Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Morning Sickness
Sinar matahari pagi menyusup perlahan dari balik tirai tipis kamar yang masih asing bagi Shanaira. Udara pagi terasa dingin, dan keheningan di ruangan itu hanya dipecahkan oleh deru napas pelan dari pria yang tidur di sampingnya.
Ini rumah Karenin. Sekarang juga rumahnya.
Mereka resmi menikah kemarin—tanpa pesta, tanpa cinta, hanya karena satu alasan: bayi kecil yang belum lahir dalam rahimnya. Dan pagi ini, untuk pertama kalinya, tubuhnya bereaksi.
Mual.
Rasa tidak nyaman itu datang tiba-tiba. Perutnya seperti diaduk, dan napasnya jadi berat. Ia menahan diri sekuat mungkin, berusaha tidak membangunkan Karenin, tapi tubuhnya bergerak gelisah di tempat tidur.
Karenin terbangun.
Awalnya hanya berguling pelan, lalu ketika ia menyadari Shanaira menggenggam perutnya sambil memejamkan mata rapat-rapat, dia langsung duduk.
“Shanaira?” suaranya serak, bingung. “Kamu kenapa?”
Shanaira membuka matanya pelan, mencoba bicara, tapi malah buru-buru turun dari ranjang dan setengah berlari ke kamar mandi.
Karenin refleks bangkit, menyusul sampai di depan pintu kamar mandi. Dari dalam terdengar suara muntah yang lirih, namun cukup untuk membuat dada pria itu menegang.
Beberapa menit kemudian, Shanaira keluar, wajahnya pucat dan bibirnya tampak kering.
Karenin menatapnya khawatir. “Kamu gak apa-apa?”
Ia mengangguk pelan. “Iya.”
Karenin tidak banyak bicara. Ia meraih segelas air putih di dapur, lalu kembali dan menyodorkannya padanya. Shanaira menerimanya, jari mereka bersentuhan sedikit. Sama-sama canggung.
“Maaf,” ucap Shanaira lirih, duduk di pinggir ranjang. “Aku nggak maksud ganggu pagi kamu.”
“Ini bukan gangguan, Nai,” ujar Karenin pelan. “Kamu lagi hamil. Wajar.”
Ada jeda hening. Bukan karena tidak nyaman, tapi karena tak tahu harus bicara apa.
Karenin berdiri di ambang pintu, seolah ragu untuk mendekat lebih jauh. Sementara Shanaira menggenggam gelas itu lebih erat, berusaha menenangkan perasaannya sendiri yang kacau.
Ia masih belum bisa sepenuhnya percaya mereka sudah menikah.
Ia bahkan belum tahu bagaimana cara tinggal seatap dengan seseorang yang... bukan bagian dari hidup yang dulu ia bayangkan.
Namun saat Karenin kembali berkata, suaranya terdengar tenang, bahkan nyaris tulus.
“Nanti aku beliin biskuit jahe, kata orang itu bisa bantu redain mual. Terus... kalau kamu butuh apa-apa, bilang aja, ya? Aku belum ngerti banyak soal beginian, tapi aku mau belajar.”
Shanaira menoleh, menatapnya lama. Tidak menjawab, hanya mengangguk kecil.
Mungkin ini bukan awal yang sempurna. Tapi untuk pagi pertama mereka sebagai suami istri, perhatian kecil itu terasa seperti langkah pertama menuju sesuatu yang bisa jadi... perlahan membaik.
Setelah sempat berbaring kembali beberapa menit, Shanaira memaksa dirinya bangkit dan berjalan pelan ke dapur. Tubuhnya masih sedikit lemas, tapi ia tak ingin terlihat terlalu manja. Ini rumah orang—rumah Karenin, lebih tepatnya—dan ia belum tahu bagaimana seharusnya bersikap di sini.
Saat tiba di ruang makan, aroma roti panggang dan telur orak-arik menyeruak lembut. Meja sudah tertata rapi. Sepiring kecil buah, segelas jus jeruk, dan semangkuk bubur oat hangat tersaji di hadapannya.
Karenin berdiri di dekat meja, masih dengan kaus abu dan celana panjang santai. Wajahnya tampak serius, seperti sedang mencoba menyusun kalimat penting.
"Aku enggak tahu kamu lagi pengin makan apa," katanya kaku, "Jadi aku bikin semuanya dikit-dikit. Kalau kamu enggak suka, tinggal bilang aja."
Shanaira terdiam. Matanya menatap meja, lalu menoleh pelan ke pria itu. “Terima kasih, aku gak pilih-pilih makanan kok.”
Shanaira duduk perlahan, mencicipi bubur oat sedikit. Lidahnya belum terlalu bersahabat, tapi usahanya untuk menelan makanan itu cukup berhasil.
“Makannya pelan aja,” ujar Karenin. “Kalau mulai mual lagi, stop.”
Shanaira mengangguk tanpa menatapnya. Suasana meja makan itu terasa aneh. Terlalu rapi. Terlalu tenang. Seperti dua orang asing yang dipaksa hidup bersama hanya karena satu alasan besar yang belum bisa mereka cerna.
