Ratusan tahun lalu, umat manusia hampir punah dalam peperangan dahsyat melawan makhluk asing yang disebut Invader—penghancur dunia yang datang dari langit dengan satu tujuan: merebut Bumi.
Dalam kegelapan itu, lahirlah para High Human, manusia terpilih yang diinkarnasi oleh para dewa, diberikan kekuatan luar biasa untuk melawan ancaman tersebut. Namun kekuatan itu bukan tanpa risiko, dan perang abadi itu terus bergulir di balik bayang-bayang sejarah.
Kini, saat dunia kembali terancam, legenda lama itu mulai terbangun. Para High Human muncul kembali, membawa rahasia dan kekuatan yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan segalanya.
Apakah manusia siap menghadapi ancaman yang akan datang kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyukasho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 13 Remake: Canggung
Langit di atas desa Zeen tampak suram. Awan kelabu menggantung rendah, menghapus warna biru yang biasa menghiasi pagi. Aroma embun dan tanah lembap menyelimuti udara—bekas hujan semalam masih terasa pada rumput yang belum sepenuhnya kering. Di tengah jalan berbatu yang mengarah ke jantung desa, dua sosok berjalan perlahan, berbalut jubah perjalanan yang kusam dan sedikit robek karena pertempuran.
Sho Noerant dan Aria Pixis—keduanya kini High Human, pembawa harapan bagi umat manusia—terlihat tak jauh berbeda dari petualang biasa yang baru pulang dari misi berat. Tubuh lelah, rambut berantakan, dan langkah gontai.
Namun ada satu hal mencolok dari mereka: sebuah tas yang tergantung di punggung Sho, terbuat dari jalinan akar dan dedaunan hijau yang saling mengikat—ciptaan Sho itu sendiri meskipun harus di bimbing oleh Persephone. Di dalamnya tersembunyi sesuatu yang tak biasa: kepala seorang Invader tingkat menengah, bekas pertarungan hidup dan mati yang mereka menangkan bersama.
"Akhirnya," gumam Sho, suaranya setengah nafas. "Desa Zeen. Lihat itu, penginapan... Toko roti... Bahkan aroma roti nya tercium sampai kesini..."
Aria mengangkat kepalanya, menatap papan nama penginapan yang bergoyang pelan tertiup angin. Ia mengedip pelan, lalu membiarkan tubuhnya jatuh ke bangku kayu yang berada di teras depan.
"Rasanya... Ingin rebahan saja sekarang lalu tidur seharian," keluhnya.
Sho ikut duduk di sampingnya. Ia meraih kantong pinggang di balik jubahnya, ingin mengambil beberapa koin untuk membayar penginapan.
Lalu diam.
Matanya melebar sedikit. Ia membuka kantong itu lebih lebar. Lalu memeriksa saku jubah. Lalu satu lagi.
Kosong.
"...Aria," katanya pelan, menoleh. "Kau... Bawa uang, kan?"
Aria yang tengah memijat lehernya, membuka tas kecil di pinggangnya tanpa berpikir panjang. Ia menyusuri isinya, lalu diam.
"...Kupikir kamu yang bawa," jawabnya, nada suaranya mulai terdengar kaku.
"Tapi kan waktu itu kau bilang, ‘Tenang, kita langsung ke desa Zeen saja,’ jadi aku pikir... ya, kau sudah menyiapkan logistik."
Aria menatap Sho. Sho menatap Aria.
Sunyi.
Mereka saling menatap selama tiga detik penuh... lalu:
“ASTAGA!”
Suara keduanya tumpang tindih.
Beberapa warga desa yang melintas memandangi mereka heran.
Tak ada yang bicara beberapa saat. Lalu perlahan, sebuah tawa lirih keluar dari tenggorokan Aria.
“Hahaha... Ini gila.”
Sho ikut tertawa. Tertawa yang tidak sepenuhnya bahagia. Lebih mirip seperti... Tawa keputusasaan.
