NovelToon NovelToon
Manuver Cinta

Manuver Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Balas Dendam / CEO / Dark Romance
Popularitas:531
Nilai: 5
Nama Author: _Luvv

Pernikahan tanpa Cinta?

Pernikahan hanyalah strategi, dendam menjadi alasan, cinta datang tanpa di undang. Dalam permainan yang rumit dan siapa yang sebenernya terjebak?

Cinta yang menyelinap di antara luka, apakah mereka masih bisa membedakan antara strategi, luka, dendam dan perasaan yang tulus?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon _Luvv, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 11

Diandra mengerjapkan mata perlahan. Ada sesuatu yang mengusik lelapnya, bukan suara atau cahaya, tapi... sentuhan lembut di kepalanya.

Ia mengernyit. Kelopak matanya masih berat, begitu matanya terbuka penuh, bayangan itu menjadi nyata.

Wajah Lingga.

Terlalu dekat. Terlalu tenang.

Tatapannya menancap dalam, nyaris tanpa ekspresi, tapi justru karena itu rasanya jauh lebih mengganggu. Jemarinya masih melilit di helai rambut Diandra, seolah tadi sedang bermain-main tanpa izin.

“Sudah bangun?” tanyanya datar, seolah tak merasa bersalah sama sekali.

Refleks, Diandra bangkit. Tubuhnya masih sedikit lelah, tapi kepalanya langsung siaga penuh.

“Lo ngapain di sini?” tanya Diandra curiga, baru menyadari dirinya tertidur di ruangannya sendiri… dengan kepala bersandar di pangkuan pria itu.

“Ketemu kamu,” jawab Lingga santai, seperti tak ada yang aneh dari situasi ini.

Diandra buru-buru duduk tegak, merapikan rambut dan bajunya yang kusut. Semalam memang panjang dan melelahkan. Lelah fisik, juga emosional.

Begitu menoleh, matanya langsung menangkap sorot mata Lingga yang belum berhenti memperhatikannya. Tatapan itu membuatnya naik pitam.

“Apa lo liat-liat, hah?” semprotnya sewot, menepis rasa malu yang diam-diam menyelinap.

Alih-alih tersinggung, Lingga malah tertawa pelan. Ringan, tapi entah kenapa terdengar menyebalkan di telinga Diandra. Ia menatap pria itu tajam, masih mencoba memahami alasan sebenarnya Lingga menungguinya tidur… dan tidak membangunkannya.

“Sudah tidak ada jadwal, kan?” tanya Lingga santai. “Mau saya antar pulang, atau—”

“Nggak usah. Gue bisa pulang sendiri,” potong Diandra cepat, lalu bangkit dan meraih tasnya.

Namun langkahnya terhenti saat Lingga berkata dengan nada lebih serius,

“Kita makan dulu. Setelah itu saya antar kamu pulang.”

Diandra menoleh cepat. Wajahnya menunjukkan ekspresi tak sabar. “Mau lo apa sih, sebenernya?”

Lingga menatapnya lurus, kali ini tanpa senyum, tanpa basa-basi. “Ada yang perlu dibicarakan. Kamu belum lupa soal rencana pernikahan kita, kan?”

Diandra menghela napas panjang. Matanya terpejam sesaat. Kenyataan itu seperti pintu yang terus ia coba tutup rapat, tapi Lingga selalu tahu cara membukanya lagi.

“Diandra Elene Maris.” Suara Lingga terdengar lebih dalam, nyaris memaksa.

Ia mendecak pelan. “Oke. Mau makan di mana? Kebetulan gue juga lapar.”

“Restoran depan. Yang biasa,” jawab Lingga singkat.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Diandra melepas jas dokternya, lalu mengambil masker dari laci. Refleks yang muncul bukan karena pandemi atau kesehatan, tapi karena menjaga jarak dari sorotan.

“Kenapa pakai masker?” tanya Lingga heran.

“Banyak debu di luar,” jawabnya datar, tanpa menoleh.

Lingga hanya tersenyum tipis, membiarkannya melangkah lebih dulu. Tatapannya mengikuti punggung ramping Diandra yang melangkah cepat, waspada, seolah takut semua mata memperhatikannya. Meski tubuhnya berjalan menjauh, Lingga tahu... jarak antara mereka justru belum pernah benar-benar dekat.

---

Mereka duduk di restoran seberang rumah sakit. Begitu duduk, Diandra langsung membuka maskernya dan menghela napas lega.

“Mau makan apa?” tanya Lingga sambil membuka menu.

“Apa aja deh.”

Lingga memesan beberapa hidangan andalan. Sementara itu, Diandra mencuri pandang, menganalisis ekspresi pria di depannya.

