Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Doa yang Belum Diijabah
Empat tahun sudah berlalu sejak Azam dan Nayla kembali membangun rumah tangga mereka dari puing luka dan pengampunan. Rumah kecil di sudut Jogja itu kini selalu terasa hangat setiap kali azan berkumandang dan suara tadarus menggema dari ruang tengah. Cinta mereka tumbuh, bukan karena tanpa ujian, tapi karena mereka belajar mencintai dalam kerangka iman.
Kini Nayla telah menjadi salah satu dosen muda di Universitas Islam ternama di Jogja. Dia sengaja memilih kampus berbeda dari Azam, bukan karena ingin menjauh, tapi karena ingin menjaga profesionalitas dan menumbuhkan identitasnya sendiri.
Setiap pagi, mereka selalu menyempatkan sarapan bersama. Azam dengan secangkir kopi dan koran, Nayla dengan secangkir teh hangat dan setumpuk rencana pembelajaran. Setiap pagi pula, Azam selalu menyelipkan kalimat penuh cinta yang membuat Nayla mengangguk kecil, tersenyum, dan mencium tangan suaminya sebelum pergi mengajar.
Namun, dalam diam yang mereka sembunyikan rapat-rapat dari dunia, ada ruang kosong yang belum terisi. Satu doa yang mereka lafalkan setiap malam, satu harapan yang belum Allah kabulkan.
Tangisan bayi.
Setiap mereka pulang ke rumah setelah menghadiri acara keluarga atau menjenguk teman yang baru melahirkan, ada sepi yang menghantui. Kadang Nayla diam menatap kamar kecil di sudut rumah mereka—kamar yang dulu dengan penuh semangat mereka cat warna pastel dan isi dengan boneka kecil. Kadang Azam menggenggam tangan Nayla erat saat melihat tatap kosong istrinya, tapi ia tak pernah memaksa.
Suatu malam, setelah shalat tahajud yang menenangkan, Nayla bersandar di dada Azam.
“Mas,” bisiknya lirih, “Kamu pernah merasa… kita diuji karena masa laluku?”
Azam mengecup ubun-ubunnya. “Nayla, jangan pernah salahkan dirimu atas takdir Allah. Anak itu titipan, dan kalau memang belum dititipkan, mungkin Allah ingin kita lebih dulu menjadi rumah yang lebih siap.”
Nayla memejamkan mata. “Aku sudah ikhlas, Mas. Tapi kadang, aku hanya ingin tahu… apa aku masih pantas diberi anugerah seagung itu?”
Azam memeluk Nayla lebih erat. “Kamu pantas. Bahkan lebih dari pantas. Tapi ingat, yang paling penting bukan siapa yang hadir, tapi bagaimana kita terus hadir satu sama lain.”
"Bagai mana jika aku tak dapat memberimu keturunan,Mas...? Karena masalaluku?"
"Ssst..jangan berpikir yang enggak-enggak, jika pun iya, aku akan tetap mencintaimu,dan terus berada di sisimu, Sayang..." bisik Azam tegas.
Air mata Nayla jatuh diam-diam, namun pelukan Azam cukup hangat untuk membuatnya tenang. Mereka belum tahu kapan takdir akan menghadirkan suara kecil di rumah itu. Tapi yang pasti, mereka memilih untuk tetap saling mendampingi, menjaga cinta, dan percaya bahwa doa, meski tertunda, tak akan pernah sia-sia.
Pagi itu, udara Jogja terasa sedikit lebih pengap dari biasanya. Azam dan Nayla duduk berdampingan di ruang tunggu klinik fertilitas. Ini bukan kali pertama mereka datang, tapi kali ini adalah tahap paling menentukan—laparoskopi diagnostik, prosedur visualisasi untuk memeriksa kondisi rahim Nayla secara langsung.
Nayla tampak tenang di luar, meski tangannya dingin saat menggenggam jari Azam. Ia berusaha kuat, tersenyum kecil, meski sorot matanya memancarkan kekhawatiran yang dalam.
“Aku takut hasilnya, Mas,” bisiknya.
Azam menoleh, mengusap punggung tangannya lembut. “Apapun hasilnya, kita hadapi sama-sama.”ujar Azam tenang.
Beberapa jam berlalu. Nayla masih di ruang pemeriksaan,membenahi pakaiannya, ketika Azam dipanggil masuk oleh dokter. Di ruang yang sepi dan sunyi, hanya ada suara detak jam dinding dan napas Azam yang makin berat.
Dokter menatap Azam dengan sorot mata penuh empati.
“Maafkan saya, Pak Azam,” ucap dokter perlahan. “Kami sudah melakukan visualisasi dan pemeriksaan menyeluruh. Ada kerusakan pada rahim pada jaringan dinding rahim Ibu Nayla akibat aborsi yang pernah ibu Nayla lakukan, di masa lalu. Azam membatu. Sejenak, dunia di sekitarnya terasa hampa.
“Artinya…istri saya, Nayla tidak bisa hamil Dok..?” suaranya serak.
Dokter mengangguk pelan. “Ya Pak Azam, kemungkinan bisa hamil hanya tipis bahkan bisa dikatakan tidak mungkin. Tapi kita tidak tahu mukjizat Allah. Maka dari itu Kami tidak menyampaikannya langsung kepada Ibu Nayla, karena kami tahu beban psikologisnya akan sangat berat. Sebaiknya Bapak yang menyampaikannya, dengan cara yang paling tepat.”
Azam menunduk. Matanya mulai basah. Tapi yang membuat dadanya nyeri bukan karena ia tak akan bisa mendengar panggilan ‘Abi’ dari darah dagingnya sendiri… melainkan karena ia tahu, berita ini bisa meruntuhkan Nayla.
