Alana, gadis SMA yang 'ditakuti' karena sikapnya yang galak, judes dan keras kepala. "Jangan deket-deket Alana, dia itu singa betina di kelas kita," ucap seorang siswa pada teman barunya.
Namun, di sisi lain, Alana juga menyimpan luka yang masih terkunci rapat dari siapa pun. Dia juga harus berjuang untuk dirinya sendiri juga satu orang yang sangat dia sayang.
Mampukah Alana menapaki lika-liku hidupnya hingga akhir?
Salahkah ketika dia menginginkan 'kasih sayang' yang lebih dari orang-orang di sekitarnya?
Yuk, ikuti kisah Alana di sini.
Selamat membaca. ^_^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bulan.bintang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 | Taman kota
Tepat pukul 7 malam, pintu kamar Alana diketuk.
"Maaf, Non. Ada tamu."
Siapa? Tumben banget ada yang nyariin?
Karena penasaran, Alana berjalan keluar dan melihat dua orang gadis yang sangat dia kenal.
"Ngapain kalian ke sini?" Alana mengambil tempat duduk tepat di hadapan kedua tamunya.
Sisi dan Vio, merekalah tamu tak diundang yang kini saling lirik tanpa berani menatap tuan rumah. Alana menghela napas, lalu melipat kedua tangan di dada.
"Anu, Na. Eng ... anu ... " Sisi terlihat gugup, apalagi Vio yang sejak tadi menggenggam erat telapak tangannya yang basah.
"Anu, anu. Anu apa? Kenapa? Ngomong yang jelas, Si."
Alana masih sabar menunggu, hingga akhirnya Sisi menjelaskan maksud kedatangan mereka.
Keduanya berniat mengajak Alana pergi jalan-jalan selagi besok libur sekolah. Meski berulang kali ditolak, Sisi dan Vio terus memaksa agar Alana mau ikut keluar bersama mereka.
"Oke, tunggu bentar. Gue siap-siap." Alana berjalan ke kamarnya, lalu meraih ponsel, menghubungi ibunya yang belum juga pulang.
Setelah mendapat ijin, Alana bersiap dan kembali turun.
Mereka bertiga memesan taxi online meski pak Joko siap mengantar.
"Nggak usah, Pak. Bapak istirahat aja. Kita udah pesen taxi kok. Oh ya, sampein kalo Mama pulang, aku pergi sama Sisi dan Vio." Pak Joko mengangguk lalu kembali menutup gerbang.
Tujuan mereka adalah taman kota yang malam ini cukup ramai, mengingat besok sudah masuk weekend. Ketiganya berjalan beriringan, memesan jagung bakar dan minuman lalu mencari ruang yang nyaman untuk duduk tanpa lalu lalang orang.
"Na, kemaren lo ke mana? Kita tampil tapi lo ngilang gitu aja? Tega bener." Bibir Sisi mengerucut membuat wajahnya semakin menyebalkan.
"Gimana tanggapan penonton? Sekarang kalian resmi jadi Diva dong?" Alana mengalihkan topik sambil menikmati jagung di tangan.
Vio tertawa, lalu menjawab dengan kesadaran yang hampir hilang.
"Lo sih malah ngilang, Na. Kemaren lo dicariin sama ... "
Sisi buru-buru membungkam mulut temannya, dia meringis dan mencubit pinggang Vio dengan mata melotot.
Alana hanya menaikkan alis tanpa berniat mencari tahu kelanjutan kalimat Vio barusan. Pikirannya justru melayang ke rumah, dengan wajah ayah dan ibunya yang kini tak pernah mengobrol seperti dulu. Alana merasa semua ini karena sifat sang ayah yang mata keranjang, juga godaan wanita di luar sana yang semakin hari, semakin liar.
"Na, kita ke toilet dulu ya. Lo di sini aja, jangan ngilang lagi, kita nggak lama kok." Keduanya meninggalkan Alana yang menatap mereka hingga tak lagi terlihat di antara kerumunan orang di jalan setapak.
Hingga lewat tiga menit, mereka belum juga terlihat batang hidungnya. Untuk melepas kejenuhan, Alana mengambil earphone dari tasnya, lalu mulai memutar lagu favorit dengan alunan yang membuatnya tenang.
Namun, belum habis lagu itu diputar, Alana terkejut saat seseorang tiba-tiba duduk di sampingnya. Tanpa permisi, tanpa aba-aba apa pun. Dan yang membuat Alana semakin kesal adalah senyum dari wajah yang sangat dia hindari akhir-akhir ini. Ya, dia adalah Galih.
Cowok itu sudah duduk tenang menatap Alana dengan senyum mengembang di bibir.
"Lo ngapain di sini?" Alana melepas benda di telinganya dan beringsut menjauh.
"Na, plis jangan gini. Gue nggak berniat macem-macem, beneran. Meski gue nggak bisa jadi pacar lo, tapi ijinin gue buat jadi temen lo, Na. Jangan ngehindar, plis." Galih terlihat memohon dengan menangkupkan kedua telapak tangannya.
Sedang Alana hanya menatap sinis ke arah Galih tanpa sepatah kata pun.
Tak jauh dari tempat Alana, Sisi dan Vio tersenyum senang karena misi mereka berhasil meski berulang kali menemui kegagalan.
"Siip, besok tinggal tunggu traktiran aja, Vi. Kita makan sepuasnya di kantin, kalo perlu bungkus sekalian mumpung ada donatur baik hati." Sisi terkikik geli membayangkan dirinya dengan tangan penuh oleh berbagai makanan dan minuman favorit.
