Seorang pemuda lulusan kedokteran Harvard university berjuang untuk menjadi seorang tentara medis. Tujuan dari ia menjadi tentara adalah untuk menebus kesalahannya pada kekasihnya karena lalai dalam menyelamatkannya. Ia adalah Haris Khrisna Ayman. Pemuda yang sangat tampan, terampil dan cerdik. Dan setelah menempuh pendidikan militer hampir 2-3 tahun, akhirnya ia berhasil menjawab sebagai komandan pasukan terdepan di Kopaska. Suatu hari, ia bertugas di salah satu daerah terpencil. Ia melihat sosok yang sangat mirip dengan pujaan hatinya. Dan dari sanalah Haris bertekad untuk bersamanya kembali.
Baca selengkapnya di sini No plagiat‼️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Fantasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Benci tapi salting
Pada suatu pagi yang cerah, semua warga kembali beraktivitas seperti biasa, termasuk Hana. Sejak ibunya sakit, dialah yang mengurus semua, mulai dari pekerjaan rumah hingga kebun. Sudah seminggu pula pria yang selalu mengganggunya tidak pernah datang lagi, bahkan sekadar untuk menjahilinya. Setelah membereskan rumah, Hana pergi ke dapur untuk memasak makanan bagi dirinya dan ibunya.
Seperti biasa, Hana hanya mengolah bahan-bahan dari kebunnya. Kebetulan, saat ia memasak, bumbu dapur sudah mulai habis. Ia berencana pergi ke pasar setelah menyuapi ibunya. Makanan sudah siap dihidangkan, Hana pun membawakan makanan tersebut kepada ibunya yang sedang berbaring di kamar.
"Mak... ayo makan dulu... habis itu minum obat."
Minarsih segera bangkit dari tidurnya. Melihat kondisi ibunya yang semakin parah membuat Hana sangat khawatir.
"Mak... kita ke Posko saja yuk... kayaknya Mak makin parah..."
Minarsih tersenyum tipis. "Gak usah, Neng... Emak di rumah saja... sebentar lagi juga sehat," ujarnya lemah.
"Tapi, Mak... sudah seminggu lho Mak sakit... ayo Mak ke Posko..."
"Iya, sayang... besok kita ke posko ya..."
Hana pun menyuapi ibunya dengan sangat telaten dan tak lupa setelah itu ia membantu ibunya meminum obat.
"Mak... aku mau ke pasar dulu ya, habis itu aku baru ke kebun..."
Minarsih menatap anaknya dengan sedih. "Maafin Mak ya, Neng... gara-gara Mak sakit jadi ngurus kebun sendirian."
Hana pun tersenyum manis pada ibunya. "Gak apa-apa, Mak... sudah tugasku sebagai anak membantu Mak... ya sudah Mak... aku pergi dulu ya."
"Iya, Neng, hati-hati."
Hana pergi ke pasar terdekat dari rumahnya untuk membeli bumbu-bumbu dapur. Di desanya, untuk membeli sayur, bumbu, dan lainnya, harus ke pasar karena di warung-warung tidak ada. Gadis itu berjalan kaki karena jaraknya dekat sekaligus berolahraga. Saat ia berjalan, banyak yang menyapa dirinya.
"Hana... pergi ke pasar, Neng?"
"Iya, Mak... duluan ya."
Setelah berjalan kurang lebih 15 menit, Hana telah sampai di pasar tersebut. Ia pun langsung menuju ke tempat langganan ibunya.
"Permisi, Wa..."
"Eh, Neng Hana... belanja, Neng?"
"Iya, Wa... tolong bungkusin bumbu-bumbu kayak biasa ya, Wa."
"Iya, Neng... ada lagi?"
"Sama ini deh... tahu 1, tempe 1, sayur ini 1, terus sama udang dan jagungnya ya, Wa."
"Oke, siap..."
Ibu penjual itu sedang menghitung jumlah belanjaan Hana.
"Totalnya 56 ribu, Neng..."
"Ini ya, Wa... makasih."
"Sama-sama... hati-hati ya, Neng."
Setelah dari pasar, ia pun segera pulang menuju rumahnya. Sesampainya di rumah, suasana memang sepi karena hanya ada Hana dan ibunya. Hana pun tanpa curiga langsung menuju dapur untuk menyimpan belanjaannya. Setelah itu, ia kembali ke kamar untuk mengecek keadaan ibunya. "Mak... aku sudah pulang... Eh—" Saat ia sudah membuka pintu kamar, ternyata Hana tidak melihat siapapun.
"Mak kemana?"