Baru beberapa suap masuk ke mulutnya, ponsel di saku celana santainya bergetar. Ia menunduk, melihat layar. Oma Aini.
“Sebentar,” ucapnya pelan pada Karenin sebelum berdiri dan mengangkat telepon.
“Iya, Oma?"
"Shanaira, kamu udah ke rumah sakit belum? Oma baru ingat pesan dokter agar kamu melakukan pemeriksaan kehamilan, makanya Oma langsung telepon. Kamu harus periksa, sayang. Jangan disepelein."
“Belum, Oma. Baru tadi pagi mualnya mulai... belum sempat ke rumah sakit.”
"Aduh, kamu ini. Itu kan baru beberapa minggu, masa gak hati-hati. Kamu harus periksa. Jangan tunggu sampai parah. Kamu di mana sekarang?"
“Di apartemen Karenin,” jawabnya pelan, agak segan.
"Ya udah. Hari ini kamu periksa, ya. Biar Karenin yang antar. Dia harus tanggung jawab, ngerti? Ini cucu Oma yang kamu kandung, bukan main-main."
Shanaira menahan napas, merasa wajahnya mulai memanas.
“Iya, Oma. Nanti aku bilang ke dia.”
"Oma sayang kamu. Jaga dirimu baik-baik. Jangan keras kepala."
“Aku juga sayang Oma.”
Shanaira menyimpan ponselnya di meja setelah percakapan singkat tadi. Wajahnya terlihat sedikit tegang, tapi ia mencoba tersenyum ketika melihat Karenin menatapnya dengan alis sedikit terangkat.
“Itu Oma Aini?” tanya Karenin sambil menyuapkan potongan terakhir roti panggangnya.
Shanaira mengangguk. “Iya. Beliau nanya apakah aku sudah ke rumah sakit buat periksa kandungan.”
Karenin meletakkan garpunya dan duduk sedikit lebih tegak, sorot matanya serius. “Kalau begitu kita bisa langsung ke rumah sakit sekarang. Aku antar.”
Shanaira melirik padanya, sedikit heran. “Ngomong-ngomong… kamu nggak kerja hari ini?”
Karenin tersenyum miring. “Kerja, sih. Tapi agak siang. Aku baru masuk dapur jam sebelas. Ada orang lain yang mengelolanya. Aku hanya pekerja lepas sekaligus penjaga restoran.”
“Oh,” Shanaira mengangguk pelan. “Aku kira kamu bakal berangkat pagi-pagi. Chef itu biasanya sibuk dari subuh, kan?”
Karenin tertawa kecil. “Kalau yang punya restorannya aku, tentu terserah aku.” Ia mengedipkan mata jahil, membuat Shanaira terkekeh.
Suasana sedikit lebih ringan sekarang. Kehangatan pagi itu terasa nyata—bukan dari matahari di luar jendela, tapi dari dua orang yang mencoba membiasakan diri dalam peran baru mereka. Bukan sepasang kekasih yang jatuh cinta dari awal, tapi dua orang asing yang dipersatukan oleh kehidupan—dan kini mencoba saling memahami.
“Baiklah, aku setuju. Kalau kamu bisa menemani aku, lebih baik begitu. Mungkin lebih baik periksa sekarang daripada nanti-nanti.”
Karenin berdiri dan mengumpulkan piring-piring kotor dari meja makan, kemudian dengan gesit menaruhnya di wastafel. “Kalau begitu, ayo. Aku bereskan ini dulu.”
Shanaira membuka ponselnya dan memesan taksi online. Setelah Karenin siap keduanya keluar dari apartemen dan taksi yang dipesan Shanaira sudah tiba. Mereka masuk dan duduk di bangku belakang. Shanaira memandang ke luar jendela, mencoba menenangkan diri, sementara Karenin duduk di sampingnya, tetap memperhatikannya.
“Apakah kamu merasa mual?” tanya Karenin, suaranya lembut.
Shanaira menggelengkan kepala pelan. "Sedikit, tapi aku masih bisa menanggungnya.”
“Tidak perlu berterima kasih. Aku ada di sini karena aku ingin memastikan kamu baik-baik saja,” jawab Karenin, matanya tetap menatap Shanaira dengan penuh perhatian.
Di sepanjang perjalanan, Shanaira terdiam, hanya sesekali melemparkan pandangan ke luar jendela taksi yang melaju menuju rumah sakit. Suasana di dalam taksi terasa tenang, meskipun ada kecemasan yang menggelayuti pikiran Shanaira.
Begitu mereka tiba di rumah sakit, Karenin membayar taksi dan membantu Shanaira turun.
shanaria biar ketemu bapak dari adek bayi yang ada diperutnya 😌
baca pelan2 ya sambil rebahan 🤭
salam kenal dari 'aku akan mencintaimu suamiku,' jangan lupa mampir 🤗
jangan lupa mampir jg di Menaklukan hati mertua mksh