"Hah? Apa, Si? Lo ngatain gue rakus? Enak aja, kan lo yang abis jagung dua biji tadi. Mana ngatain Alana nggak bisa diatur lagi, gue bilangin ke dia biar lo kena sembur. Sukurin," ucap Vio menggebu. Sisi menghela napas sebelum menoyor kepala temannya.
"Cukup, Vi. Cukup, gue nggak pengin ketularan gila kaya lo."
Di tempatnya, Alana kini sudah kembali memasang earphone dan mengangguk-anggukan kepala mengikuti irama yang didengar. Galih masih menatap gadis di sampingnya tanpa sedikit pun berniat pergi sebelum mendapat jawaban.
"Na, plis. Lo jangan giniin gue. Lo kudu tahu, Na. Gue suka sama lo dari pertama gue liat lo di aula dulu. Gue tahu apa aja yang lo rasain, Na. Gue juga tahu apa yang bikin lo selalu menghindar dari cowok."
Mendengar itu, Alana menoleh. Tatapan tajam dengan gemeletuk gigi terdengar sebelum dia membuka suara.
"Lo nggak tahu apa-apa tentang gue, lo juga nggak berhak ikut campur. Sekali lagi gue ingetin, LO NGGAK BERHAK IKUT CAMPUR!"
Alana bangkit dan bersiap melangkah pergi.
"Gue tahu, Na. Soal kesehatan lo. Gue tahu dan gue khawatir soal itu."
Alana berbalik dan menunjukkan jarinya ke dada Galih.
"Gue ... nggak butuh ... dikasihani!"
Setelah itu, Alana berjalan cepat ke arah jalan raya.
Galih menatap gadis pujaannya dengan senyuman manis.
"Nggak papa, Na. Mungkin sekarang lo belum bisa nerima, tapi gue yakin suatu saat kita akan bersatu." Dia melangkah pergi, membuat Sisi dan Vio tertegun di tempatnya. Mereka menatap Alana dan Galih yang pergi saling berlawanan arah.
Alana tak langsung pulang, dia memilih pergi ke tempat favoritnya di sudut kota. Sebuah taman kecil yang tak begitu ramai.
Dia duduk di sebuah ayunan dan mulai memainkannya.
Tak ada yang peduli di sana, mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Berpacaran, bermain bersama keluarga atau sekedar self healing seperti dirinya.
Tuhan, tolong kuatkan aku agar tak mudah rapuh lalu hancur berkeping. Aku percaya semua akan baik-baik saja dan aku yakin, ini adalah jalan yang memang harus kuhadapi. Meski terkesan berat dan melelahkan, tapi Kau pasti percaya aku bisa melewatinya.
Tuhan, aku hanya ingin Papa dan Mama kembali rukun seperti dulu. Itu saja.
Alana tersenyum saat matanya menangkap bintang yang berkelip di angkasa luas.
Hari ini, Alana sengaja tidur lagi setelah sejak subuh tadi dia membantu ibunya mengemasi pakaian ke dalam koper.
"Mama nggak lama, Nak. Maaf ya, Mama harap kamu mengerti." Hanna memeluk putrinya sebelum berangkat. Dia kembali sibuk dengan berbagai bisnisnya setelah benar-benar pulih dari luka akibat kecelakaan itu. Alana melepas kepergian ibunya di depan gerbang lalu kembali masuk dan merebahkan tubuh di tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamar, namun pikirannya berlarian tak ada jeda sedikit pun. Dia berusaha memejamkan mata dan mencoba untuk kembali tidur. Namun, baru saja kenyamanan itu datang, suara ribut terdengar, membuat Alana bangkit lalu beranjak keluar.
Dia melihat ayahnya tengah memaki art dan juga pak Joko di lantai bawah.
"Kenapa kalian nggak bilang saya kalau Hanna mau pergi pagi ini? Kali ini, ke mana lagi tujuannya?" Bastian menatap tajam ke arah pak Joko yang terlihat gemetar.
"Joko, saya nanya kamu. Ke mana Hanna pergi?" Bastian mengulang pertanyaannya. Namun si sopir menggeleng dengan mimik menahan takut.
"Saya tidak tahu, Tuan. Tadi Nyonya hanya minta di antar ke bandara."
Alana turun setelah mereka bubar, menyisakan ayahnya yang tengah dilanda amarah.
Tanpa suara, Alana melewati sang ayah dan melangkah ke arah dapur.
Di sana dia melihat dua orang art yang menunduk dengan tubuh bergetar. Alana mendekat, lalu bertanya akan apa yang terjadi.
Setelah mendapat penjelasan, gadis itu kembali keluar dengan segelas air putih di tangan. Dia sengaja tak menyapa sang ayah dan memilih menapaki tangga.
Baru di anak tangga ketiga, Bastian memanggil putrinya untuk mendekat. Diam-diam Alana tersenyum.
"Ada apa, Pa?" Meski dia tahu kata apa yang akan keluar dari ayahnya, namun gadis itu masih sabar menunggu.
"Ke mana Mama kamu pergi?"
Alana menyunggingkan senyuman misterius. Dia menatap Bastian dengan alis terangkat.
"Kan Papa suaminya, kenapa nanya aku? Aku juga baru bangun. Lagian kenapa kalian jadi kucing-kucingan gini?"
Ucapan Alana sukses membuat Bastian terdiam kaku.
*
jika berkenan mampir juga yuk ke karya ku.