Asha, seorang gadis muda yang tulus mengabdikan diri di sebuah rumah Qur'an, tak pernah menyangka bahwa langkah ikhlasnya akan terseret dalam pusaran fitnah. Ia menjadi sasaran gosip keji, disebut-sebut memiliki hubungan gelap dengan ketua yayasan tempatnya mengajar. Padahal, semua itu tidak benar. Hatinya telah digenggam oleh seorang pemuda yang berjanji akan menikahinya. Namun waktu berlalu, dan janji itu tak kunjung ditepati.
Di tengah kesendirian dan tatapan sinis masyarakat, Asha tetap menggenggam sabar, meski fitnah demi fitnah kian menyesakkan. Mampukah ia membuktikan kebenaran di balik diamnya? Atau justru namanya akan terus diingat sebagai sumber aib yang tak pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nclyaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Saat janji bertemu rindu
Suara motor yang mengantar kepulangan lelaki muda itu perlahan menjauh, hingga akhirnya lenyap ditelan malam. Ruang tamu kembali hening, hanya tersisa Asha, ayah, dan ibunya. Lampu temaram masih menyala, sementara kotak kecil di pangkuan Asha tetap ia genggam erat. Ayahnya duduk kembali, menghela napas panjang, lalu menatap putrinya dengan sorot lembut namun penuh makna.
"Gimana perasaan kamu, Nak, setelah dengar sendiri niatnya?" tanya sang ayah.
Asha menunduk, jemarinya memainkan ujung pita pada bingkisan itu. Ia tampak berpikir sejenak sebelum menjawab.
"Jujur aja Yah, aku masih sama kayak dulu. Belum siap nikah dalam waktu dekat. Tapi karena ibu bilang gak boleh nolak lagi, trus beliau menyanggupi syarat dari aku, jadi aku gak bisa nolak." jawab Asha.
"Terus juga kan alesan aku selama ini nolak lamaran ikhwan-ikhwan sebelumnya, karena mereka terburu-buru untuk nikah." sambungnya.
Ibunya yang duduk di samping hanya tersenyum, lalu mengusap punggung tangan putrinya.
"Itulah bedanya, dari sekian banyak yang dateng lamar, cuman Afkar yang mau menyesuaikan langkah sama kamu. Yang lain semuanya mau cepat, gak sabar. Sementara kamu udah jelas dari awal bilang mau menyelesaikan pendidikan dulu. Mungkin ini memang jalan Allah." ujarnya dengan senyuman teduh.
Asha menggigit bibir, matanya sedikit berkaca, lalu menunduk lebih dalam.
"Aku sebenernya takut ayah sama ibu kecewa, karena aku udah nolak banyak lamaran." ucap Asha pelan.
Ayahnya tersenyum, lalu menepuk lembut bahunya.
"Gak perlu takut, kita sebagai orangtua tau alasan kamu untuk nolak mereka, dan kita ridho sama pilihan kamu. Kalo emang waktunya belum dateng, jadi yasudah. Yang penting kamu tetap jaga diri kamu, gak melampaui batas, dan tetap fokus sama tujuan kamu sekarang. Urusan jodoh, biarlah Allah yang atur." kata sang ayah menenangkan putrinya yang merasa bersalah akan keputusan yang ia ambil sebelumnya.
Ibunya menambahkan dengan nada lembut.
"Dan perlu kamu ingat, meskipun belum ada ikatan resmi, malam ini kalian masing-masing sudah berkomitmen. Afkar mau nunggu, dan kamu menerima dengan syarat itu. Jadi, jaga diri kamu baik-baik. Jangan sampe ada fitnah lagi. In Syaa Allah, kalo emang Afkar yang Allah takdirkan, berarti itu yang terbaik disisi Allah buat kamu."
Asha mengangguk pelan, hatinya terasa hangat. Ia memegang erat kotak kecil itu, seolah menyimpan tekad baru di dalam dadanya. Malam itu, ia sadar bahwa untuk pertama kalinya, ada seseorang yang bersedia menyesuaikan langkah dengannya. Dan meski jalan masih panjang, ada harapan yang kini tumbuh diam-diam, menanti untuk mekar di waktu yang tepat.
Malam semakin larut. Udara dingin menyusup melalui sela-sela jendela kamar sederhana tempat lelaki muda itu tinggal selama mengajar di Rumah Qur'an Al Husna. Ia baru saja sampai setelah berpamitan dari rumah Asha. Di meja kecil dekat ranjang, ia meletakkan tas dan jaketnya, lalu duduk sambil menghela napas panjang.
Wajahnya masih menyimpan senyum samar. Seakan percakapan yang terjadi di ruang tamu tadi terus terulang dalam pikirannya.
"Alhamdulillah... meskipun jawabannya bukan 'ya' secara langsung, tapi aku lega. Dia gak nolak, cuma minta waktu, dan itu lebih dari cukup." gumamnya.
Ia meneguk segelas air putih, lalu membuka catatan kecil di buku saku yang selalu ia bawa. Di sana ia menulis beberapa kalimat sederhana, seakan meneguhkan niat hatinya.
"Malam ini aku telah menyampaikan niatku. Ia berkata belum siap, namun bersedia jika aku sanggup menunggu. Demi Allah, aku akan menunggu. Bukan untuk memaksanya, tapi karena aku yakin, apa yang baik pasti datang di waktu yang tepat."
