NovelToon NovelToon
Mr. Dark

Mr. Dark

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Single Mom / Cerai / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Cinta Seiring Waktu / Mengubah Takdir
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: El_dira

The Orchid dipimpin oleh tiga pilar utama, salah satunya adalah Harryson. Laki-laki yang paling benci dengan suasana pernikahan. Ia dipertemukan dengan Liona, perempuan yang sedang bersembunyi dari kekejaman suaminya. Ikuti ceritanya....


Disclaimer Bacaan ini tidak cocok untuk usia 18 ke bawah, karena banyak kekerasan dan konten ....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El_dira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Setelah para pria itu pergi ke kasino dan Liona akhirnya bisa menenangkan diri, ia mulai membereskan sisa-sisa piring sarapan di dapur. Pemandangan Mikael dan Lukas yang bertelanjang dada, penuh luka dan darah, masih tergambar jelas di benaknya—terlalu mengerikan.

Itu mengingatkannya pada saat-saat mengerikan bersama Bennedit, mantan suaminya. Waktu-waktu ketika pria itu mengepalkan tinju, menatapnya dengan pandangan gila, dan bersiap melampiaskan amarahnya tanpa ampun.

Liona masih heran kenapa tadi pagi Mikael dan Lukas mengatakan sarapan buatannya lezat. Ia sudah berusaha keras memasaknya, tapi ia tahu panekuknya gosong semua. Pasti mereka menyadarinya, hanya saja mereka terlalu sopan untuk mengatakannya langsung.

Sambil membersihkan meja, pikirannya melayang ke kejadian kemarin di salon. Ia sempat berpikir akan merasa malu saat Harry, Alen, dan Jerry melihat bagian rambutnya yang rontok. Tapi reaksi mereka sungguh di luar dugaan. Mereka tidak menyalahkannya, tidak menuduhnya ceroboh, dan tidak juga berpura-pura membuatnya merasa lebih baik. Mereka hanya... menerima kenyataan.

Liona teringat lagi pada dua kali pengakuannya kepada ibunya tentang perlakuan Bennedit.

Yang pertama, ketika ia menceritakan bagaimana Bennedit sering memukulnya. Ia masih bisa mendengar jawaban ibunya yang dingin,

“Kamu pasti sudah membuatnya marah. Tidak bisakah kamu melakukan satu hal saja dengan benar? Jangan hancurkan segalanya—ayahmu sudah mengatur pernikahan itu demi urusan bisnis, bukan untuk kamu berantakan seperti ini.”

Lalu yang kedua, saat ia dengan gemetar memberanikan diri untuk menceritakan bahwa Bennedit pernah memaksanya untuk memuaskannya ketika sedang mabuk, dan ia menolak. Reaksi ibunya jauh lebih parah.

“Apa kamu pikir menikah itu hanya soal pakai gaun indah dan habiskan uang suamimu? Tentu saja dia berharap bisa tidur dengan istrinya. Jangan pernah bahas hal menjijikkan seperti itu lagi.”

Liona masih merinding setiap kali mengingat ejekan dan penolakan ibunya. Seolah semua yang terjadi itu adalah kesalahannya sendiri. Seolah ia membawa aib karena menjadi putri dari perempuan seperti ibunya.

Namun, setelah momen kecil di salon itu, sebuah pikiran baru mulai tumbuh dalam dirinya. Mungkin, hanya mungkin... ia tidak sepenuhnya salah atas semua yang telah terjadi.

Di dapur, Liona berdiri sambil membawa buku catatan dan secarik kertas—berniat membuat daftar belanja. Ia seharusnya menulis daftar kebutuhan, tapi pikirannya melayang. Matanya mencari sesuatu di rak. Ia butuh camilan kecil untuk menahan lapar sampai makan malam. Ia berpikir untuk membeli kue beras—ringan, tidak mengganggu diet.

Namun, matanya menangkap sesuatu.

Kue bolu lemon.

Kotaknya tergeletak tenang di rak, seolah menantinya. Seketika, air liurnya menetes hanya dengan membayangkan rasanya. Ia bisa membayangkan lembutnya kue itu meleleh di lidahnya.