“Tidak ada uang. Sama sekali. Kita baru selamat dari pertempuran hidup dan mati... Dan sekarang dikalahkan oleh ekonomi.”
Aria mengangguk-angguk setuju, masih tertawa kecil. “Lucu sekali nasib kita ya...”
Sho membenamkan wajahnya ke tangan. "Persephone... Ampuni kelalaianku."
"Kalau Apollo dengar aku lupa bawa uang, dia pasti bilang aku cocok jadi pengembara bukan petualang," sahut Aria.
Tawa mereka kembali pecah. Kali ini tanpa tenaga.
Lalu... Sho mengangkat tas akar dari punggungnya dan meletakkannya di pangkuan.
Ia membuka sedikit simpul dedaunan di bagian atas. Kepala Invader yang mereka simpan muncul sedikit ke permukaan, sudah tak bernyawa, dengan luka di leher yang dalam dan membusuk di beberapa sisi. Wajah mengerikannya kini tak lebih dari trofi diam.
Keduanya menatap kepala itu. Sunyi.
Lalu perlahan, mereka menangguk bersamaan.
Tanpa satu pun kata keluar dari mulut mereka, mereka tahu persis isi pikiran satu sama lain:
“Kita bawa ini ke Guild.”
Sho menghela napas pelan, lalu berdiri dan mengangkat tas itu kembali ke punggungnya.
"Yah," katanya, "seharusnya... kepala Invader ini cukup mahal, kan?"
Aria berdiri, membersihkan bagian belakang celananya dari debu bangku. “Kalau tidak cukup buat sewa kamar dan beli roti, aku akan meledakkan meja resepsionis.”
Sho menyeringai. “Kau pasti lelah ya?”
“Haruskah kau menanyakan sesuatu yang sudah jelas jawabannya?”
Keduanya berjalan menyusuri jalan utama desa Zeen, menuju bangunan Guild Petualang cabang kecil yang terlihat di kejauhan.
Langkah kaki mereka berat... tapi penuh tekad.
---
Pintu Guild Petualang Cabang Zeen berderit pelan saat Sho mendorongnya terbuka. Hembusan angin lembap dari dalam langsung menyambut mereka—penuh bau alkohol, asap tembakau, dan kayu tua yang lapuk.
Di dalam, ruangan utama Guild dipenuhi hiruk pikuk suara gelas beradu, sorak tawa keras, dan nyanyian sumbang para petualang mabuk. Dindingnya penuh tempelan misi, sebagian terlihat lusuh dan nyaris sobek, tertutup bercak darah lama dan sidik tangan berkarat.
Aria menatap sekeliling dengan dahi mengernyit. “Ini... tempat paling kotor yang pernah aku lihat.”
“Aku setuju,” balas Sho pelan.
Saat mereka melangkah masuk, sejumlah mata langsung tertuju ke arah mereka. Dua remaja berdebu, lusuh, dan tampak kelelahan. Beberapa petualang berbisik sambil menyipitkan mata, seolah mencoba menebak apakah mereka tersesat... Atau mencari masalah.
Tak butuh waktu lama sebelum seseorang berdiri menghadang mereka. Seorang pria tinggi besar dengan rompi kulit, wajah penuh bekas luka, dan bau alkohol yang menyengat menatap mereka dengan sinis. Ia adalah penjaga resepsionis Guild—dan tampaknya sudah terlalu sering menghadapi orang-orang aneh.
“Hei, ini bukan tempat untuk anak-anak. Kalian tersesat ya?” gumamnya sambil menyilangkan tangan.
Sho hendak menjawab, tapi Aria lebih dulu maju satu langkah. “Kami tidak tersesat. Kami ingin mendaftar.”
Petualang di sekitar mulai bersiul dan tertawa mendengar pernyataan itu. Seorang pria bertopi bulu berteriak, “Hoo, bocah-bocah desa mau jadi pahlawan!”
Aria menahan nafas. “Kami berdua baru saja mengalahkan seekor Invader. Di luar kota ini. Sendirian!”
