NovelToon NovelToon
He Is A Psyhco

He Is A Psyhco

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri
Popularitas:768
Nilai: 5
Nama Author: ayel_zaa

azalea steffani leandra seorang anak tunggal kaya raya ,ceria dan juga manja dipertemukan dengan seorang pria yang sifatnya berbanding terbalik dengannya dan ternyata pria itu adalah pengasuhnya ketika ibunya tidak ada dirumah (bodyguard)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayel_zaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

WHO?

Lea berlari sekuat tenaga.

Napanya ngos-ngosan. Tanah becek, bebatuan kecil, dan ranting-ranting bikin langkahnya beberapa kali tersandung. Tapi dia nggak peduli—dia cuma tahu satu hal, dia harus kabur.

Suara langkah dan seretan tongkat itu makin dekat di belakangnya.

“LEA!” suara itu akhirnya terdengar jelas. Cowok. Suaranya kasar… tapi juga agak serak.

Dan yang paling mengerikan, dia tertawa.

“ gue kangen sama lo, selama lo dirumah sakit gue kangen banget sama lo..."

Lea makin panik. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Jantungnya berdegup liar.

“Kenapa sih lo kabur terus dari gue?”

“Gue cuma mau peluk lo… gue kangen banget, ”

Lea gak tahan lagi. Dia menoleh cepat, dan di situ, dia sempat melihat sosoknya. Topeng setengah wajah, hoodie gelap, dan mata yang menatap penuh obsesi.

Dia terhuyung, hampir jatuh.

“LO NGGAK BOLEH PERGI DARI GUE LAGI, LEA!”

Tiba-tiba, tangannya berhasil meraih rambut Lea dari belakang—tarikannya kencang, brutal.

Lea menjerit keras.

“AARGH!!”

Tubuhnya ditarik ke belakang dan dilempar kasar ke tanah.

Kepalanya menghantam besi pembatas jalan kecil di sisi taman, darah langsung mengalir dari pelipisnya.

Napasnya memburu. Dunia seakan berputar.

“m-maaf.., gue sama sekali gak bermaksud ngelukai lo.”

"T-tapi lo bikin gue emosi, maaf.”

Lea berusaha bangkit dengan tubuh gemetar, darah menetes dari dahinya, dia sama sekali tak menghiraukan ucapan cowok itu.

Air matanya jatuh, bukan karena sakit… tapi karena takut.

“Lo siapa …?” ucapnya dengan suara gemetar.

“Kenapa lo lakuin ini ke gue…?”

pria itu membungkuk pelan ke arahnya, wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Lea yang ketakutan.

“Lo nanti bakal tau. Tapi nanti juga lo sadar… kalau cuma gue yang sayang sama lo..,gue sayang sama lo lebih dari siapa pun” tangannya mengelus lembut pipi lea.

Lea langsung mendorongnya, pakai seluruh tenaga yang masih ada, lalu lari lagi, meski kakinya gemetar.

Tapi sosok itu kembali berdiri.

“LEAAAA…!! JANGAN LARI LAGI!!”

“GUE BISA BIKIN LO MATI, KALO LO GAK MAU JADI MILIK GUE!!!”

Langkah Lea makin gontai.

Kakinya terasa berat, napasnya tersengal. Tapi suara seretan tongkat itu masih mengikuti, dan semakin cepat.

“LEAAA!!!” teriakan itu menggema, memantul di antara pohon-pohon besar taman kota yang sekarang sudah hampir gelap total.

Lea mencoba menyeberangi jalur berbatu, tapi terpeleset.

“Aakh!” lututnya menghantam pinggir trotoar, kulitnya robek—darah langsung mengalir.

Dia menggigit bibir, menahan rasa perih yang menusuk.

“Aduh… gak… gue harus... kabur.”

Tangannya gemetaran saat mengeluarkan ponsel dari saku hoodie-nya. Dia coba menekan nomor…

Flo.

Tuut… Tuut… Klik.

“Halo, Lea?” suara Flo terdengar. Ceria di awal, tapi langsung berubah khawatir.

“F-Flo…” suara Lea nyaris tak terdengar, napasnya berat.