Ia berkata pada dirinya sendiri untuk menjauh, menutup pintu dapur, dan mencari kegiatan lain. Tapi kakinya tetap diam di tempat. Tangannya bergerak seolah punya pikirannya sendiri, mengambil kotak itu dan membuka tutupnya. Aroma lemon yang segar langsung memenuhi udara—menggoda dan manis.

Liona mencoba bertahan. Ia akan makan satu saja, pikirnya. Hanya satu. Agar keinginan itu berhenti.

Namun begitu suapan pertama menyentuh lidahnya, ia tahu ia dalam masalah. Teksturnya lembut, rasa manis dan asamnya seimbang. Lapisan gulanya menyempurnakan segalanya.

Satu cupcake habis. Lalu yang kedua. Liona sadar ia harus berhenti, tapi tangannya tak menurut.

Cupcake ketiga. Lalu keempat.

Saat semua habis, ia berdiri terpaku. Kertas pembungkus berserakan di depannya. Rasa puas sesaat berganti dengan rasa benci pada diri sendiri. Perutnya mual, bukan hanya karena terlalu banyak gula, tapi karena rasa bersalah yang menyergap tanpa ampun.

Ia sudah melakukan yang terbaik minggu ini. Menghitung kalori, mengikuti rencana makan. Tapi semua kerja keras itu runtuh hanya dalam beberapa menit.

Ia ingin menangis, atau berteriak, atau membalik waktu. Tapi semua sudah terjadi. Ia hanya bisa berjanji dalam hati: besok aku akan mulai lagi. Aku akan lebih baik.

Namun hari ini, yang tersisa hanyalah penyesalan.

Sekitar satu jam sebelum ia mengira Lukas akan pulang, Mikael tiba di dapur.

“Kau pulang lebih awal,” kata Liona dengan nada panik. “Aku baru saja mau mulai masak. Kupikir makan malamnya jam delapan.”

“Aku tidak pulang lebih awal,” jawab Mikael dengan suara datar namun tajam.

Liona menelan ludahnya. “Tapi...”

“Liona, jelaskan padaku kenapa masakanmu... begitu buruk. Perutku malah jadi mual.”

Tatapannya menusuk. Liona terdiam, tidak bisa menarik napas dalam. Ia bisa merasakan ketegangan memenuhi udara.

Di lubuk hatinya, ia tahu momen ini akan datang. Ia berdiri kaku, mencoba mencari alasan. Namun pikirannya buntu. Bahkan panci dan wajan di dapur pun seolah memandanginya dengan kecewa.

“Aku... maaf,” katanya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

Ia benci betapa kecil dan lemah dirinya terdengar. Ia mencoba mengatur napas. Tangannya gemetar. Ia menyatukannya di depan dada, mencoba menyembunyikan kegugupannya.

Mikael masih menatapnya, tanpa ekspresi yang bisa ditebak. Itu membuat segalanya terasa lebih mengerikan.

Liona tahu ia harus menjelaskan. “Aku hanya belum terbiasa dengan dapur ini,” katanya, menunjuk ke sekeliling dengan gerakan ragu.

“Omong kosong,” Mikael menyela, tajam.

Liona tersentak. Napasnya memburu.

Mikael melangkah pelan ke arahnya.

“Kau yang memanggang ini,” katanya sambil menunjuk cupcake yang tersisa di tatakan. “Artinya, kau tahu cara menggunakan dapur ini.”

Pipinya memerah. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Bagaimana menjelaskan bahwa ia tahu ia tidak cukup baik?

“Kalau kau bisa memanggang cupcake, dan makanan manis lainnya, itu berarti kau tahu cara membaca resep, mengatur waktu, dan pakai peralatan dapur. Jadi kenapa semua masakan utamamu gosong, setengah matang, atau bahkan lembek?”

“Aku… aku…”

Pikirannya jatuh dalam kekacauan. Ia tidak tahu harus bilang apa.

Namun ia tahu ia harus mencoba. Ia harus bertahan. Ia harus menjaga pekerjaan ini.

“Bukan karena aku tidak bisa memasak, Tuan,” ucapnya akhirnya, meski suaranya masih goyah. “Aku bisa. Sungguh. Aku hanya... merasa gugup.”

1
via☆⁠▽⁠☆人⁠*⁠´⁠∀⁠`。⁠*゚⁠+
mampir kakak /Hey/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!