Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.
Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.
“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”
Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.
Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?
Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.
Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
yang tak pernah penuh
Segala urusan kantor rampung satu per satu. Namun Bunga terlihat payah, wajahnya lesu, sorot matanya letih. Malam sudah turun, namun pikirannya masih berkecamuk tentang hidup yang terasa makin tak berpijak.
Saat hendak pulang ke apartemen, sebuah pesan singkat masuk.
“Bunga, masuk ke mobil saya.”
Hanya itu. Tapi cukup untuk membuat bibir Bunga melengkung kecil. Sebuah senyuman tipis, seperti cahaya samar di langit mendung.
Sesaat kemudian, suara pintu mobil terdengar.
Blukk.
Bunga masuk dan duduk. Ia diam, membetulkan letak rambutnya yang tergerai, melipat tangan di pangkuan.
“Kamu cerita soal proyek dan masalah kantor ke ayahmu?” Suara Rendi memecah hening. Tenang, namun ada nada kecewa yang tersembunyi di dalamnya. Bunga terdiam. Menunduk.
“Ya Tuhan…” Rendi menggeleng, memukul setir dengan kepalan tangannya lalu tertunduk di atasnya. “Bener-bener ya kamu.”
Sunyi.
“Keluar sekarang,” bisiknya, tanpa menatap Bunga. Suaranya pelan, namun tegas.
Bunga turun, merasa bersalah. Namun tak ada lagi yang bisa dikatakan.
Mobil Rendi perlahan menjauh. Tapi sebelum berbelok keluar dari parkiran, ia menyadari sesuatu. Bunga tak terlihat lagi di spion. Panik menyergapnya.
Ia mundurkan mobil. Langkahnya terburu-buru. Di sana, di bawah sinar lampu parkiran, tubuh Bunga tergeletak lemah.
“Bunga!” Ia berlari, menggendong tubuh Bunga tanpa pikir panjang.
“Sekali ini saja… biar aku yang mengurus semuanya…”
gumamnya pelan, hampir seperti doa. Lalu ia membawa Bunga pulang ke apartemen.
****************
Di dalam kamar, Bunga terbaring dengan suhu tinggi. Rendi menempelkan kompres di dahinya, menyuapkan obat, lalu duduk menunggui di samping tempat tidur.
Pukul 21.00, Bunga masih terlelap. Rendi hanya menghela napas dan mengetik pesan pendek ke Alisya.
“Aku pulang terlambat.”
Beberapa menit berlalu.
Bunga bergerak pelan. Ia membuka mata, berusaha bangkit. Kakinya melangkah menuju ruang tengah, di mana Rendi masih duduk.
“Makasih… Pak.” Suara Bunga lirih, hampir tak terdengar. Ia ikut duduk di sampingnya.
“Sudah mendingan?” Rendi bertanya. Suaranya canggung.
Bunga mengangguk perlahan. Tatapannya tak fokus. Jari-jarinya sibuk memainkan kuku panjangnya yang rapi.
Rendi melihat jam. Hatinya gelisah.
“Lebih baik aku pulang dulu.”
Namun sebelum ia bangkit, tangan Bunga menahan pergelangan tangannya.
“Tunggu…”
Rendi menoleh.
“Bisakah… untuk malam ini saja… temani aku?”
Ia menatapnya, mata basah. “Sebagai suami… dan aku ingin menagih hakku, sebagai istri.”
Rendi terdiam. Nafasnya tercekat. Bunga menunduk.
“Setelah ini, kita bisa berpisah secara resmi. Tapi malam ini, izinkan aku merasakan bahwa aku pernah menjadi istrimu.”
Ia bangkit, mematikan lampu, berjalan pelan ke arah kamar. Rendi masih duduk, tercenung.
“Kamu pikir aku laki-laki macam apa?!” Bentaknya, tiba-tiba bangkit dan menghampiri Bunga.
Gadis itu menoleh. Rambutnya terikat rapi, lehernya jenjang, wajahnya tenang meski ada ketakutan di baliknya.
“Biarkan aku yang memutuskan, Bunga.”
Rendi mendekat. Lalu, ciuman itu jatuh.
Bukan sekadar ciuman—tapi pelampiasan dari rindu, sakit hati, pengkhianatan, dan rasa bersalah yang menumpuk selama dua bulan.
Bunga memejamkan mata. Tangannya meraba pipi Rendi, menuntunnya lebih dalam.
“Rendi…” bisik Bunga di sela napas yang mulai memburu.
“Aku takut kamu pergi…
jawab Rendi jujur, “tapi malam ini… aku di sini.”
Ciuman turun ke leher, ke bahu. Jemari Bunga membuka satu per satu kancing kemeja Rendi, tubuh mereka saling menempel, saling mencari hangat.
“Aku masih ingat… malam di Jogja…”lirih Bunga
Tubuh mereka berpadu, bercinta dalam sunyi. Tak ada jeritan keras, hanya desah rindu yang tertahan dan napas yang teratur kemudian pecah tak beraturan.
**“Rendi…”
**“Iya…”
**“Jangan kasar… pelan aja…”
“Aku nggak akan nyakitin kamu.”
