Dyah Galuh Pitaloka yang sering dipanggil Galuh, tanpa sengaja menemukan sebuah buku mantra kuno di perpustakaan sekolah. Dia dan kedua temannya yang bernama Rian dan Dewa mengamalkan bacaan mantra itu untuk memikat hati orang yang mereka sukai dan tolak bala untuk orang yang mereka benci.
Namun, kejadian tak terduga dilakukan oleh Galuh, dia malah membaca mantra cinta pemikat hati kepada Ageng Bagja Wisesa, tetangga sekaligus rivalnya sejak kecil. Siapa sangka malam harinya Bagja datang melamar dan diterima baik oleh keluarga Galuh.
Apakah mantra itu benaran manjur dan bertahan lama? Bagaimana kisah rumah tangga guru olahraga yang dikenal preman kampung bersama dokter yang kalem?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
“Apa Koh Ahong sudah mau memberikan restu sama kamu dan Meylin?” tanya Galuh penasaran. Nada suaranya penuh rasa ingin tahu, karena ia tahu betul perjuangan Ryan mendekati Meylin tidaklah mudah.
“Kalau itu aku belum tahu,” jawab Ryan sambil menghela napas kecil, lalu tersenyum tipis. “Setidaknya sekarang kalau aku ngajak Meylin berbicara, Koh Ahong tidak memarahi atau mengusir aku.”
Tatapan Ryan tampak berbinar-binar. Raut wajahnya memancarkan kebahagiaan, seolah dunia di sekitarnya terasa lebih indah hanya dengan menyebut nama Meylin. Ada harapan yang tumbuh perlahan dalam hatinya, meski jalan ke depan masih penuh tantangan.
“Semangat sampai ke pelaminan!” kata Dewa, tidak kalah bersemangat. Ia menepuk punggung Ryan dengan tawa renyah.
Mereka bertiga pun tertawa bersama. Tawa yang sederhana, namun sarat dengan kehangatan persahabatan. Tiga sekawan itu memang terbiasa berbagi suka dan duka.
Sejak dulu, mereka saling melindungi, mendukung, bahkan menegur jika salah satu mulai melenceng. Ikatan yang terbentuk bukan hanya karena mereka teman kerja, melainkan karena hati mereka sama-sama merasa “pulang” satu sama lain.
Tak lama, bunyi lonceng sekolah menggema di seluruh halaman. Suara khas yang mengalihkan perhatian seluruh murid. Tawa tiga sekawan pun bubar, masing-masing bergegas menuju kelas.
Galuh melangkah menuju lapangan. Hari ini ia mengajar olahraga untuk kelas satu. Anak-anak kecil itu berlarian dengan semangat, meski ada saja yang jatuh dan menangis sebentar lalu kembali tertawa. Galuh membimbing mereka dengan sabar, memberikan arahan sederhana sambil tersenyum lebar. Baginya, tawa anak-anak itu seperti obat penenang hati.
Sementara itu, Dewa dan Ryan menuju kelas masing-masing. Dari kejauhan, sesekali mereka melambaikan tangan ke arah Galuh, lalu sibuk dengan murid mereka sendiri.
Jam istirahat pun tiba. Suasana sekolah seketika dipenuhi suara riuh anak-anak yang berlarian ke kantin. Galuh ikut antre membeli siomay bersama beberapa muridnya. Ia memperhatikan anak-anak yang mengeluarkan koin receh dari kantong kecil mereka. Beberapa anak tampak ragu karena uangnya pas-pasan.
Tanpa banyak kata, Galuh membayar siomay untuk beberapa murid yang tidak mampu. “Ini buat kalian, ya. Ingat, seporsi saja cukup,” katanya lembut.
“Terima kasih, Bu Galuh!” Anak-anak itu tersenyum lebar, mata mereka berbinar penuh syukur. Meski hanya seratus rupiah seporsi, bagi anak-anak itu sudah cukup membuat perut kenyang.
Tak lama kemudian, Galuh duduk di bawah pohon besar bersama Ryan dan Dewa. Mereka makan siomay dengan santai, bercanda ringan sambil mengomentari tingkah murid-murid.
Tiba-tiba terdengar suara memanggil, “Galuh!”
Galuh menoleh. Langkahnya terhenti, napasnya tercekat. “Max?!” serunya terkejut.
Di hadapannya berdiri seorang pria berwajah bule dengan tubuh sedikit ringkih. Kepala Max dililit perban, dan jalannya agak pincang. Tatapan matanya terlihat lelah, namun ada senyum tipis yang ia paksakan.
“Kepala dan kaki kamu kenapa, Max?” tanya Dewa spontan. Ia menatap khawatir melihat kondisi pria itu.
“Aku kecelakaan beberapa hari lalu. Makanya tidak bisa hadir pas nikahan Galuh,” jawab Max pelan.
Max mengalami kecelakaan saat dalam perjalanan pulang ke kampung. Dia ingin hadir di hari kebahagiaan orang yang masih menempati posisi tertinggi di hatinya. Dia mendapatkan beberapa jahitan luka di kepalanya dan sempat mendapatkan perawatan selama tiga hari di rumah sakit.
