Harusnya, dia menjadi kakak iparku. Tapi, malam itu aku merenggut kesuciannya dan aku tak dapat melakukan apapun selain setuju harus menikah dengannya.
Pernikahan kami terjadi karena kesalah fahaman, dan ujian yang datang bertubi-tubi membuat hubungan kami semakin renggang.
Ini lebih rumit dari apa yang kuperkirakan, namun kemudian Takdir memberiku satu benang yang aku berharap bisa menghubungkan ku dengannya!
Aku sudah mati sejak malam itu. Sejak, apa yang paling berharga dalam hidupku direnggut paksa oleh tunanganku sendiri.
Aku dinikahkan dengan bajingan itu, dibenci oleh keluargaku sendiri.
Dan tidak hanya itu, aku difitnah kemudian dikurung dalam penjara hingga tujuh tahun lamanya.
Didunia ini, tak satupun orang yang benar-benar ku benci, selain dia penyebab kesalahan malam itu.~ Anja
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Atuusalimah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 4,part 2
Ia sudah mengatakan ingin melupakan semuanya. Ia ingin pergi sejauh yang ia bisa untuk tidak bertemu siapapun yang ia kenali dari dunia ini. Akan tetapi, setiap kali matanya bertemu Kezia atau telinganya mendengar suara bening yang menggemaskan itu, ada perasaan ragu yang selalu mengusiknya.
Ia tak menampik, dengan perkataan tentang naluri seorang ibu. Meski ia tak pernah dekat dengan gadis kecil itu, namun ia masih bisa merasakan bagaiamana sesuatu bergerak dan menendang perutnya untuk yang pertama kali.
Ia masih ingat bagaimana ia membelai perut buncitnya sambil bercerita akan begitu keras dunia. Meski, ia pernah berharap kehidupan itu mati, tapi ia benar-benar bersyukur tak melakukannya waktu itu.
Lalu, dalam pikirannya terbesit sebuah rencana. Rencana ia pergi dengan membawa Kezia. Keinginannya harusnya tak berlebihan bukan?
"Anja, semua orang menunggumu. Ayo turun, Ada papi sama mas Arfan juga, kamu belum ketemukan semalem?" Erna muncul begitu pintu baru saja ia buka.
Ia memang belum bertemu pak Tias, Bu Niar mengatakan mertua lelakinya itu absen menjemputnya kemarin karena dapat kabar kalau rekannya tutup usia. Entah kapan tepatnya datang, namun semalem tak lama setelah ia bertemu dengan Reka, lelaki tua itu ia sempat lihat sedang berusaha membujuk Kezia.
Erna sendiri, berkunjung kekamarnya semalem, ia rasa setelah mengobrol cukup panjang dengan adiknya. Ia memang melihat semua itu, tanpa berniat menampakan diri. Pengecut bukan?
"Sepertinya ntar aja deh,mbak. Aku belum lapar!"
"masa dari malem jawabannya gitu, jangan alasan ah, ayo cepat turun!
Oh, apa jangan-jangan... malu ketemu sama Reka, ya? Tenang aja, dia gak akan berani macem-macem kok!"
Anja kadang muak, wanita yang dianggap kakaknya sendiri itu seperti dengan sengaja menyebut-nyebut pria itu.
"membenci seseorang itu sangat melelahkan. Kamu lihat sendiri deh, Reka sekarang udah benar-benar berubah!"
"Apaan si mbak bahas dia, ayo kita turun!" potong Anja tak mau mendengar kelanjutan kisahnya itu. Erna nyaris serupa reporter ala-ala infotainment, kadang juga seperti sales dagangan yang sedang mempromosikan pria itu. Selalu itu yang Erna bahas bahkan ketika dia menyempatkan diri berkunjung kelapas walau hanya setahun dua kali. Kabarnya, baru satu tahun terakhir ini ia dipindah tugas dari Surabaya ke daerah sini.
Ia kesal, kadang sudah bingung mencari alasan apalagi untuk mengalihkan topik pembicaraan. Bukan ia tak mau menghargai kebaikannya, namun dia benar-benar tak Sudi mendengar apapun tentang pria itu.
Mereka tampak akur, berjalan beriringan tanpa canggung sama sekali.
Salah satu diantara mereka penyebab kehancuran hidup Anja, namun dia juga tak bisa menolak dan membenci semua niat baik mereka.
Ia benar-benar dianggap bukan sebagai orang lain dikeluarga ini. Keluarga itu ada untuk memeluknya, menyemangati, membantunya mengatasi rasa takut pada titik paling rendah dalam kehidupannya.
Dan sekarang, rasanya tak elok menolak semua bentuk perhatian yang ditujukan padanya walau ia jelas merasa begitu tak nyaman.
***
Reka
Tak... Tak ...
Suara sendal yang bergesekan dengan lantai terdengar nyaring menuruni tangga. Suara itu bukan satu orang, Ia mendongak... gagal mencegah rasa penasarannya dan bener saja... seperti yang ia harapkan.
Sepasang netra mereka kembali bertemu, mengalahkan gelombang suara berisik disekitarnya.Ia tak mendengar suara apapun, selain detak jantungnya yang berdebar kencang.
"Papa yang bener!"suara itu, masih bagai angin lalu dipendengarannya kini.
"Papa!" jerit Kezia melengking, membuat dirinya terperanjat kaget.
"i, iya sayang...maafin papa!" ujarnya gugup, tersadar kembali dengan aktivitasnya saat ini. Ia melanjutkan mengeringkan rambut putrinya dengan hairdryer.
"Putri papi, akhirnya pulang. Mami udah ceritakan, maaf kemarin papi gak bisa ikut jemput kamu pulang!"
"Anja ngerti, terimakasih karena selama ini selalu hadir untuk memberi Anja kekuatan!" Anja memeluk pak Tias dengan perasaan haru. Bagaimanapun, saat pertama kali musibah menimpanya, pria tua itu yang berdiri paling depan untuk membelanya.
"Tak apa-apa, mulai sekarang...berjanjilah hidup dengan baik untuk dirimu sendiri!"
"Terimakasih papi, Anja janji!"ucapnya sambil mengurai pelukan.
Sekarang, Anja berdiri berjarak satu meter dari posisinya kini. Bahkan, waktu baginya terasa berhenti. Ia menahan napas gugup, tak berani walau hanya untuk sekedar bergerak.
Kezia juga terdiam, memperhatikan mamanya tanpa berkedip sama sekali. Reka yang menyadari itu hanya menatapnya sedih, ia bahkan tak berani walau hanya sekedar memohon pada Anja untuk memberikan pelukan pada putrinya.
Ah, aku ini memang papa paling tak berguna, sesalnya dalam hati.
****
Hai kak, tadi ada yang komen terlalu banyak potongan masa lalu, jadi bikin pusing. Gini loh maksudnya yang aku mau itu, komen yang membangun biar aku bisa memperbaiki tulisan yang lebih baik lagi. Kita lanjutkan ya, sementara tanpa potongan masalalu.
semangat kak author 😍