“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 23
TOK!
TOK!
TOK!
Suara ketukan di jendela terdengar nyaring, beradu dengan derasnya hujan yang mengguyur atap Paviliun. Mbah Darsih yang tengah berbincang serius dengan Arum, sontak terlonjak dari atas dipan. Jantungnya berdegup tak karuan.
Tok!
Tok!
Suara ketukan kembali terdengar, tetapi kali ini lebih pelan. Arum dan Mbah Darsih sontak saling memandang.
Mbah Darsih meraih selendang dan melilitkan ke leher, lalu berjalan pelan ke arah jendela tua yang menggembung di sudut kamar.
“Siapa di luar sana?” tanyanya waspada. Matanya menyipit menembus gelap di balik jendela kayu.
“Ini aku, Budhe. Junaidi,” sahut sebuah suara berat, nyaris tertelan gemuruh langit.
Mbah Darsih terkesiap. Ia buru-buru membuka jendela dan sontak tubuhnya menegang kala melihat sosok keponakannya berdiri di luar sana—dengan tubuh basah kuyup, wajahnya pucat, ditambah lagi ... aroma amis darah menyeruak kuat.
“Ya Allah Gusti! Kau kenapa ini, Jun?!” Serunya cemas, seraya membuka lebar jendela dan meraih lengan Junaidi.
Melihat ada sesuatu yang tak beres, Arum pun lekas berdiri dan menghampiri keduanya. Dalam sekejap, ia pun turut panik. Apalagi saat Junaidi limbung dan ambruk dalam dekapan tubuhnya.
Mbah Darsih segera menutup jendela dan mengunci rapat. Mereka membawa Junaidi ke dipan, menelungkupkan tubuhnya yang lemas, lalu mengambil kain bersih dan air hangat.
“Sebenarnya, apa yang terjadi pada Anda, Jun?” Tanya Arum sambil meringis ketika melihat Mbah Darsih membersihkan jejak darah di luka tusuk di punggung bawah.
Junaidi tak menjawab, ia meringis kala lukanya ditekan pelan.
“Kamu dirampok, Jun?” tanya Mbah Darsih manakala sang keponakan tak kunjung memberi jawaban.
Junaidi akhirnya memberi reaksi, ia menggeleng pelan dengan rahang mengeras.
“Aku membuntuti Madun dan Nyai Lastri yang gelagatnya tampak sangat aneh sore tadi. Ternyata, mereka pergi ke bukit, menemui dukun yang pernah menyegel rohnya Mbak Laras. Namun, di saat aku sedang menguping pembicaraan mereka sambil mengumpulkan bukti—aku ketahuan. Terjadi pergelutan antara aku dan anteknya Nyai Gila itu. Aku tertusuk benda tajam,” papar Junaidi. “Aku sengaja kabur kemari. Karena kalau aku pergi ke pusat kesehatan, sudah pasti identitas ini akan ketahuan.”
“Astaga ....” Mbah Darsih menggeleng pelan, lalu menilik luka tusuk dibawah punggung sang keponakan. “Untung saja lukanya tak dalam. Tetapi tetap saja, harus cepat-cepat dijahit dan diobati.”
Junaidi hanya mengerang lirih, keringat dingin membasahi pelipisnya meski tubuhnya menggigil.
“Ya sudah, kamu tunggu sebentar—biar aku buatkan sesuatu untuk menghentikan darahnya dulu,” ucap Mbah Darsih lirih sambil bangkit dari sisi dipan.
Sebelum benar-benar melangkah, wanita tua itu melirik ke arah sudut dipan, di mana Arum duduk sambil menikmati suara hujan yang belum juga reda. Tatapan Mbah Darsih melembut, namun bibirnya tersungging geli.
“Aku titip Junaidi sebentar ya, Rum,” ucapnya ringan. “Jangan dinodai ... dia masih perjaka. Ndak ada pengalaman.”