“Cowok seperti dia ini... Punya kuasa, uang, wajah. Udah pasti bisa mainin perempuan. Dan gue? Target selanjutnya? Tapi enggak. Itu gak akan terjadi.” batinnya

“Kenapa?” tanya Lingga, menyadari perubahan ekspresinya.

“Nggak ada apa-apa.”

Keheningan menyergap. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, sampai makanan tiba.

“Saya ingin pernikahan kita diadakan bulan ini.”

Diandra hampir tersedak.

“Secepat itu?”

“Semuanya saya yang urus.”

“Lo sadar nggak sih, kita ini baru ketemu beberapa kali. Dan lo udah yakin mau nikah sama gue?”

Lingga menatapnya tanpa ragu. “Saya sudah tau kamu sejak lama, Diandra. Nggak ada alasan untuk nggak yakin.”

Diandra mengembuskan napas dalam. “Orang tua kita itu musuhan, Lingga. Dan gimana kalau gue tiba-tiba nusuk lo dari belakang?”

Lingga tersenyum tipis. “Dan saya juga bisa menggunakan kamu untuk tujuan saya.”

“Jadi ini sebenernya tujuan lo? Nikah biar bisa manfaatin gue?”

“Bukankah kamu juga sudah membuat surat perjanjian?” potong Lingga santai.

Diandra terdiam. Ya, dia memang membuat surat itu seminggu lalu. Isinya penuh syarat yang menguntungkan dirinya. Lingga tidak bisa mencampuri banyak hal. Tapi satu hal yang tak bisa ia kendalikan... urusan rumah tangga, sepenuhnya hak Lingga.

“Saya nggak akan jadikan pernikahan kita alat bisnis, Diandra. Saya hanya ingin kamu jadi istri saya. Dan... ibu dari anak saya.”

Kalimat itu membuat napas Diandra tercekat.

“Gue masih kejar spesialis. Gue nggak mau hamil.”

“Saya tau. Dan saya udah setuju soal itu, kan?”

Lagi-lagi Diandra terdiam. Rasanya semua rencana ini terlalu mulus. Terlalu... menguntungkan dirinya. Lingga bahkan bersedia menanggung semua biaya hidupnya, bahkan membelikannya aset pribadi.

“Lo beneran secinta itu sama gue, sampai lo mau gue manfaatin kayak gini?”

“Saya rasa membelikan aset dan membiayai pendidikan istri itu bukan bentuk pemanfaatan. Itu bentuk penghargaan, Diandra.”

“Sialan,” Diandra mengumpat dalam hati. Ia tak bisa membantah.

“Lo cinta beneran sama gue?” tanyanya akhirnya, lebih lirih dari sebelumnya.

Lingga menatapnya dalam. Lama. “Seharusnya kamu udah tau jawabannya, Diandra.”

“Dan janji lo buat bantu perusahaan Hadinata?” tanya Diandra dengan nada menguji. Sorot matanya menajam, mencoba membaca wajah tenang pria di hadapannya.

Lingga tetap tenang, bahkan terlalu tenang. “Kalau kita sudah menikah, semua janji saya akan saya tepati.”

Diandra menyipitkan mata, mencium sesuatu yang tidak biasa. “Lo nggak akan bohong, kan?”

Lingga menautkan jemari, lalu menjawab tanpa ragu, “Kamu pegang surat perjanjian itu, Diandra. Kalau saya bohong, kamu bisa bawa saya ke pengadilan. Semua jelas dan tertulis.”

Jawaban itu logis. Rasional. Tapi justru itulah yang membuat Diandra makin curiga. Terlalu siap. Terlalu tenang.

Diandra bersandar di kursinya, matanya menatap pria di hadapannya, seolah mencari celah dari wajah datar itu. Apa dia benar-benar tulus? Atau semua ini hanya bagian dari rencana yang lebih besar?

"Kenapa seolah lo nggak takut kehilangan apa pun, Lingga? Gue bahkan bisa hancurin lo kalau lo ingkar janji,"

Lingga hanya tersenyum tipis. “Karena saya tahu apa yang saya pertaruhkan. Dan saya juga tahu siapa yang saya pilih.”

Jawaban itu terdengar logis, tapi jawaban itu justru membuat Diandra makin bingung. Ia tak bisa membaca niat pria itu sepenuhnya. Apa benar ada cinta, atau hanya kepentingan?

“Kalau benar karena cinta, kenapa rasanya semua ini kayak rencana yang udah lo susun matang-matang dari awal?” bisik Diandra dalam hati.

Ia tak berani mengucapkannya langsung. Tapi pertanyaan itu menggantung di antara mereka, karena tidak ada yang tau jawaban sebenernya.

1
Erika Solis
Duh, sakit banget hatiku. Terharu banget sama author!
Isolde
🙌 Suka banget sama buku ini, kayaknya bakal aku baca lagi deh.
Madison UwU
Gak sabar lanjut baca!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!