Tangannya menggenggam tangan Bunga, erat. Gerakannya pelan, namun dalam. Bunga memejamkan mata, menahan geletar.
“Aku bahagia malam ini…” bisik Bunga di sela nafas yang tersengal.
“Aku ? … meskipun aku benci harus bahagia dengan cara seperti ini.”
Tiga kali mereka menyatu. Tiga kali mereka jatuh dalam gelombang yang sama.
Pukul 02.00 dini hari, napas keduanya berat. Keringat menetes, tubuh Bunga tertutup selimut, sementara Rendi berdiri di depan cermin kamar mandi.
“Bunga... Alisya... Rasya…” lirihnya sambil menatap wajah sendiri.
“Gadis polos ini…Bunga ”Gumam Rendi
“Istriku…”
“Anakku…”
Ia kembali ke kamar. Melihat Bunga tertidur. Selimut hanya menutup separuh tubuhnya. Rendi mendekat, mencoba menutupi bagian atas tubuhnya, tapi sentuhan jemarinya membuat dada Bunga kembali menjadi kenangan yang basah.
“Ishh…”
desah lirih itu membuat Bunga membuka mata. Ia menarik tangan Rendi.
“Temani aku lagi, malam ini…” bisik Bunga pelan.
Rendi menurut. Mereka kembali tidur berdampingan. Tubuh Bunga merapat. Tangan Rendi merangkulnya. Dan untuk pertama kalinya dalam dua bulan, tak ada jarak. Hanya kebisuan yang menggantung.
“Entah kenapa, malam ini aku luluh di peluknya.” ucap Rendi, dalam hati.
Dan malam itu, dunia mereka berhenti sebentar—untuk sebuah cinta yang seharusnya tak pernah tumbuh.
****************
Pukul 05.30 Matahari baru menggeliat di balik jendela. Rendi membuka mata dan mendapati Bunga masih tertidur pulas di sampingnya. Selimut melilit tubuh mereka, dingin AC masih menusuk kulit, tapi rasa bersalah lebih membekukan dadanya.
Perlahan, ia bangkit dari tempat tidur. Mengenakan kembali bajunya dengan pelan, seolah setiap gerakan harus ia timbang dua kali agar tak membangunkan perempuan yang kini tak sekadar rekan kerja—tapi juga istri. Istri yang hatinya pernah menunggu, dan semalam ia penuhi. Tapi bukan dengan cinta. Hanya dengan kehangatan yang ia cari sebagai pelarian.
"Aku harus pulang. Aku harus lihat Alisya dan Rasya..." gumam nya .
----------------
Di rumah, suara sendok dan piring beradu menyambut Rendi. Wangi teh manis menyebar dari dapur. Rasya duduk di kursi, menggambar dinosaurus dengan penuh konsentrasi.
“Ayah!” seru Rasya gembira, langsung memeluk Rendi.
Alisya muncul dari dapur, masih dengan daster biru yang biasa ia kenakan setiap pagi. Rambutnya disanggul seadanya, senyum lembutnya tak pernah berubah.
“Kok bisa pulang pagi-pagi begini? Aku kira kamu langsung ke kantor.”
Rendi menarik napas pelan.“ Sayang kamu tau kan Aku tidur di rumah ayah semalam.”Lirihnya.
“Tiba-tiba kangen... pengin istirahat di sana.”
Alisya menatapnya sejenak, lalu tersenyum.
“Ah ya aku tahu sayang kamu udah bilang kan semalam , sesekali memang perlu. Apalagi kamu jarang banget ke sana.”
Rendi menunduk. Alisya kembali ke dapur, menuangkan teh ke cangkir, dan meletakkannya di meja.
“Kamu sempat ngobrol sama Ayah? Gimana kabarnya?” Tanya Alisya .
“Baik... masih banyak tanya tentang Rasya.” Rendi tersenyum kecil, meski di dalam dadanya kalimat itu berduri. Ia belum pernah merasa segelisah ini atas sebuah kebohongan.
Alisya mendekat dan mengusap lengan Rendi.
“Kamu nggak harus jelasin apa pun, Ren. Aku tahu, kamu pasti punya alasan kalau tiba-tiba pergi. Tapi selama kamu pulang dan ada di sini... aku cukup.”
Rendi menatap wajah Alisya. Senyumnya. Ketulusannya.
Ia ingin bicara. Ingin jujur. Tapi ia belum siap merusak apa pun pagi ini.
"Maaf... aku belum cukup kuat ," bisiknya dalam hati.
****************
Pukul 06.30 Mereka duduk di teras, menyaksikan Rasya bermain sambil menyeruput teh.
Langit pagi mulai membiru. Hati Rendi masih gelap.
“Nanti kamu langsung ke kantor?” tanya Alisya lembut.
“Iya. Jam delapan.” Jawab Rendi sambil tersenyum Alisya mengangguk.
“Kalau kamu merasa lelah, jangan lupa—pulang. Rumah ini nggak akan ke mana-mana.” Ucap Alisya lembut sambil mengelus tangan Rendi
Rendi terdiam. Matanya berkaca-kaca.Satu sisi hatinya ingin menangis Sisi lainnya masih berbohong.