Karena ia tahu, Nayla akan kembali dihantui masa lalunya.
Karena ia tahu, Nayla akan menyalahkan dirinya sendiri lagi.
Dalam hatinya, Azam berdoa lirih.
"Ya Rabb... Jangan biarkan dia merasa sendiri. Jangan biarkan dia kembali terjatuh dalam rasa bersalah. Aku kuat, tapi jangan biarkan dia memikul ini sendiri."
Azam lalu memohon pada Sang Dokter.
“Saya mohon, Dok,” suara Azam terdengar tegas tapi bergetar. “Kalau nanti istri saya Nayla bertanya… bilang padanya kalau masalahnya ada pada saya. Katakan bahwa saya lah yang mandul.”
Dokter tampak ragu. “Pak Azam… apakah Anda yakin? Ini akan menjadi beban psikologis bagi Anda sendiri.”
Azam menarik napas panjang. Tatapannya dalam, sungguh-sungguh.
“Saya lebih rela menanggung luka itu… daripada melihat orang yang saya cintai hancur dan kembali runtuh. Dia sudah terlalu lama merasa hancur. Saya tidak ingin kabar ini menjadi alasan dia menyalahkan dirinya lagi.” ujar Azam.
"Baiklah jika begitu..." ujar sang dokter.
Mereka bahkan tak mereka sadari, di balik pintu yang setengah terbuka, Nayla berdiri terpaku.
Ia hanya berniat mengantar ponsel Azam yang tertinggal. Tapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara suaminya.
Matanya membelalak. Nafasnya tercekat.
Perlahan, Nayla mundur… seolah seluruh kekuatan dalam tubuhnya menguap.
Ia duduk di kursi tunggu dengan wajah pucat. Tangannya gemetar memeluk ponsel Azam yang masih hangat.
Air matanya jatuh pelan, diam-diam, tanpa suara.
Dalam hatinya, luka yang menganga justru datang bukan karena kenyataan bahwa ia tidak bisa menjadi ibu. Tapi karena seseorang mencintainya sedalam itu—hingga rela memikul rasa bersalah yang bukan miliknya.
"Ya Allah… Kenapa dia sebaik ini padaku? Kenapa dia setulus ini?"
Saat Azam keluar dari ruangan dokter beberapa menit kemudian, Nayla sudah kembali duduk seperti biasa. Ia tersenyum tipis—senyum yang tak mampu menyembunyikan mata yang sembab.
Azam mendekat, duduk di sampingnya, lalu menggenggam tangannya.
Nayla menatapnya dalam diam. Ia ingin bertanya, ingin mengungkap bahwa ia tahu segalanya. Tapi hatinya memilih untuk menahan.
“Mas…bagaimana soal hasil pemeriksaannya…?” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan. “Apa kata dokter?”
Azam menoleh. Sejenak, matanya tampak terkejut, tapi cepat ia atur ekspresinya agar tetap tenang. Ia duduk di samping Nayla, menggenggam tangan istrinya erat.
“Kata dokter… aku yang bermasalah, Nay,” ucap Azam lembut. “Kemungkinan aku tidak bisa membuahi. Kita bisa coba ikhtiar lain nanti, kalau kamu siap.”
Nayla diam. Ia menatap mata Azam yang meneduhkan itu, mencoba membaca kejujuran di sana. Tapi Azam terlalu tenang. Terlalu bijak menyembunyikan luka dan kepedihannya.
“Mas yakin?” Nayla masih mencoba menguji. “Apa kita bisa bicara langsung dengan dokternya… barangkali aku juga ingin tahu lebih jelas, supaya bisa belajar menerima semuanya.”
Azam menelan ludah. Ia tak menduga Nayla akan meminta itu. Tapi demi menjaga sandiwara ini tetap hidup, demi menjaga hati Nayla tetap utuh, Azam mengangguk.
“Baik, ayo kita jumpai dokter Saras lagi. Aku akan temani kamu bicara dengan dokter.”
Nayla tersenyum lemah. Hatinya menganga. Ia tahu, Azam bersiap menghadirkan kebohongan yang telah ia atur demi melindunginya.
Mereka pun kembali masuk ketuang dokyer Saras. Dokter itu sejenak menatap Azam, namun di belakang punggung Nayla, Azam memberi isyarat mengangguk, tanpa sepengetahuan Nayla.
Di ruang dokter yang sunyi, Azam dan Nayla duduk berdampingan, lalu dokter mulai berbicara sesuai skenario yang telah ia sepakati dengan Azam.
“Sesuai hasil pemeriksaan,” ucap dokter dengan tenang, “kemungkinan besar, Pak Azam mengalami hambatan dalam proses pembentukan sel sperma. Itu sebabnya kami menyarankan beberapa tindakan atau opsi program hamil lainnya.”
Nayla mendengarkan dengan kepala menunduk. Pandangannya mulai mengabur oleh air mata yang menggantung. Bukan karena informasi itu. Tapi karena ia tahu, setiap kata yang diucapkan dokter… adalah skenario yang disusun oleh cinta suaminya.
Setelah keluar dari ruangan, Azam mencoba tersenyum dan menggenggam tangan Nayla.
“Kamu tetap wanita paling kuat yang pernah aku kenal, meski tahu kondisiku kamu tetap mencintaiku, Nay...” bisiknya.
Nayla menunduk, menahan air mata. Ia ingin sekali berkata: “Aku tahu, Mas. Aku tahu semua ini bohong. Dan aku mencintaimu karena kebohongan itu lebih suci dari kejujuran apa pun.”
Tapi ia menahan.
Cukup hatinya yang tahu.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan