa sangat bahagia. Hari pertamanya berjualan tidaklah sia-sia.
"Gimana, Bud, Bu Larasati dan teman-teman? Ada yang kurang pas nggak?" tanya Arhan, penasaran.
Larasati mengacungkan satu jempolnya, tersenyum dengan mulut tertutup, karena masih sambil mengunyah makanan dalam mulutnya.
"Enak sekali, Pak Arhan. Sambalnya benar-benar membara!” ucapnya setelah berhasil menelan makanan. Hal yang sama Arhan terima juga dari teman Budi yang lain. Senyum lebar pun tercetak di wajah Arhan.
"Iya, betul, Han." Budi ikut mengacungkan jempol. "Ini benar-benar persis sambalnya Ibu."
*
Jam dinding menunjukkan pukul 7 malam. Lampu-lampu jalan mulai menyala, menerangi kota yang semakin ramai. Arhan mulai membereskan sisa dagangannya. Budi, yang masih menemaninya setelah Larasati dan teman-temannya pulang, ikut membantu. Meski beberapa menu masih tersisa, Arhan tidak merasa kecewa. Ia justru bersyukur karena hari pertamanya berjualan berjalan lancar.
"Lumayan, Bud. Nggak papa deh nggak habis. Ini pun aku sudah bersyukur," kata Arhan, tersenyum.
Budi mengangguk. "Iya, Han. Lagi pula itu nanti bisa disimpan di kulkas. Bisa buat makan malam dan juga sarapan besok pagi. Malah bagus, jadi kamu nggak perlu masak lagi."
Arhan tertawa. "Bener juga. Lumayan hemat tenaga."
Mereka berdua bekerja sama membersihkan meja dan kursi, menyapu lantai, dan merapikan peralatan masak.
“Sudah, Bud. Kamu duduk saja sana! Kamu kan sudah capek sejak pulang kerja belum istirahat."
Namun, Budi seolah tak mendengar apa kata Arhan. Pria itu yang lengan kemejanya sudah dilipat hingga ke siku, masih juga bergerak membantu.
Aroma sambal bakar masih tercium di udara, bercampur dengan aroma malam yang khas.
"Gimana, Han? Capek?" tanya Budi, sambil mengelap meja.
"Lumayan, Bud. Tapi seneng kok. Akhirnya bisa jualan sendiri," jawab Arhan, menyeka peluh di dahi.
"Nah, gitu dong! Jangan pernah nyerah. Ingat, masih ada aku yang selalu dukung kamu," kata Budi, menepuk pundak Arhan.
Arhan tersenyum tulus. "Aku nggak akan bilang makasih lagi. Takutnya kamu muntah di sini, nanti malah aku yang repot. Ha ha ha… “
Budi ikut tertawa lalu merangkul pundak Arhan.
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kebersamaan itu. Arhan merasa sangat beruntung memiliki sahabat seperti Budi. Di saat-saat sulit, Budi selalu ada untuknya.
Tiba-tiba Arhan teringat akan kedatangan Budi bersama Larasati tadi sore. Keakraban mereka begitu kentara, membuat Arhan penasaran. Dengan nada menggoda, ia bertanya, "Bud, kamu kelihatan akrab banget sama Bu Larasati? Jangan-jangan... calon istri nih?"
Budi langsung tersentak. Wajahnya memerah bak tomat matang. "Apaan sih kamu, Han! Nggak usah ngaco!"
Arhan tertawa melihat reaksi Budi. "Cieee... yang salting! Ngaku aja deh, Bud. Aku lihat sendiri kok, kalian deket banget."
Budi berusaha mengelak. "Nggak ada apa-apa, Han. Kita cuma temen biasa."
"Temen kok mesra gitu? Hayooo... jangan-jangan selama ini kamu nyimpen rasa sama Bu Laras ya?" goda Arhan, semakin menjadi-jadi.
Budi mendengus kesal. "Udah deh, Han. Nggak usah bahas itu terus. Mendingan cepetan beresin ini, biar bisa istirahat."
Arhan tertawa puas melihat Budi yang salah tingkah. Ia tahu, sahabatnya itu pasti menyukai Larasati. Namun, ia memilih untuk tidak memaksanya mengaku. Biarlah waktu yang menjawab.
Gusti mboten sare...
orang tua macam apa seperti itu...
membiarkan anaknya melakukan dosa...🤦♀️🤦♀️🤦♀️🤦♀️
bukan malah menyalahkan org lain..