“Hah?! Lea? Lo kenapa ngos-ngosan gitu? Bukannya lo udah sama Gavin—”

“Gue… gue di taman… Taman kota… TOLONG JEMPUT GUE, SEKARANG!”

“Ada yang ngejar gue! Cepetan, Flo, please!!”

“APAAA?!! Oke, oke! Gue OTW sekarang juga,  Jangan tutup teleponnya!!”

Lea gak bisa menjawab. Tenaganya benar-benar terkuras. Dia buru-buru mematikan ponsel sebelum suaranya menarik perhatian psycho itu. Dengan sisa tenaga, dia menyeret tubuhnya ke balik semak-semak besar di dekat patung air mancur tua.

Sembunyi. Nafasnya dipendek-pendekin.

Jantungnya berdebar, darah dari kakinya terus menetes, ngebasahin celana bagian bawah.

Dari balik semak itu, dia bisa dengar langkah pelan…

“Sraak… Tap… Sraak…”

“Lea…” suara pria itu melengking halus, tapi membuat bulu kuduk berdiri.

“Gue tahu lo masih di sini… Gue bisa cium bau darah lo… LO GAK BISA KABUR LAGI!!”

Lea menutup mulutnya sendiri. Air matanya turun pelan-pelan, matanya terus menatap ke arah jalanan taman yang sepi.

Flo, cepetan… batinnya.

Tolong datang sebelum semuanya terlambat..

Sunyi, Lea menahan napas.

Semak-semak itu jadi satu-satunya tempat aman yang bisa dia pikirkan.

Udah beberapa menit… tidak ada suara langkah.

Gak ada suara seretan tongkat.

Tenang. Mungkin dia sudah pergi.

Pelan-pelan, Lea intip ke samping.

Kosong.!!

Tangannya gemetar saat dia menyandarkan diri ke batang pohon buat berdiri.

“Kayaknya aman…” bisiknya lirih.

Tapi baru satu langkah, suara berat muncul dari sebelahnya,

“Lagi ngumpet ya?”

“AHHH!!”

Lea kaget setengah mati, cowok itu berdiri tepat di sampingnya.

Matanya melotot, napasnya berat, dan tongkat di tangannya… masih berlumur darah.

Lea langsung kabur lagi, setengah berteriak.

Dia menabrak ranting, menendang daun kering, lari sebisa mungkin walau kakinya udah nyeri luar biasa.

“LEAAAA!! GUE SAYANG LO!!!”

Teriakan cowok itu menggema, gila dan penuh obsesi.

Lea berlari sekuat tenaga—tapi sial…

Langkahnya goyah, dia terpeleset, lalu kejungkir, bahunya menghantam tanah keras.

“AUGH!!”

Belum sempat bangkit, BRUKK!!

Tongkat itu menghantam punggungnya.

Lea menjerit.

Kepalanya terbentur aspal, dan kakinya keseret. Kulitnya terkelupas, luka makin parah.

Lea menggeliat, berusaha bangkit. Tapi cowok itu menekan pundaknya, menyudutkannya ke dinding taman.

“Akhirnya... kita sendirian juga,” suara cowok itu pelan, menjijikkan.

“Lo nggak bisa kabur terus, Lea. Lo milik gue…”

Tapi Lea tidak diam.

Dengan sisa tenaga, dia dorong cowok itu kuat-kuat, lalu menendang perutnya.

“MENJAUH DARI GUE!!!”

Cowok itu terhuyung.

Lea langsung mengesot, menyeret tubuhnya menjauh. Darah menetes di sepanjang jalan.

Lalu… suara klakson.

“LEA!!!”

Flo turun dari mobil dengan wajah panik.

Dia lari mendekat, langsung meluk Lea yang udah gemetar di tanah.

“Ya Tuhan… LEA!! Lo kenapa begini??”

Lea gemetar, menunjuk ke arah pepohonan, “Dia… dia ngejar aku… dia barusan di situ… aku gak bohong… dia di situ tadi!”

Flo langsung menoleh ke arah yang Lea tunjuk.

Kosong, Gak ada siapa-siapa.

Cuma jalanan taman gelap yang hening.

******

Disis lain

Bandara – Malam Hari, Gavin berdiri di balik kaca terminal kedatangan, matanya tajam mengikuti langkah ibunya yang baru saja keluar dari pintu. Ia segera menyambut, membantu menarik koper sang ibu.