Akhirnya ia mengecek seluruh isi rumahnya untuk mengetahui keberadaan ibunya.
"Maak... Mak dimana?"
Saat ia memasuki kamarnya, ia terkejut saat melihat ibunya terbaring lemas di lantai. "Astaghfirullah!! MAKK!!!"
"MAK... BANGUN MAK!!"
Saat itu ia melihat sebuah tas dan kotak berukuran sedang di dekatnya. Tapi ia tak peduli dengan semua itu. Yang ia pikirkan adalah keadaan ibunya yang semakin memburuk. Karena ia kesulitan mencari bantuan, akhirnya ia terpaksa membawa Minarsih seorang diri untuk dikeluarkan. Setelah itu ia meletakkan tubuh ibunya di sebuah kursi. Lalu ia pun berlari untuk meminta bantuan.
"Tolong!! Bapak... Ibu... tolongin Mak saya," ujar Hana sembari terisak.
Orang sekitar pun ikut panik dan segera membantu Hana untuk membawa ibunya ke posko terdekat. Hana pun ikut bersama mereka dan tak lupa mengunci pintu rumahnya. Saat di posko, ibunya tengah diperiksa oleh seorang dokter bernama Agung. Awalnya Agung sangat terkejut ketika melihat wanita itu di depannya. Tapi, ia kembali fokus mengobati ibunya yang sakit parah. Sedangkan Hana menunggu di luar sembari menangis.
"Mak... jangan tinggalin aku," lirih Hana.
Setelah itu, Agung pun keluar untuk menemui keluarga pasien yang ia tangani. Hana yang melihatnya pun bergegas mendekatinya.
"Bagaimana keadaan ibu saya?"
Agung terdiam sejenak. Lalu ia pun kembali tersenyum. "Ibu Anda tidak apa-apa... tekanan darahnya sangat tinggi, karena ada efek syok ibu Anda jadi pingsan... tapi untuk sementara, ibu kamu tinggal di sini untuk melakukan tes lanjutan..."
"Terima kasih, dokter..."
"Eummm... kalau begitu, saya permisi dulu." Agung pun segera bergegas pergi untuk menemui Haris yang sedang ada di ruangannya.
Sedangkan Hana, ia bisa bernapas lega karena ibunya. Agung berlarian sangat kencang, dikarenakan ingin menemui Haris secepat mungkin.
BRAK!!
Haris yang sedang menulis laporan kedokterannya pun ikut terkejut saat Agung tiba-tiba datang dengan tergesa.
"Apaan sih, lu... datang-datang bukannya buka pelan-pelan."
Sementara Agung masih menetralkan napasnya.
"Tadi, gue ketemu sama Nahda."
"Apa?! Dia ada di posko?"
"Iya... awalnya gue gak percaya sama apa yang gue lihat... tapi itu benar-benar nyata... temenin dia, gih... dia lagi sedih tuh ibunya dirawat."
Dengan cepat Haris menutup laporannya tersebut. "Oke... oke... thanks, bro!" Ia pun segera keluar menemuinya. Tempo lalu, Haris sudah menceritakan semuanya tentang gadisnya itu pada Agung. Responnya hampir mirip dengan Fahri, tapi ia masih bisa mempercayai omongan temannya itu sehingga ia bisa menyaksikannya sendiri bahwa Nahda masih hidup.
Ternyata saat mereka berbincang, ada yang tengah menguping pembicaraan mereka. "Nahda masih hidup?"
Haris berlarian menuju posko yang menjadi tugas Agung saat ini. Dan setelah mendekat, ternyata benar... Hana terlihat di sana dengan wajahnya yang murung. Perlahan Haris mulai mendekatinya.
"Ekhem."
Hana yang terusik, ia pun menoleh pada sumber suara. Ternyata saat ia melihat wajah pria itu lagi, langsung ia mengalihkan pandangannya.
"Kamu masih marah sama saya?" tanya Haris lembut.
Hana pun hanya terdiam. Lalu pandangannya salah fokus pada jas dokter yang sedang Haris pakai.
"Kamu dokter? Bukannya kamu tentara?" tanyanya dengan terheran.
Haris pun tersenyum tipis. "Aku melakukan keduanya... Ibu kamu bisa sakit karena apa?"
Hana hanya menghela napas berat. "Aku tidak tahu... selama ini, Mak hanya bilang bahwa dia baik-baik saja... tapi nyatanya malah seperti ini," lirihnya.
Mereka sama-sama terdiam. Haris pun mulai duduk di samping Hana.
"Ibumu gak apa-apa... tadi temanku yang periksa dan bicarakan soal kondisi ibumu pada saya... sebentar lagi juga ibumu sadar."
