Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Desa Yang Berbisik
Mobil Avanza itu tiba-tiba tersendat di jalan berbatu yang mulai menanjak. Pepohonan di kiri kanan jalan menghitam dalam bayang kabut, seolah menutup mulut dari rahasia yang tak ingin dibocorkan.
Sasmita mencengkeram setir. Matanya menyipit.
“Garut ke Sukabumi nggak pernah terasa secepat ini,” gumamnya lirih, setengah bercanda, setengah gugup.
Di jok belakang, Kenan masih memeluk tas kecilnya, matanya tak berkedip menatap keluar jendela. Jalanan yang mereka tempuh sejak semalam telah berubah menjadi desa kecil yang terlihat nyaris ditelan hutan. Rumah-rumah panggung berdinding bilik bambu, jalan tanah yang basah dan becek, dan... tatapan.
Tatapan itu datang dari balik jendela, dari anak-anak yang tak berani mendekat, dari ibu-ibu yang memeluk anaknya lebih erat. Semuanya melihat mereka. Dua orang asing. Satu perempuan dengan trench coat merah dan aura seperti pemburu iblis, satu lagi bocah sepuluh tahun dengan mata lelah yang membawa beban dunia.
Sasmita mematikan mesin.
“Kayaknya... kita sampai.”
Kenan menatapnya. “Ini... tempatnya?”
Sasmita membuka pintu mobil dan menghela napas panjang. “Desa sebelum kaki Gunung Gede. Kalau tebakan Frater Ben benar... segel Manglayang ada di atas sana. Tapi sebelum nanjak, kita harus ngerti dulu medan. Dan kenapa tempat ini... aneh.”
Langkah kakinya menimbulkan bunyi basah di tanah becek. Suasana begitu sunyi, hanya ada suara jangkrik dan desir angin menyusup di antara celah dinding bambu.
Dari kejauhan, seseorang memperhatikan mereka.
Seorang pria tua dengan peci hitam lusuh, kain sarung yang digulung hingga lutut, dan tongkat kayu berukir. Wajahnya dipenuhi keriput, tapi matanya hidup. Waspada. Seperti mata orang yang pernah melihat sesuatu yang tak seharusnya dilihat manusia.
Sasmita melangkah pelan, mendekatinya.
“Assalamualaikum...”
Pria itu mengangguk. “Wa’alaikum salam, Neng.”
Sasmita menurunkan nada suaranya. “Kami butuh bantuan. Nama saya Sasmita... ini Kenan. Kami... sedang dalam perjalanan ke atas gunung.”
Pria tua itu menyipitkan mata. “Ke atas?”
Sasmita mengangguk. “Kami nyari tempat penyegelan. Dulu pernah ada ritual besar... tahun 1999.”
Pria itu menatapnya lama. Ada hening aneh. Angin tiba-tiba berhenti, seperti desa ini ikut menahan napas.
“...Neng tahu apa yang Neng cari?”
Sasmita tersenyum miring. “Kalau saya bilang saya nyari tempat buat nyegel iblis dari abad kelima belas yang bangkit lagi, Bapak bakal kabur atau ngajak saya ngopi?”
Pria itu tersenyum lelah. “Kalau yang ngomong bukan Neng, mungkin saya udah lari sejak tadi.”
Kenan maju pelan, berdiri di samping Sasmita. “Kami... harus ke sana. Kata Frater Ben, segelnya mulai rusak.”
Mata pria tua itu langsung berubah.
“Kamu... anaknya Rafael?”
Kenan terkejut. “Bapak kenal?”
Pria itu mengangguk pelan. “Saya Kang Ujang. Dulu... saya yang bantu antar Pastor Rafael ke atas gunung waktu beliau datang. Saya yang sediakan tempat, makanan, jagain desa waktu dia dan temannya naik ke atas untuk ritual itu.”
Sasmita menelan ludah. “Berarti Bapak tahu semua yang terjadi di sana?”
Kang Ujang mengangguk. Matanya sedikit berair. “Saya tahu... sebagian. Sisanya... saya pendam. Karena terlalu gelap buat diceritain sembarangan.”
Kenan menunduk. “Ayah saya... mati di sana ya?”