Tawa meledak lebih keras.
“HAH?!”
“Kau mendengarnya? Mereka mengalahlan Invader! Dua bocah!”
Penjaga Guild bahkan tertawa terbahak. “Kau seharusnya jadi pendongeng saja, bukan petualang.”
Wajah Aria mulai memerah, antara kesal dan tersinggung. Ia hendak membuka mulut lagi, tapi—
Sebuah tangan menepuk bahunya. Sho, dengan ekspresi tenang, melangkah ke depan. Ia tak berkata sepatah kata pun.
Dengan gerakan halus, ia membuka telapak tangannya.
Tas akar yang sejak tadi tergantung di pinggangnya luruh ke lantai, hancur menjadi daun dan tanah. Dan dari sela-sela itu—
Sebuah kepala terhempas ke lantai Guild.
Seketika, ruangan terdiam. Kepala Invader itu, abu-abu keunguan dengan kulit keras seperti batu pecah, tampak jelas tak bernyawa. Lehernya sobek bersih, dan bekas tusukan logam menghiasi pelipis kirinya.
Kristal deteksi yang tergantung di langit-langit Guild bereaksi seketika, memancarkan cahaya biru redup—dan berdenyut cepat.
“Invader terdeteksi,” gumam seseorang lirih.
Semua mata kini terfokus. Bukan lagi pada tawa, bukan cemoohan. Tapi keterkejutan. Sebagian mulut terbuka, sebagian lainnya diam membeku.
Lalu...
Tepuk tangan.
Pelan. Berat.
Dari lantai atas Guild, seorang pria turun melalui tangga kayu yang sedikit berderit. Ia tampak berusia sekitar empat puluhan, dengan rambut abu-abu yang disisir rapi ke belakang, janggut tipis, dan mantel hijau tua khas petinggi Guild. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya mengamati tajam seperti burung pemangsa.
Ia menatap kepala Invader itu lama... lalu menatap Sho, lalu Aria.
“Jadi kau ya...” katanya, perlahan. “Seseorang yang diakui Kean.”
Suasana semakin hening. Beberapa petualang tampak saling melirik, tidak memahami sepenuhnya makna ucapan pria itu—tapi jelas, kalimat itu bukan ditujukan sembarangan.
Pria itu melangkah turun, menyentuh kepala Invader dengan jari telunjuknya sejenak, lalu berbalik. “Kalian. Ikut aku.”
Sho dan Aria saling pandang sejenak. Sho hanya mengangguk pelan.
Mereka berdua mengikuti pria itu menaiki tangga, meninggalkan ruang utama yang kini sunyi dan penuh tatapan penasaran. Petualang yang tadi menertawakan mereka, kini hanya bisa diam membisu, beberapa bahkan tampak cemas.
Setelah mereka sampai di lantai dua, pria itu mendorong pintu kayu besar dengan emblem Guild terukir di tengahnya. Di baliknya adalah ruangan luas bergaya klasik, dengan jendela tinggi menghadap kota Zeen, rak buku, peta besar wilayah kerajaan, serta sebuah meja kayu ek tebal.
Ia mempersilakan mereka duduk.
“Aku Sandels. Guildmaster cabang ini,” ujarnya datar.
Tanpa senyum, tanpa basa-basi.
“Tapi sebelum kita mulai... Aku ingin mendengar cerita kalian. Versi lengkapnya. Dari awal.”
---
“Begitu... Jadi kau anak dari keluarga pemilik toko bunga, dan kau—” Sandels menatap Aria, matanya tak berkedip, “—adalah anak dari seorang pemburu dari Rivera. Dan kalian berdua... Adalah High Human.”
Suara denting jam tua di pojok ruangan berdetak lambat, menandai senyapnya suasana. Sandels menyandarkan tubuh ke kursinya, memejamkan mata sejenak.
Sho dan Aria sudah menceritakan semuanya. Dari kedatangan mereka ke Zeen, serangan Invader, kekuatan yang bangkit dalam keputusasaan... Hingga momen saat dewa dan dewi mereka mengukuhkan mereka sebagai inkarnasi.