"Benarkah?" ujarnya dengan mata yang berbinar.
Haris pun mengangguk. Setidaknya ia bisa memberi sedikit semangat pada gadisnya ini.
"Kamu boleh masuk kok keruangan..."
"Emang boleh ya?"
Haris terkekeh geli. "Boleh dong... ayo saya antar."
Hana pun mengangguk lalu mereka memasuki ruangan Minarsih secara bersamaan. Hana menatap sedih ke arah ibunya yang masih berbaring di kasur posko itu.
Kemudian, Minarsih pun mengerjapkan matanya dan melihat putrinya yang ditemani Haris di sampingnya.
"Mak sudah sadar!" ujar Hana sangat senang.
"Biar saya periksa dulu ya," ujar Haris mengambil alih.
Hana menyingkir saat Haris tengah memeriksa ibunya. Entah kenapa saat melihat Haris memakai jas putih dengan wajah serius membuatnya semakin tampan. Hana pun tanpa sadar terus menatap ke arahnya.
"Halo... Nona," ujar Haris sembari melambaikan tangannya di depan wajahnya. Seketika ia pun tersadar dan melihat Haris tepat di wajahnya dengan terkekeh pelan.
"Kamu kenapa lihatin saya begitu?" ujar Haris sedikit menggodanya.
Wajah Hana seketika merona dan tersipu. Karena malu, ia pun mengalihkan pandangannya. "Aku tidak melihat apapun," ujarnya masih gengsi. Tidak mungkin ia bilang bahwa Haris sangatlah tampan.
"Oh ya?"
Lalu tatapan Hana kembali tajam. "Kamu jangan mulai yah... orang aku dari tadi lihatin Mak kok," ujarnya masih tidak mau mengakui.
Haris hanya bisa menghela napas sembari mengulumkan senyumnya. Padahal ia tahu jika gadis itu berbohong. "Ya sudah... aku percaya."
Tapi tatapan Hana masih tajam mengarahnya. Lalu Hana pun menghampiri ibunya yang masih lemah.
"Mak gak apa-apa? Kataku juga dari kemarin ke posko, Mak... Maknya gak mau terus."
"Maaf ya, Neng... Mak ngerepotin kamu," lirih Minarsih.
"Gak apa-apa kok, Mak... Oh iya, Mak gak apa-apa kan sendirian? Aku mau ke kebun sebentar mau sedikit panen hasil kebun."
"Iya, sayang, boleh."
Hana pun pamit pada ibunya untuk berangkat ke kebun. Saat melewati beberapa langkah, Hana dan Haris kembali saling berpandangan. Hana terus menatap tajam ke arahnya.
"Hm." Dengan cepat ia kembali mengarahkan pandangannya itu. Lalu ia pun pergi keluar ruangan. Haris lagi-lagi terkekeh dalam hati karena sikapnya itu.
"Maafkan dia ya, Pak Haris... dia memang seperti itu," ujar Minarsih.
"Tidak apa-apa, Bu... justru ini yang saya rindukan sejak lama."
"Makasih ya, Pak, sudah mau kasih kesempatan pada saya untuk terus sama dia."
"Ibu gak perlu kayak gitu... Eh iya, kalau gitu saya pamit dulu ya, Bu... ada kerjaan lain soalnya."
"Iya, Pak, silakan."
Hana yang sudah sampai di kebunnya mulai memetik beberapa sayuran yang siap ia panen hari ini. Karena ia hanya sendirian, jadi banyak yang harus ia kerjakan.
Hampir setengah jam di sana, keringat di dahi cantiknya mulai turun ke wajah.
"Huh... ya ampun."
Saatnya Hana mengangkat semua hasil panen tersebut ke tempat yang lebih besar. Tapi karena tubuhnya sudah lelah, saat mengangkat ia hampir kehilangan keseimbangan. Tapi, ada tangan tambahan yang membantunya untuk tidak jatuh.
"Kamu jangan sok kuat... biar saya saja," ujar seseorang yang baru saja datang. Hana terperangah tak percaya saat orang itu tengah membantunya.
Siapa lagi jika bukan Haris yang melakukannya. Ia bahkan rela mengosongkan jadwalnya untuk membantu Hana di kebun. Kini, yang mengangkut panen tersebut adalah Haris sedangkan Hana hanya melihat saja. Tapi setelah itu, senyum melingkar di bibir Hana mulai nampak. "Terima kasih," ujarnya dengan tulus. Mendengar itu, Haris tiba-tiba menoleh dan melihat Hana tengah tersenyum padanya. Siapa yang tidak senang ya, Haris pun membalas senyumannya itu.