Namun, suara tawa dua pria di pojok ruangan membuat langkahnya terhenti.

“Itu dia... Wanita sakit-sakita yang kabur ke luar negeri itu, ya?”

“malu kali tuh, makanya pergi keluar negri.”

Gavin berhenti. Tangannya mengepal.

Nafasnya memburu, matanya tak lepas dari dua sosok itu.

Senyumannya hilang seketika.

Ibunya tidak mendengar, tapi Gavin mendengar semuanya.

“bun, biar aku panggilin supir. Katanya dia udah nunggu di depan.”

Ibunya tersenyum lembut.“Kamu gak ikut pulang?”

“Aku ada yang perlu diurus. bunda pulang aja dulu.”

Setelah memastikan ibunya pergi dan mobil berlalu, Gavin menoleh pelan.

Langkahnya tenang, tapi aura di sekelilingnya berubah. Dua pria itu sudah pindah ke area parkiran sepi.

Lalu semuanya gelap.

Gavin membawa mereka ke gedung tua bekas gudang ekspedisi. Tempat yang tidak pernah lagi dikunjungi siapa pun.

Gudang Tua – Tengah Malam

Suara besi tua berderit saat Gavin membuka pintu gedung terbengkalai itu. Dua pria di belakangnya mulai sadar ada yang tidak beres. Tapi Gavin tidak menoleh. Ia tetap jalan pelan, pasti sampai lampu temaram dari senter di tangannya menyinari lantai berdebu.

“Kalian tahu kenapa kalian di sini?”

Tak ada jawaban. Hanya napas gugup.

Gavin melempar satu tali ke kaki salah satu pria.

“Ikut naik. Sekarang.”

Pria itu menggeleng, tapi Gavin sudah menarik batang besi yang terselip di balik jaketnya. Sekali hentakan ke lutut membuat pria itu menjerit, jatuh ke lantai. Darah mulai menodai debu.

“Jangan buat gue ngulang perintah.”

Yang satu lagi didorong ke arah kursi. Tangannya diikat. Satu orang diangkat ke kursi, tali digantungkan di langit-langit berkarat. Skenarionya jelas, Satu jadi beban, satu jadi penopang.

“Kalau lo goyang, dia mati. Kalau lo kabur, lo juga mati. Gampang.”

"Gavin… bro… please… kita  satu sekolah," suara salah satu dari mereka bergetar.

Gavin menoleh setengah. "Sekolah yang sama? Lucu. Gua bahkan gak tahu nama kalian."

"Lo gak harus ngelakuin ini. Kita salah, kita minta maaf! Please! , gue… gue janji bakal berubah!"

Suara memohon itu terus mengalir seperti desakan air dari bendungan jebol.

Gavin mendekat, menatap mata pria yang berdiri menopang temannya.

"Lo pikir kata 'maaf' bisa mengubah semuanya?" bisiknya, lirih… tapi dingin.

Temannya yang tergantung mulai panik, jeritan teredam tali yang mencekik semakin berat. Penopangnya gemetar, keringat membanjiri wajah.

"Tolong! Jangan! Dia bakal mati!"

Gavin menatap dengan pandangan kosong… lalu menendang pria di bawahnya tanpa aba-aba.

BRAKK!!

Kakinya mengayun cepat ke dada si penopang, menjatuhkannya. Tubuh yang tergantung langsung tersentak ke atas, tali menjerat leher… bunyi retakan kecil… dan hening.

Yang tersisa hanya satu.

Pria terakhir terisak keras. "Lo gila… lo gila…! Gue mohon… gue mohon jangan bunuh gue!"

Gavin diam. Wajahnya kini mulai berubah, tegang. Napasnya berat. Tangannya menggenggam batang besi karatan dengan erat, lalu… tiba-tiba ia pukul kepalanya sendiri, dia tersadar apa yang baru saja dia lakukan, dia terdiam.

kepalanya terasa berdenyut, ia kembali memukul-mukul kepalanya sendiri seperti orang linglung.

sisi gelap dalam dirinya sudah bangkit. Dan dia kalah.

Dia berbalik. Tanpa emosi. Dengan satu ayunan cepat…

Dukk! Besi itu menghantam kepala pria itu. Suara retak menggaung.

