Sebuah keluarga yang harmonis dan hangat,
tercipta saat dua jiwa saling mencinta dan terbuka tanpa rahasia.
Itulah kisah Alisya dan Rendi—
rumah mereka bagaikan pelukan yang menenangkan,
tempat hati bersandar tanpa curiga.
Namun, kehangatan itu mendadak berubah…
Seperti api yang mengelilingi sunyi,
datanglah seorang perempuan, menembus batas kenyataan.
“Mas, aku datang...
Maaf jika ini bukan waktu yang tepat...
Tapi aku juga istrimu.”
Jleebb...
Seketika dunia Alisya runtuh dalam senyap.
Langit yang dulu biru berubah kelabu.
Cinta yang ia jaga, ternyata tak hanya miliknya.
Kapan kisah baru itu dimulai?
Sejak kapan rumah ini menyimpan dua nama untuk satu panggilan?
Dibalut cinta, dibungkus rahasia—
inilah cerita tentang kesetiaan yang diuji,
tentang hati yang terluka,
dan tentang pilihan yang tak selalu mudah.
Saksikan kisah Alisya, Rendi, dan Bunga...
Sebuah drama hati yang tak terucap,
Namun terasa sampai
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ARSLAMET, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu malam , tiga luka
Jam telah menunjukkan pukul 23.00. Malam di penginapan itu sunyi, seperti menahan napas akan sesuatu yang tak terucap. Langkah Bunga berhenti di depan pintu kamar Rendi. Tangannya sempat ragu, namun akhirnya ia ketuk perlahan.
Tok. Tok. Tok.
Pintu terbuka, dan di baliknya berdiri Rendi—mengenakan jaket abu yang belum sempat ia rapikan. Rambutnya masih basah sedikit, matanya terlihat lelah… atau mungkin penuh beban.
"pak Rendi …" bisik Bunga, lirih. Suaranya hampir seperti angin yang lewat begitu saja.
Rendi hanya mengangguk pelan, tak banyak bicara. Pandangannya sempat tertumbuk pada bibir tipis Bunga yang tampak sedikit bergetar. Rambut Bunga kali ini digelung rapi, membuat wajahnya terlihat lebih tegas… namun mata itu tetap sendu.
Tanpa kata, Bunga melangkah maju. Jarak mereka hanya satu tarikan napas.
Lalu tiba-tiba, Bunga menarik wajah Rendi dan mencium bibirnya dengan penuh luka yang menyaru rindu. Rendi sempat membeku, terkejut, dan hendak menjauh—tapi tangan Bunga memeluknya erat, seolah dunia akan runtuh jika ia melepaskannya.
Rendi sempat menggenggam bahu Bunga, ingin mendorongnya perlahan. Namun entah bagaimana, tangannya justru jatuh ke sisi tubuh Bunga, menyentuh dada yang berdegup kencang.
Ciuman itu terus berlanjut. Panas. Diam. Lama. Lima menit yang terasa seperti satu kehidupan yang tertukar.
Hingga akhirnya Rendi menarik wajahnya perlahan, napasnya tak teratur, matanya memerah—bukan karena nafsu, tapi karena bersalah.
"Sudah," ucap Rendi pelan, namun tegas. "Cukup, Bunga."
Bunga masih menatapnya, menahan air mata. Bibirnya basah, matanya kosong.
"Aku… merasa terlalu bersalah pada Alisya jika kita lanjut. Aku belum selesai menyelesaikan yang lama… jangan paksa aku memulai yang baru dengan cara seperti ini."
Bunga menggigit bibir. Hatinya terasa digores. Tapi ia tahu, Rendi benar.
"Maaf, Pak…" bisiknya, sebelum membalikkan badan dan melangkah keluar menuju lobi. Rendi hanya berdiri diam, mendengarkan langkah sepatu kecil itu menjauh.
...****************...
Di bandara, mereka berjalan beriringan namun terasa berjauhan. Dunia mereka kini penuh diam, penuh kata yang tertahan.
Tiket mereka diubah ke kelas ekonomi—keputusan yang mendadak karena penerbangan pagi nanti hangus. Dan kini, mereka duduk bersebelahan. Hanya satu sandaran tangan yang memisahkan tubuh mereka, namun ribuan jarak dalam hati yang tak bisa diukur.
Bunga menyandarkan kepala ke jendela, menahan kantuk. Tapi matanya tak benar-benar terpejam. Di sisi lain, Rendi memejamkan mata… bukan untuk tidur, melainkan untuk menenangkan suara di dalam hatinya yang saling bersahut:
“Alisya… tunggulah aku pulang, dengan semua kebenaran yang akan menyakitimu… tapi juga membebaskan kita berdua dari dusta.”
Dan Bunga, dalam diamnya, hanya menggenggam jemari sendiri, dan berdoa lirih dalam hati:
“Jika memang ini cinta yang salah… tolong, jangan buat aku membenci rasa ini.”
Pesawat mengudara. Dan di dalamnya, dua hati diam-diam menangis, dalam bahasa yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang jatuh cinta di waktu yang salah.
...****************...