Kang Ujang terdiam cukup lama, sebelum akhirnya menjawab dengan nada sangat pelan. “Dia... bukan mati, Nak. Dia memilih... hilang. Supaya iblis itu nggak ikut turun. Waktu itu langit berubah merah. Petir nggak berhenti. Dan kami... cuma bisa berdoa agar yang dikorbankan cukup.”
Sasmita menepuk bahu Kenan pelan. “Kita ke sini buat pastiin pengorbanannya nggak sia-sia.”
Kang Ujang menghela napas, lalu melambaikan tangan ke arah gang sempit di samping rumah. “Masuk ke rumah saya dulu, Neng. Banyak yang harus saya ceritain. Dan... saya takut bicara soal Manglayang di tempat terbuka. Telinga gunung itu panjang.”
---
Ruang dalam rumah Kang Ujang hanya diterangi lampu minyak. Ada aroma tembakau, kayu manis, dan... kemenyan samar. Di dinding tergantung foto-foto tua—salah satunya foto Pastor Rafael muda berdiri di depan altar dari batu.
Sasmita berdiri menatap foto itu. “Itu... benar dia?”
Kang Ujang mengangguk, menyalakan rokok lintingannya. “Itu diambil sehari sebelum dia naik. Kami semua waktu itu nggak tahu kalau itu hari terakhir dia terlihat hidup.”
Kenan mendekat. Menyentuh bingkai foto. “Dia... sendirian?”
Kang Ujang menggeleng. “Dia bawa temannya. Frater Ben.”
Kenan menahan napas. “Ben baru mati... buat lindungi kami.”
Kang Ujang menunduk, menggenggam tangan Kenan. “Berarti... semua pengorbanan mereka masih berarti.”
Sasmita duduk bersila di tikar pandan. “Pak, saya butuh tahu: apa yang sebenarnya disegel di sana? Bukan versi ringan. Tapi yang Bapak lihat. Biar saya siap kalau ketemu... yang saya pikir akan saya temui.”
Kang Ujang menarik napas panjang. “Waktu mereka berdua naik... gunung seperti menolak mereka. Hutan jadi senyap, binatang kabur, pohon-pohon tumbang tanpa alasan. Saya cuma nunggu di batas desa, tapi saya bisa dengar jeritan dari atas. Bukan jeritan manusia. Tapi... suara yang membuat kuping saya berdarah. Seperti... kemarahan yang berusia ribuan tahun.”
Sasmita menyipit. “Manglayang... memang nggak pernah tidur.”
Kang Ujang melanjutkan. “Setelah itu, Rafael turun. Sendirian. Luka-luka. Bibirnya pecah, matanya berdarah. Tapi dia bilang... segelnya berhasil. Hanya bertahan kalau... keturunannya tidak pernah mendekat ke sana.”
Semua mata berpaling ke Kenan.
Anak itu diam. Tapi matanya tajam. Tak ada rasa takut. Hanya tekad.
“Aku... udah terlalu dekat sekarang. Nggak ada jalan balik.”
Kang Ujang mengangguk pelan. “Saya tahu. Dan saya percaya, mungkin ini sudah waktunya.”
Sasmita berdiri. “Kita harus naik sebelum matahari terbenam. Saya butuh rute tercepat.”
Kang Ujang berdiri pelan, tubuh tuanya gemetar. “Saya tunjukkan jalan sampai batas terakhir. Tapi ke atas... hanya kalian berdua.”
Kenan menatap Sasmita. “Kamu siap?”
Sasmita menyeringai tipis. “Saya lahir buat ngelabrak iblis. Tapi kamu, bocah... kamu siap?”
Kenan menarik napas panjang. “Kalau Ayahku dan Frater Ben berani ngorbanin hidup mereka... masa aku takut ngelawan yang mereka segel?”
Kang Ujang terdiam. Ada air mata tipis di pipinya.
“Rafael... anakmu sudah siap, kawan lama...”
Dan di luar rumah, angin kembali berhembus, membawa bisikan dari hutan Gunung Gede.
Saat mereka hendak keluar rumah, lampu minyak tiba-tiba padam. Dan dari luar... terdengar lolongan panjang—seperti suara bayi menangis, bercampur jeritan wanita yang diseret. Langit mulai merah.
“Pak Ujang... suara apaan tuh?”
“...Itu... penjaga altar. Mereka tahu kalian datang.”
Bersambung...