JANGAN ABAIKAN PERINGATAN!
Sadewa, putra seorang pejabat kota Bandung, tak pernah percaya pada hal-hal mistis. Hingga suatu hari dia kalah taruhan dan dipaksa teman-temannya membuka mata batin lewat seorang dukun di kampung.
Awalnya tak terjadi apa-apa, sampai seminggu kemudian dunia Dewa berubah, bayangan-bayangan menyeramkan mulai menghantui langkahnya. Teror dan ketakutan ia rasakan setiap saat bahkan saat tidur sekali pun.
Sampai dimana Dewa menemukan kebenaran dalam keluarganya, dimana keluarganya menyimpan perjanjian gelap dengan iblis. Dan Dewa menemukan fakta yang menyakiti hatinya.
Fakta apa yang Dewa ketahui dalam keluarganya? Sanggupkah dia menjalani harinya dengan segala teror dan ketakutan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 18. KABAR
Senja baru saja meluruhkan cahaya terakhirnya di balik horizon, ketika angin lembab dari arah utara mulai menyusup melalui celah-celah rumah besar ini. Aroma tanah basah yang tercampur dengan sisa dupa dari pagi tadi masih tercium samar, meninggalkan kesan ganjil seakan rumah megah itu menyimpan rahasia yang tak ingin diungkapkan.
Sadewa duduk termenung di beranda, kedua matanya menatap jauh ke arah jalan setapak yang membelah taman di halaman samping. Bayangan mimpi buruk yang setiap malam menghantam tidurnya masih melekat, tentang makhluk bertanduk yang mengejarnya dalam gelap, dan perempuan tinggi besar yang menatapnya dengan tatapan kosong, setengah menakutkan, setengah penuh rahasia.
Namun sore itu, mimpi-mimpi itu seakan runtuh oleh kenyataan yang lebih menyesakkan. Getaran ponsel di saku celananya membuat Sadewa tersentak. Ia mengernyit, sebab jarang sekali ada yang menghubunginya saat ia berada di rumah Eyang. Dengan tangan sedikit gemetar, ia merogoh ponsel itu dan menempelkan ke telinga.
"Hallo, Dewa?" Suara di ujung sana lirih, terengah, penuh kepanikan. Itu suara Mbok Sukma, pembantu rumah yang sudah seperti keluarga Sadewa sendiri sejak dulu.
Sadewa merasakan dadanya langsung menciut. "Iya, Mbok, ada apa? Kenapa suara Mbok seperti itu?"
Terdengar isak tertahan, lalu suara yang terburu-buru. "Ibumu, Dewa. Ibumu tiba-tiba jatuh. Tadi kami lihat beliau sedang menyapu halaman, tiba-tiba tubuhnya kaku ... kejang-kejang,kami semua panik. Cepatlah pulang, Dewa! Cepat! Kami takut terjadi apa-apa."
Suara Mbok Sukma pecah menjadi tangisan, sebelum akhirnya sambungan terputus begitu saja.
Sejenak dunia Sadewa runtuh. Ia menatap layar ponselnya yang kini gelap, lalu tubuhnya bergetar hebat. Napasnya memburu, seolah ada yang menekan dadanya kuat-kuat
Arsel yang sedari tadi duduk di dekat pintu, segera bangkit. "Kenapa, Wa? Ada apa?"
Sadewa berdiri terburu-buru, wajahnya pucat pasi. "Ibu ... ibu jatuh dan kejang-kejang, Arsel. Aku harus pulang sekarang juga!" Suaranya pecah di ujung kalimat, penuh kepanikan yang belum pernah terdengar sebelumnya.
Tama, yang tengah sibuk mengerjakan tugas kuliahnya, kini ikut mendekat. "Astaga, apa yang terjadi?"
"Aku tak peduli apa pun. Aku harus pulang. Sekarang." Sadewa menatap kedua temannya dengan air muka panik.
Mereka bergegas turun ke lantai untuk mencari Eyang, meminta izin agar Sadewa dapat pulang.
"Eyang? Maaf, tapi aku mau izin pulang. Aku dapet kabar kalau ibu tiba-tiba sakit," pinta Sadewa ketika melihat Eyang duduk di sofa ruang tengah.
Seketika ruangan itu senyap. Eyang yang sedari tadi berzikir lirih, membuka matanya perlahan. Sorot matanya tenang, tapi dalam sekali, seolah memahami lebih dari yang mereka semua ketahui.
"Sadewa," suara Eyang berat dan bergetar, "perjalananmu pulang tidak akan mudah. Aku bisa merasakannya. Ada bayangan hitam yang mengintai. Namun bila itu tentang ibumu, aku tidak akan menahanmu. Hanya ... kau harus bersiap pada apa pun yang akan menyambutmu."
"Aku akan tetap pulang, Eyang," kata Sadewa yang masih dalam raut wajah panik.
Eyang mengangguk perlahan. "Pergilah, cucuku. Namun jangan sendirian. Arsel, Tama, temani dia. Jagalah perjalanan mereka."
Arsel mengangguk mantap. "Tentu, Eyang."
Tama menepuk bahu Sadewa. "Tenanglah, Wa. Kita akan pulang bersama. Kau tak sendiri."
Namun jauh di lubuk hati mereka, semua tahu, kata-kata Eyang tadi bukan sekadar peringatan kosong. Udara di sekeliling mereka mendadak terasa lebih berat, seolah ada sesuatu yang menanti di ujung jalan.