Arum menoleh, matanya sedikit menyipit sambil terkekeh pelan. “Tenang saja, Mbah. Aku lebih tertarik menggoda yang sudah tua—dan penuh dosa.” Ia mendekat sedikit ke arah Junaidi, lalu menambahkan, “ditambah lagi ... yang banyak duitnya.”
Junaidi cepat memalingkan wajahnya yang memerah, lalu berdeham pelan.
“Saya juga banyak duit, kok,” gumamnya, entah mencoba bersaing—atau hanya sekadar menutupi gugupnya.
Mbah Darsih menggeleng sambil tergelak pelan, lalu berlalu ke sudut dapur.
Selagi Mbah Darsih sibuk menumbuk sesuatu di dapur belakang, ruangan kamar kembali sunyi. Hanya suara hujan dan detak jantung yang terasa makin jelas. Junaidi dan Arum cukup lama saling pandang tanpa berkata-kata.
Namun tiba-tiba, Junaidi membuka suara. “Beneran, kok. Duit saya juga banyak.”
Arum menahan tawa. Sudut bibirnya terangkat cepat. “Oh ya? Terus? Maksudnya pengen digoda?”
Junaidi menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Ya ... siapa tau,” jawabnya setengah bercanda, tapi sorot matanya tak menunjukkan bahwa ia sedang bercanda.
Ia menatap wajah Arum dalam-dalam, seolah mencoba membaca sesuatu yang tersembunyi di balik tatapannya. Tapi beberapa detik kemudian—pria itu tersentak kaget.
Wajah Arum tiba-tiba berubah—menjadi wajah sosok Larasmi dalam rupa yang mengerikan. Kulitnya pucat, penuh retakan, dan senyum lebarnya membelah pipi seperti luka menganga.
“Jangan main-main kamu sama perasaan anak orang, Jun!” suara Larasmi terdengar parau.
Junaidi mengedip beberapa kali, dan dalam sekejap—wajah menyeramkan itu kembali menjadi wajah Arum yang biasa. Tenang dan juga polos.
Arum mengerutkan kening. “Kenapa Anda memandangi wajah saya seperti itu? Apa ada yang aneh dengan wajah ini?” tanyanya heran.
“Ah, enggak kenapa-kenapa, kok,” geleng Junaidi pelan.
Sejenak, waktu kembali berlalu dalam keheningan. Hanya suara gerimis di luar jendela yang menemani. Sesekali, Junaidi melirik wajah ayu Arum dari sudut matanya—masih berusaha memastikan apa yang barusan ia lihat hanyalah ilusi.
“Nona Arum,” ucap Junaidi pelan. “Anda harus berhati-hati. Mereka—Nyai Lastri dan Mbah Sosro—berencana melenyapkan roh Mbak Laras. Dan jika itu sampai terjadi, Anda jelas berada dalam bahaya besar.”
Arum menoleh perlahan, tatapannya kosong sesaat. “Melenyapkan Larasmi?” gumamnya.
Junaidi mengangguk. “Besok ... mereka pasti akan mulai mencari bokor itu.”
“Bokor?” Arum mengerutkan dahi.
“Ya,” lanjut Junaidi, nada suaranya kian serius. “Bokor emas yang menyimpan tusuk konde milik Mbak Laras. Mereka memerlukan benda itu sebagai syarat untuk memusnahkan Mbak Laras dari tubuhmu, Nona. Kalau mereka berhasil menemukannya sebelum bulan penuh ... segalanya akan berakhir.”
Arum hanya diam, namun sorot matanya perlahan berubah. Bukan ketakutan, bukan pula cemas—melainkan semacam gelombang emosi yang mengendap pelan di balik senyuman samar di bibirnya.
“Bokor, ya?” gumam Arum pelan, lalu tiba-tiba tertawa kencang. “Ahaa ... Ahahahahahahahahaha!”
*
*
*
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