Selanjutnya, Hana merapikan kebun yang sudah ditumbuhi tumbuhan liar. Mereka bekerja sama dengan mengerjakan hal bersamaan, saling bahu membahu. Tak terasa hampir 2 jam mereka melakukan aktivitas di kebun bersama. Sementara Haris yang kelelahan pun terduduk di rerumputan sembari mengibaskan bajunya karena gerah.
"Duh... capeknya."
Tak lama kemudian, sebuah tangan mungil memberikannya air mineral untuk Haris minum. "Minumlah," ujar Hana ramah. Haris seketika tersenyum dan mengambil air tersebut dan meneguknya hingga habis. Lalu, Hana pun duduk di sampingnya walau ada jarak sedikit di antara mereka.
"Eum... Terima kasih karena sudah bantu aku di kebun..." ujar Hana lembut.
"Sama-sama... jarang juga kan kita melakukan hal seperti ini bersama."
Hana pun terdiam sembari menunduk.
"Maaf atas sikapku selama ini sama kamu..."
Lalu Haris bangkit kembali dan duduk tepat di hadapannya. "Kamu menyesal kah?"
Hana mengangguk pelan. Setelah itu Haris pun tersenyum ramah padanya. "Tidak apa-apa... aku memaklumi sikapmu itu..."
"Oh iya... kamu kan sering ganggu aku, tapi aku gak tahu nama kamu siapa."
"Jadi ceritanya mau ngajak kenalan nih?" Sikap menyebalkannya mulai muncul dan itu membuat Hana seketika badmood. "Gak jadi."
"Oke-oke... Namaku Haris... panggil saja sayang ya."
"Ish, yang benar..." Hana yang kesal mulai menarik mundur baju milik Haris tersebut dan membuatnya tertawa.
"Oke-oke... aku Haris."
"Ohh Haris..."
Mereka pun kembali terdiam sembari menikmati angin sore yang sepoi-sepoi. Sepertinya Hana ingin mengutarakan sesuatu.
"Eumm... aku boleh tanya?" ujar Hana pada Haris.
"Tanyakan saja."
"Kamu kan pernah panggil aku Nahda... siapa dia? Pacar kamu ya?" ujar Hana polos.
Haris menoleh sembari menyerngit heran. "Kenapa? Kamu cemburu ya?"
Lagi-lagi Hana dibuat kesal dengan respon pria di sampingnya ini. "Ish... enggak! Ngapain juga cemburu."
"Bohong banget," godanya lagi.
"Ih... mau jawab atau enggak sih?!" Hana kembali kesal.
Haris kembali tertawa. Ia senang menjahili gadis ini. "Oke, oke... iya Nahda itu pacarku semasa SMA."
"Terus kenapa kamu malah anggap aku adalah dia?"
Haris menatap Hana dengan lekat. "Karena kamu mirip sama dia," lirih Haris.
"Kemana dia sekarang? Kok gak ikut sama kamu?"
Haris menghela napas berat. "Nahda sudah pergi ninggalin aku semenjak 10 tahun yang lalu... dia telah diambil oleh Tuhan... tapi Alhamdulillah dia selamat... mungkin suatu saat nanti aku bakal bawa dia pulang bersamaku."
"Ouh... kalau dia gak mau bagaimana?"
"Ya gak apa-apa... kan ada kamu," ujar Haris sembari menaikturunkan alisnya.
Seketika itu wajah Hana berubah merona dan tersipu. Karena malu, ia pun mengalihkan pandangannya.
"Ciee salting."
"Ish... apaan sih, enggak ya... gak mungkin aku mau sama kamu."
"Mungkin saja... buktinya kamu terpesona sama kegantengan aku."
Karena Hana sangat kesal, ia pun menarik rambut Haris dengan sekali tarik.
"Aduhh... sakit..."
"Rasakan..."
Haris mengelus kepalanya yang sakit seraya mendumel. "Dasar cewek... bilangnya enggak tapi buktinya dia sendiri yang salting," gumamnya.
"Apa?!" ujar Hana sengit ketika mendengar gumaman Haris barusan.
"Eh... enggak-enggak... kalau gitu, mau gak kita berteman?"
Awalnya Hana ragu, tapi perlahan tangan Hana meraih dan menggenggam tangan besar Haris. "Teman."
Mereka pun akhirnya tertawa bersama sembari bercanda kembali.
Tanpa disangka di sana Lita sedang mengawasi kegiatan mereka sejak tadi. "Oh itu yang namanya Nahda," batin Lita.