Sadewa menggenggam erat ponselnya, seperti menggenggam sisa-sisa harapan. Di dadanya, doa terlantun tak henti: semoga ia masih sempat melihat ibunya, semoga semuanya belum terlambat.
Begitu izin dari Eyang diberikan, Sadewa langsung bergegas. Arsel dan Tama menuntunnya keluar melewati lorong panjang rumah mewah itu. Dinding-dinding tinggi berlapis marmer memantulkan cahaya lampu kristal yang terasa dingin, seolah keindahan rumah itu malam ini justru menambah tekanan di dada Sadewa.
Langkah kakinya terburu-buru, hampir berlari, hingga mereka tiba di pelataran depan. Di sana, halaman luas dengan pepohonan rindang berderet rapi tampak gelap diliputi mendung. Hujan rintik jatuh di permukaan jalan berbatu yang memanjang ke arah gerbang besi besar.
Arsel menekan kunci mobil, dan lampu sedan hitam yang terparkir di garasi berkilat singkat. Mereka bertiga segera masuk ke dalamnya. Sadewa duduk di kursi belakang, tubuhnya tegang, kedua tangannya mencengkram ponsel seakan benda itu satu-satunya pegangan hidup.
Mesin meraung halus, dan mereka pun meluncur keluar gerbang. Jalanan kota sudah basah, lampu jalan berkilau memantul di permukaan aspal seperti cermin pecah.
"Tenanglah, Wa," ucap Arsel yang duduk di kursi pengemudi. Suaranya datar, tapi mata yang sesekali melirik ke kaca spion mengungkapkan kekhawatirannya. “Kita akan sampai secepat mungkin."
Sadewa hanya mengangguk, napasnya berat.
Namun Tama, yang duduk di depan, menatap ke luar jendela dengan raut curiga. Di antara pantulan lampu jalan, ia merasa ada mobil yang melaju terlalu lambat di belakang mereka, seolah mengikuti.
"Arsel, lihat kaca spion," gumam Tama lirih.
Arsel menoleh sekilas. Matanya menyipit. "Aku melihatnya. Sudah sejak keluar gerbang tadi."
Sadewa tersentak. "Apa maksud kalian? Siapa yang mengikuti?"
Tama berbalik menatapnya, suaranya serius. "Mungkin hanya kebetulan. Tapi bisa juga tidak. Malam ini ada aura aneh sejak kau menerima telepon itu. Aku khawatir ini bukan sekadar penyakit biasa yang menimpa ibumu."
Sadewa menggigit bibir, matanya panas. "Apa pun itu, aku tetap harus pulang. Aku harus melihat Ibu."
Arsel menekan pedal gas, mobil melaju lebih cepat membelah jalanan lengang. Bangunan-bangunan besar di kanan kiri terlihat asing, bayangan gelap menempel di kaca-kaca gedung.
Hujan semakin deras, wiper bekerja keras menyapu air yang menutupi pandangan. Di kejauhan, suara klakson panjang terdengar menggema, tapi jalan tetap sepi, terlalu sepi untuk ukuran jam malam di kawasan itu.
"Sepi sekali," Sadewa berbisik. "Biasanya jalanan ini masih ramai."
Tama mengangguk tipis. "Justru itu yang mencurigakan. Seakan semua orang menghilang serentak."
Arsel mempercepat laju lagi. Namun dari kaca spion, lampu mobil yang mengikuti tetap ada, tak berkurang jaraknya meski kecepatan mereka meningkat.
"Arsel, jangan panik. Kalau mereka benar mengawasi kita, kita tak boleh terpancing," kata Tama, nadanya tegang.
Sadewa menunduk, kedua tangannya gemetar. Di sela suara hujan, ia hampir bisa mendengar bisikan samar di telinganya, seperti suara yang dulu hadir dalam mimpinya.
"Kau tak akan sempat ... kau akan terlambat."
Sadewa menutup telinga dengan kedua tangannya, matanya terpejam. "Pergi! Jangan ganggu aku!" teriaknya kesal.
Arsel dan Tama menoleh hampir bersamaan, namun mereka tak melihat siapa pun di dalam mobil selain mereka bertiga.
"Wa, apa yang kamu dengar?” tanya Arsel cepat.
Sadewa membuka matanya, wajahnya pucat. "Suara itu sama seperti di mimpiku. Mereka ikut bersamaku sekarang."
Tama menghela nafas dalam-dalam, lalu meraih kantung kain berisi ramuan daun kering dari saku jasnya. Ia membuka sedikit dan membiarkan aromanya menyebar di kabin mobil. Wangi getir menyengat, menyingkirkan hawa dingin yang tadi terasa menusuk.
"Tenanglah," bisik Tama. "Ini akan menghalau mereka sementara."
Namun Sadewa tahu, perlindungan itu takkan bertahan lama. Sesuatu menanti di rumahnya. Sesuatu yang lebih gelap dari mimpi buruknya.
Mobil terus melaju, memasuki jalan yang kian sempit menuju area perkampungan tempat rumah Sadewa berada. Cahaya lampu jalan mulai jarang, digantikan kegelapan pekat yang hanya sesekali terbelah oleh kilat di langit.
Ketiganya saling terdiam, masing-masing diliputi firasat yang sama: apa pun yang mereka temukan di rumah Sadewa nanti, takkan sama lagi seperti sebelumnya.
ikutan emosi,kalut,takut n apa y,gtu lah pokoknya mah
ternyata bener kn jadi tumbal
kenapa si dewa ini
apa ayahnya Dewa???