“Lukanya tidak ada yang serius, kan?” Galuh refleks mendekat. Raut wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Ia bahkan berusaha memeriksa luka-luka di tangan dan kaki Max.
Max menahan senyum, meski jelas rasa sakit masih menghantuinya. “Ya, cuma geger otak ringan. Untung kepala masih terlindungi helm. Badan juga paling lecet-lecet saja.”
Mata Galuh berkaca-kaca. Hatinya perih melihat sosok yang dulu pernah begitu ia cintai dalam keadaan seperti itu. Walaupun kini status mereka hanya mantan, ia tak pernah bisa menghapus rasa sayangnya. Mereka putus bukan karena kebencian, melainkan karena prinsip keyakinan yang tak bisa disatukan.
Max menunduk sebentar, lalu berkata, “Tadi aku ke rumahmu, tapi katanya kamu di sekolah. Jadi aku ke sini.” Ia tersenyum tipis, namun sorot matanya penuh luka. “Apa kamu dan Bagja tidak pergi honeymoon?”
Galuh menggeleng perlahan. “Bagja harus masuk kerja. Di sini tidak banyak dokter. Kalau ada orang sakit, kasihan kalau tidak segera ditolong.”
Max menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Bagja memang baik orangnya. Aku percaya dia bisa menjaga dan membahagiakan kamu, Galuh.”
Ucapan itu membuat hati Galuh seperti tersayat. Seakan-akan ada pisau halus yang menggores lembut, meninggalkan perih yang tidak berdarah. Selama ini, cinta pertama yang ia rasakan begitu kuat adalah untuk Max. Namun kini, bersama Bagja, ia menemukan rasa aman yang berbeda—rasa nyaman yang sulit dijelaskan.
“O, iya,” Max tiba-tiba mengeluarkan sebuah kotak kecil dari tasnya. “Ini kado dari aku untukmu dan Bagja. Semoga kalian suka. Maaf, telat kasih.”
Galuh terdiam sejenak. Tangannya bergetar ketika menerima kotak itu. Ketika dibuka, terlihat sepasang jam tangan dari merek terkenal, berkilau indah di dalamnya.
Suasana seketika hening. Ryan dan Dewa yang tadinya masih mengunyah siomay, kini saling pandang dengan ekspresi takjub bercampur tegang.
Galuh menatap jam tangan itu lama, lalu beralih pada Max. Senyum getir muncul di wajahnya. Perasaannya berkecamuk antara rasa syukur, sedih, dan nostalgia yang tak bisa ia tolak.
Ryan dan Dewa masih setia memperhatikan dua orang yang pernah menjalin hubungan di masa sekolah dulu. Dari tatapan mereka, jelas terlihat bahwa mereka paham benar bagaimana perasaan keduanya. Kisah cinta Galuh dan Max berakhir bukan karena hilangnya rasa, melainkan karena jalan yang harus dipilih berbeda.
Dewa melipat tangan di dada, menyikut Ryan pelan. “Lihat tuh, kayak adegan film India enggak sih? Yang satunya masih cinta, yang satunya udah jadi milik orang lain.”
Ryan mendengus, “Bedanya ini nyata, Wa. Dan kalau Bagja lihat, habis sudah si Max.”
Bagja yang hendak mengantarkan bekal makan siang kepada Galuh. Dia datang dengan langkah mantap, membawa kotak bekal berisi nasi goreng dan telur ceplok untuk istrinya. Namun, langkah itu terhenti begitu matanya menangkap pemandangan, Galuh dan Max sedang berdiri berdekatan. Dari kejauhan, mereka terlihat akrab, seolah sedang bernostalgia.
Jantung Bagja berdegup kencang. Napasnya memburu, dada terasa panas. Ada dorongan kuat dalam dirinya untuk berlari, menarik Galuh dari sana, lalu melabrak Max tanpa peduli siapa yang menonton. Namun, akal sehatnya menahan.
“Ini sekolah, tempat kerja Galuh. Kalau aku bikin keributan, dia pasti akan malu,” batinnya, berusaha menenangkan diri.
Bagja tidak melihat keberadaan Ryan dan Dewa yang dalam posisi duduk. Dia mengira Galuh hanya berdua saja dengan Max.
Tangan Bagja mengepal kuat memegang rantang. Setelah berdiri cukup lama dan merasakan amarah menekan dadanya, Bagja akhirnya memutar badan. Alih-alih memberikan makan siang, ia memilih kembali ke puskesmas.
“Fokus, Bagja. Kamu harus bisa fokus. Masih ada pasien yang butuh kamu,” gumamnya lirih, mencoba meyakinkan diri sendiri. Namun, rasa cemburu itu tetap mengendap, menusuk halus di dadanya.
maubitu jujur mau itu ngobrol mau itu nanya atau marah kan buka mulut toh 🤭
kalo mingkem alias diem bae mah bubar pasti 😂😂