Setelah menulis, ia tersenyum tipis. Ada rasa haru menyelinap, mengingat bagaimana ayah Asha menyampaikan bahwa putrinya telah empat kali menolak lamaran karena alasan yang sama, yaitu terburu-buru. Hanya dirinya yang berbeda, yang menerima syarat untuk bersabar. Ia bersandar di kursi, menatap langit-langit kamar dengan pandangan jauh.
"Meskipun belum ada ikatan, tapi aku rasa punya tanggung jawab. Aku harus jaga diri, jaga hati, jangan sampe langkah suci ini ternodai. Karena aku bukan lagi sekadar seorang tamu, tapi seseorang yang sudah berjanji akan menunggu." batinnya.
Rasa syukur itu menenangkan dadanya. Ia tersenyum lagi, lalu menutup buku catatan, meletakkannya di sisi meja. Sebelum beranjak tidur, ia sempat mengambil ponselnya, lalu mengirim pesan singkat kepada ibunya di kampung halaman.
"Mah, In Syaa Allah besok aku pulang. Ada sesuatu yang mau aku ceritain langsung. Doain aku, semoga perjalanan lancar, ya."
Tanpa banyak kata lain, ia menutup matanya. Hatinya ringan, meski tubuhnya letih. Malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, ia merasa memiliki arah yang jelas, yaitu menunggu dengan sabar, menjaga dengan tulus, dan menanti waktu yang Allah tetapkan untuk menyatukan niat baiknya.
Kampung halaman Asha
Mobil yang mereka tumpangi perlahan memasuki jalan kecil beraspal yang diapit oleh hamparan sawah hijau. Udara desa terasa lebih sejuk dan segar dibandingkan hiruk pikuk kota yang selama ini mereka tinggali. Asha menempelkan wajahnya ke kaca jendela, menatap langit yang mulai gelap. Senyum kecil terbit di wajahnya, ada rasa rindu yang akhirnya terbayar setelah tiga tahun tidak pulang ke kampung halaman.
Begitu mobil berbelok memasuki halaman rumah nenek, suasana riuh langsung menyambut. Dari kejauhan sudah tampak keluarga besar yang berdiri di teras, sebagian bahkan sudah menunggu di pinggir jalan. Suara tawa, teriakan memanggil nama, hingga celoteh anak-anak terdengar bersahut-sahutan.
"Asha! Akhirnya pulang juga!" seru salah satu sepupunya sambil berlari kecil menghampiri.
Asha membuka pintu mobil, langkahnya sempat terhenti sesaat karena terharu melihat banyak wajah yang ia rindukan. Bibirnya bergetar, lalu segera ia tersenyum lebar. Seketika tubuhnya dirangkul oleh beberapa sepupu yang sudah lebih besar dari terakhir kali ia lihat.
Sang ibu disambut pelukan hangat oleh kakak-kakaknya, sementara ayahnya dijabat erat oleh para paman yang sudah menunggu dengan wajah penuh rindu. Anak-anak kecil berlarian mengitari mobil sambil bersorak riang, seolah kedatangan keluarga Asha menjadi acara besar yang ditunggu-tunggu.
Dari dalam rumah, nenek yang kini sudah mulai beruban penuh berjalan perlahan keluar dengan tongkat di tangannya. Meski tubuhnya tampak renta, senyum lebarnya masih sama hangatnya.
"Alhamdulillah, akhirnya kalian pulang juga," ucapnya dengan suara bergetar.
Asha segera berlari menghampiri dan meraih tangan neneknya, lalu menunduk untuk menciuminya. Ada kehangatan yang sulit digambarkan, seolah semua kerinduan yang tertahan selama bertahun-tahun tumpah begitu saja di pelukan itu.
Tak butuh waktu lama, suara riuh para tante dan wawak langsung terdengar.
"Ya Allah… ini Asha? Udah gadis aja sekarang. Pasti udah ada jodohnya, ya?" celetuk salah satu tantenya sambil mencubit pipi Asha gemas.
"Cantik banget ini Asha. Ponakan tante pasti jadi inceran cowok-cowok di kota sana," sahut tante yang lain, membuat yang lain tertawa sambil mengangguk-angguk setuju.
Asha hanya tersipu malu, wajahnya memerah sambil menunduk.
"Belum tau nih hilal jodohnya kapan, hehe." jawabnya singkat, tapi justru membuat semua semakin ramai menggoda.
"Udah lama nggak pulang, gimana? Kangen nggak sama masakan wawak? Tuh, wawak udah masak sayur bayem sama ayam goreng favorit kamu," ujar wawak sambil menarik tangan Asha masuk ke dalam rumah.
"Kangen banget, wak… dari tadi di jalan Asha udah kebayang-bayang ayam goreng sama sayur bayem buatan wawak," jawab Asha sambil tersenyum lebar, membuat semua orang yang mendengar tergelak.
Suasana halaman rumah menjadi semakin hangat dan penuh tawa. Semua orang saling berbicara, bertukar kabar, mengenang masa lalu, bahkan ada yang tak kuasa menahan air mata haru. Aroma masakan khas nenek yang tercium dari dapur semakin menambah semarak suasana, membuat semua merasa benar-benar kembali ke rumah yang sesungguhnya.
Hari itu, bagi Asha dan keluarganya, bukan hanya sekadar pulang kampung. Itu adalah pulang ke pelukan, pulang ke kenangan, dan pulang ke cinta yang tak pernah berubah meski waktu memisahkan.
"Akan ada masa dimana aku akan absen pada momen membahagiakan seperti ini." batin Asha yang memandang satu persatu anggota keluarganya yang sudah lama tak berjumpa dengannya.