Dukk! Dukk! Dukk!

Darah muncrat. Paku berkarat menancap lebih dalam setiap kali besi itu diayunkan.

Gavin berhenti setelah nafasnya habis. Dia berdiri dalam diam. Tangannya gemetar. Bajunya merah. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi tanpa dia sadari gelang yang dipakainya terjatuh menyelip dikayu-kayu lusuh.

Senyap. Tapi juga mengerikan, tak ingin menambah masalah bagi dirinya, dia memutuskan untuk menghapus semua bukti.

Ia mengenakan sarung tangan, menghapus sidik jari. Lalu ia mengatur posisi tubuh salah satu pria itu dengan tangan kanan nya menggenggam batang besi, wajah menghadap satu nya lagi yang menggunakan hoodie. Disisipkannya sebuah surat kusut dari saku Cowok yang satunya lagi —tulisan tangan miring, acak, seolah dicoret dengan panik:

> “Lo ngerusak hidup gue, sekarang lo ikut mati bareng gue.

Terakhir, Gavin membuka ponsel dari salah satu pria itu. Dikirimkannya satu pesan ke akun media sosial Cowok satunya lagi yang menggunakan hoodie:

> “Besok, semua selesai.”

gavin memanipulasi kejadian dan membuatnya seolah-olah mereka berdua membunuh satu sama lain.

Lalu dia , pergi. TANPA JEJAK!!

Setelah memastikan mamanya sudah sampai dirumah dengan aman bersama sopir, Gavin kembali duduk di dalam mobilnya. Ia membuka ponsel dan membuka aplikasi GPS yang terhubung dengan gelang yang dipakaikan ke Lea sebelumnya.

Namun... ada yang aneh.

"Taman? Dari tadi dia gak gerak dari taman?"

Dahi Gavin mengernyit. Pikirannya mulai dipenuhi rasa cemas. Sudah berjam-jam Lea tidak menunjukkan pergerakan. Padahal seharusnya dia sudah di rumah atau setidaknya berpindah lokasi.

"Kenapa lama banget di situ? Dia nunggu taksi, atau...?" pikirnya.

Tanpa pikir panjang, Gavin menyalakan mesin dan meluncur menuju taman kota. Tapi sesampainya di sana, taman sudah kosong. Sepi. Hanya daun-daun yang berdesir tertiup angin malam. Tak ada tanda-tanda Lea , tapi dari kejauhan dia dapat melihat bayangan seorang  pria yang berjalan pergi meninggalkan taman, membawa tongkat stick besi ditangannya.

Jantung Gavin berdetak kencang. Dia segera menelepon Lea.

“Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif…”

"Sh*t."

Gavin menghubungi Laura—tak diangkat. Lalu Viona—tidak tahu apa-apa. Akhirnya, dengan sisa harapan, Gavin menekan kontak Flo.

"Halo, Gavin?"

"Flo, Lea ada sama lo?" tanyanya to the poin

"Eh... iya. Tapi dia baru aja tidur."

"kenapa ? maksud gue kenapa Dia nggak ngabarin gue, HP-nya mati. Kenapa dia bisa ada di tempat lo?"

(hening sejenak)

"Gav... Lea bilang jangan kasih tahu kamu dulu. Dia... habis kena sesuatu. Dia butuh waktu buat nenangin diri."

Gavin terdiam. Matanya gelap, rahangnya mengeras.

"Apa maksudnya ‘kena sesuatu’? dia kenapa?" tanya gavin khawatir

" g-gue gak bisa cerita banyak, nanti lea bakal cerita sendiri sama lo" setelah mengatakan itu flo langsung menutup panggilan.

Setelah panggilan ditutup, Gavin mendesah panjang.

Ia bersandar ke jok, pandangan kosong ke arah dashboard.

Dalam hati, ia menggeram.

“Siapa pun yang nyentuh dia malam ini... gue bakal cari. Gue bakal patahin tangan mereka.”

1
Ververr
Aku suka karakternya, semoga bisa jadi buku cetak!
Ichigo Kurosaki
Aku beneran suka dengan karakter tokoh dalam cerita ini, thor!
Hakim Bohiran
Cerita yang menarik, gak capek baca sampe habis!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!