Tak ada kebohongan. Tak ada yang mereka sembunyikan.
Dan Sandels... Hanya duduk mendengarkan. Tak sekali pun ia memotong, hanya menatap dalam diam, membaca setiap perubahan raut wajah mereka berdua seperti seorang jenderal membaca peta perang.
Setelah keheningan yang terasa seperti menit-menit panjang, Sandels membuka laci meja dan mengambil sebuah kantong kain kecil. Ia melemparkannya ke atas meja, suara logam berdenting nyaring di dalamnya.
Cekling.
“Lima koin emas,” ucap Sandels pendek. “Anggap saja... Uang transportasi dan pengganti makan kalian yang kelewat menyedihkan.”
Aria terperanjat. “L-Lima...?!”
Satu koin emas setara dengan seratus koin perak. Dan seribu koin perunggu.
Untuk orang biasa, lima koin emas bisa mencukupi hidup nyaman selama berbulan-bulan.
“Tapi aku tak memberi ini sebagai hadiah,” lanjut Sandels dengan suara berat. “Ini adalah awal. Besok pagi, kembali ke sini. Ada banyak hal yang harus kita bicarakan lebih jauh, dan mungkin... Sesuatu yang lebih besar dari yang kalian duga.”
Sho menunduk hormat. “Terima kasih.”
“Pergilah sekarang. Istirahat yang cukup.”
Mereka berdua pun pamit. Saat menuruni tangga Guild, sorot mata para petualang masih mengikuti mereka. Namun kali ini... Bukan lagi penuh tawa. Tapi waspada, penasaran, dan hormat yang diam-diam muncul.
Begitu keluar dari gedung Guild, Aria menghela napas keras dan panjang.
“Haaah... Akhirnya.” Ia meregangkan tangan. “Kenapa aku merasa... Pria tua itu lebih menakutkan dari Invader?”
Sho menoleh padanya, tersenyum samar. “Rasanya aku bisa dimarahi kapan saja kalau ketahuan berbohong.”
“Atmosfernya berat! Serius... Rasanya dadaku sesak sejak tadi.”
Mereka berdua tertawa kecil, untuk pertama kalinya sejak tiba di kota ini, akhirnya merasakan sedikit kelegaan. Dengan uang yang mereka dapatkan, mencari penginapan menjadi prioritas utama. Tubuh mereka butuh istirahat, dan kaki mereka sudah nyaris lepas.
Namun...
“Kami penuh.”
“Maaf, tidak ada kamar kosong.”
“Sudah dipesan semua, dua hari ke depan.”
Dari satu penginapan ke penginapan lainnya, jawabannya selalu sama.
Hingga malam menjelang, dan hanya ada satu tempat tersisa—sebuah penginapan kecil bernama “Burung Merah”, terletak di dekat pusat pasar malam Zeen.
“Kami masih punya satu kamar,” kata pemilik penginapan, seorang wanita paruh baya yang ramah. “Tapi ya... hanya satu kamar. Dan satu kasur besar.”
Sho menoleh pada Aria. Aria menatap Sho. Keduanya membeku sesaat.
“...Kami ambil,” jawab Aria cepat sebelum Sho bisa menolak.
Beberapa menit kemudian, mereka sudah berada di kamar itu.
Kamar tersebut cukup nyaman, dengan lampu minyak yang hangat, kasur bersih, dan jendela yang menghadap ke arah pasar malam.
---
Penginapan kecil “Burung Merah” tampak hangat dari luar, kontras dengan langit mendung malam itu. Cahaya remang lampu minyak dari jendela-jendela kayu berkelap-kelip tertiup angin lembut. Meskipun mereka kelelahan, Sho dan Aria justru mendapati jantung mereka berdetak lebih kencang dari sebelumnya.
Satu kamar.
Satu kasur.
Begitu pintu tertutup, keduanya berdiri canggung di tengah ruangan tanpa sepatah kata pun.