Jakarta menyambutnya dengan gerimis, seolah tahu ada hati yang sedang retak tanpa suara. Bunga melangkah cepat menuju apartemennya, menahan getar di dada yang tak juga reda sejak ia meninggalkan kota tempat semuanya bermula.
Sesampainya di dalam, ia tak menyalakan lampu. Ia membiarkan ruang remang itu menjadi saksi betapa sunyinya seorang perempuan yang baru saja menjadi istri—meski hanya istri kedua, meski tanpa gaung pernikahan, tanpa gaun, tanpa restu semesta.
Tangannya gemetar saat membuka kancing bajunya satu per satu. Bekas sentuhan Rendi masih melekat di kulitnya, membekas seperti jejak hujan di kaca yang tak kunjung kering. Ia raba perlahan tempat-tempat yang tadi disentuh, diciumnya bibirnya sendiri, mencoba menelusuri jejak yang tadi ditinggalkan dengan napas terburu-buru dan keraguan yang memabukkan.
Namun, sesuatu menahannya. Bunga menatap cermin. Pandangannya kosong, namun mata itu basah. Ia sadar: ia belum sepenuhnya mengerti perannya dalam hidup Rendi. Apakah ia cinta yang baru, atau sekadar pelarian? Ia menarik napas panjang, memeluk dirinya sendiri, lalu berkata pelan, “Mungkin… aku butuh waktu. Untuk mengerti, untuk tidak merasa bersalah mencintainya.”
...****************...
Sementara itu, di sudut kota yang lain, Rendi sudah tiba di rumah yang dulu ia tinggalkan demi menjawab gejolak yang tak bisa ia jelaskan. Alisya, dengan senyum hangat dan tatapan rindu, menyambutnya seperti matahari yang menunggu pagi kembali pulang.
“Sayang…” lirihnya, memeluk Rendi erat, seolah takut lelaki itu akan lenyap lagi.
Tanpa banyak kata, tanpa jeda, Rendi menyeret Alisya ke pelukannya. Mereka berciuman—hangat, namun penuh luka. Di sela napas yang saling mencari, bayangan Bunga muncul. Wajah yang ia tinggalkan tadi pagi, mata yang berkaca-kaca namun tetap memaksanya pergi.
Rendi mendekap Alisya lebih erat, mencium setiap inci kulitnya dengan hasrat yang bukan sekadar rindu, melainkan pelarian. Ia mencintai Alisya, ya—cinta yang bertahun-tahun tumbuh, bertahan, bahkan setelah badai melanda. Tapi malam ini, cintanya seperti kapal yang kehilangan arah. Ia ingin menghapus Bunga dari pikirannya, namun justru semakin membakar gairahnya untuk membuktikan: bahwa Alisya masih rumah yang ia pilih.
Alisya tertegun. Ada yang berbeda. Gerak Rendi terlalu tergesa, terlalu rakus, terlalu ingin melupakan sesuatu—atau seseorang.
“Kenapa, sayang?” bisiknya pelan, saat tubuh mereka sudah terbalut selimut hangat, namun hati Alisya merasa beku.
Rendi diam. Ia menatap langit-langit kamar dengan dada yang naik-turun tak beraturan. Alisya, dengan jemari yang ragu, menyentuh dadanya. Rendi mengelus rambut istrinya, menariknya mendekat.
“Sayang Alisya-ku…” bisiknya nyaris seperti doa. “Kamu tahu aku sayang banget sama kamu, kan?”
Alisya mengangguk pelan. Tapi hatinya tak puas dengan kata-kata. Cinta yang tulus bisa dirasa, dan malam ini, cinta itu terasa kabur, seolah Rendi menyembunyikan sesuatu di balik pelukannya.
Mereka berdiam dalam pelukan lama, hanya suara hujan yang jatuh di luar jendela menjadi saksi betapa dua jiwa yang dulu satu kini mulai berbeda langkah. Dalam kehangatan selimut, ada jarak yang tumbuh diam-diam. Dan meski rindu telah ditebus dengan tubuh, ada luka yang tak bisa disembuhkan hanya dengan ciuman atau desahan.
...****************...
Di tempat lain, Bunga duduk memeluk lutut di tepi ranjangnya. Matanya menatap kosong ke arah jendela, ke lampu-lampu kota yang berkelap-kelip seperti harapan yang tak pasti. Ia mencintai Rendi. Tapi apakah cinta itu cukup, saat hati Rendi masih milik perempuan lain?
Dan di sisi ranjang yang lain, Alisya memeluk Rendi erat-erat dalam tidurnya. Ia tidak ingin lelaki itu pergi lagi. Tapi di dalam dadanya, ada tanya yang belum terjawab, dan bisikan-bisikan kecil yang menakutkan: apakah malam ini, tubuhku hanya menjadi tempat pelariannya?
Begitulah cinta—tak selalu jelas batasnya antara setia dan mendua, antara rindu dan pelarian, antara yang dicinta dan yang dibutuhkan.
Dan malam itu, Jakarta menjadi saksi: tiga hati yang terikat dalam cinta yang salah waktu, salah tempat, dan mungkin… salah pilihan.