Suasana begitu hening.
Hanya suara angin yang menggerakkan tirai jendela, dan detak jam tua di dinding yang terus berdetak pelan.
Sho melirik sekilas ke arah Aria. Aria juga melakukan hal yang sama.
Mata mereka bertemu sejenak, lalu buru-buru mengalihkan pandangan masing-masing.
Tak ada yang bicara.
Tak ada yang tahu harus berkata apa.
Dan di tengah keheningan itu...
“Hoho... Lihat siapa yang gugup seperti bunga musim semi yang hendak mekar...”
Persephone, suara lembut sang Dewi, menggema manja dalam pikiran Sho.
“Satu kasur untuk dua. Ah, masa remaja memang waktu yang penuh kemungkinan, ya, Sho?”
Sho memejamkan mata, menarik napas panjang dan berbisik, “Tolong, jangan mulai...”
“Mengapa tidak?” bisik Persephone dengan nada centil. “Aku tahu kau tak akan berani menyentuhnya. Tapi aku juga tahu... kau ingin tetap dekat.”
Sementara itu, di sisi lain ruangan...
“Oho? Kau yang biasanya ceria, sekarang malah diam mematung.”
Apollo tertawa kecil dalam kepala Aria.
“Kenapa? Karena dia ada di kamar yang sama? Atau... Karena kau baru sadar dia pria yang manis kalau sedang gugup?”
Aria mengepalkan jari, wajahnya panas, lalu berbisik, “bisakah kau diam...”
“Tidak bisa,” jawab Apollo santai. “Karena ini lebih seru dari menonton matahari terbit di Olympus.”
Dan begitulah...
Satu jam berlalu.
Tanpa pembicaraan.
Tanpa gerakan.
Hanya dua remaja duduk di pinggir kasur yang sama, dalam hening yang terlalu padat untuk dihirup. Sekali waktu mereka mencuri pandang, tapi segera berpaling lagi.
Sampai akhirnya...
Sho bangkit perlahan, mengambil bantal dan sebuah gulungan kain dari tasnya.
“Aku tidur di lantai saja,” ucapnya pelan, berusaha terdengar tenang.
Namun sebelum ia benar-benar turun dari ranjang...
“Tunggu.” Suara Aria terdengar lembut, hampir seperti gumaman tertahan.
Sho menoleh. Aria menatapnya, kali ini tanpa menghindari pandangan.
“Kau pasti lelah,” katanya. “Tidurlah di sini saja... Aku nggak keberatan. Lagipula, kita cuma tidur, kan?”
Sho terpaku.
“Y-Ya,” jawabnya akhirnya. Ia kembali duduk perlahan di tepi kasur, lalu berbaring memunggungi Aria.
Aria juga ikut berbaring, membelakangi Sho.
Jarak mereka ada... Tapi tak cukup jauh.
Suasana tetap hening. Tapi hening yang berbeda. Tak lagi canggung, lebih seperti... Nyaman.
Dan saat perlahan kelopak mata keduanya mulai tertutup oleh lelah yang tak terbendung, tanpa sadar...
Tangan Sho bergerak.
Dan tangan Aria... Menjawabnya.
Jari-jari mereka saling menemukan, saling menggenggam ringan. Tak erat, tapi juga tak lepas.
Persephone tertawa pelan.
“Oh, lucunya mereka.”
Apollo ikut berseru,
“Lihat mereka... Seperti dua bayi burung di sarang. Ini akan jadi kenangan yang manis.”
Tapi Sho dan Aria tak mendengarnya lagi.
Dalam satu kasur, satu malam, dan satu genggaman tangan...
Mereka tertidur nyenyak.
Tanpa kata-kata.
Tanpa janji.
Tanpa kebingungan.
Hanya rasa hangat... Bahwa mereka tidak lagi sendiri.
semogaa hp nya author bisa sehat kembali, dan semoga di lancarkan kuliahnya, sehat sehat yaa author kesayangan kuu/Kiss//Kiss/