Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.
Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.
Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.
#cintaromantis #anakrahasia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Kehangatan yang Mengancam
“Eh, sarapan keluarga? Tanpa undangan ya?” ucapnya dengan nada setengah malas, setengah menggoda.
Martin mendengus, “Berhenti lah dengan kekonyolanmu itu! Ini bukan sarapan keluarga. Ini… hanya sarapan yang sama seperti biasanya kau lakukan.”
Marvel seolah terbiasa dengan sikap sang kakak, tetap berjalan masuk meski tidak dipersilakan. Lalu, tanpa basa-basi ia duduk begitu saja di karpet dekat ranjang, menyandarkan punggungnya dekat dengan posisi Naila.
“Kak, sepertinya ada yang berbeda denganmu." Sejenak ia memperhatikan Martin yang seolah tak mengacuhkan keberadaannya. Namun, ia yakin, sebenarnya Martin tak pernah mengabaikan semua yang diucapkannya.
"Setahuku, kau tak mengizinkan siapa pun yang masuk ke kamar ini."
Marvel pun menoleh pada jam dinding cantik yang ada dalam kamar ini. "Biasanya, jam segini kamu sudah menyiapkan Rindu dan Reivan untuk diantar ke rumah mama. Sekarang, malah sempet-sempetnya nyiapin bubur dan membuatkan kopi untuk pengasuh baru ini.”
“Marvel...” Martin menghela napas. “Sebenarnya masuk ke sini mau ikut makan atau hanya ingin mengoceh?"
“Hmmm ... Aku hanya ingin menikmati suasana damai yang terasa sampai keluar aja. Habisnya, tadi malam kan suasana di antara kita tegang mulu,” katanya sambil melirik Naila sekilas, membuat gadis itu kaku sejenak. Ia tertarik melihat cangkir kopi yang berada tepat di hadapan gadis itu. Ia hanya sekedar menebak, sesekali bahasa tu buh Naila melirik kopi itu dan mengernyit sejenak.
Namun Marvel langsung menyeringai. “Eh kamu tahu gak, Nai … kopi pahit itu bisa menjadi racun kalau kamu memang nggak biasa menikmatinya. Biar aku aja yang minum. Aku tak keberatan kok meski kopi ini sisanya kamu."
Naila buru-buru geleng. “Enggak, nggak usah, saya mau mencobanya kok, Om ... siapa tahu saya bisa menerima dan cocok meminum kopi pahit ini.”
“Tapi jangan sampai kamu ngelamun terus melihat cangkir itu,” gumam Marvel iseng, menyentil ringan dengan candaan yang nyaris terdengar seperti peringatan.
Rindu yang sejak tadi duduk manis langsung menyela, “Om Apel, Lindu mau nonton Dolaemon!”
Marvel langsung memasang wajah serius pura-pura. “Dolaemon? Waduh, itu tontonan buat orang besar. Nanti kamu bisa jadi cepat besar dan pintar banget, Om tampanmu ini bisa kalah, gimana?”
Rindu mencabik, lalu menjulurkan lidah ke arah pamannya. Sementara itu, Martin masih tanpa ekspresi terus menyuapi Reivan makan.
Naila mulai merasa suasana berbeda di pagi ini sudah tidak seburuk yang ia bayangkan. Meskipun Marvel masih membuatnya waspada, setidaknya untuk saat ini, semua terasa sedikit lebih ringan dibanding semalam. Ia menatap kopi pahit di tangannya, mengembuskan napas, lalu menyeruput perlahan. Matanya langsung terbelalak.
"Uhuk!" Keronkongannya seakan menutup menerima rasa pahit luar biasa di lidahnya.
Marvel tertawa. “Tuh kan! Rasanya kayak minum air rendaman batu bara, kan?”
Martin menyahut datar, “Jangan asal ngomong! Itu kopi favorit saya.”
“Dan itu menjelaskan kenapa kamu selalu tegang tiap hari, minumnya aja yang pahit begitu,” timpal Marvel sambil memeluk bantalnya erat-erat, seperti anak kucing cari kenyamanan, kali ini terang-terangan mengedipkan mata kepada Naila.
Naila tertawa kecil, berusaha menyembunyikan rasa canggungnya. Tapi bahkan ia tahu, suasana ini terlalu... aneh. Terlalu akrab untuk orang baru seperti dirinya. Terlalu nyaman untuk hubungan yang seharusnya hanya antara majikan dan pengasuh.
Ia berdiri, merapikan letak cangkir dan nampan. “Saya bersihkan dulu ya, Pak, Om.”
Martin hanya mengangguk. Marvel menyeringai sambil bangkit malas-malasan. “Biar aku bantu. Sudah lama aku nggak main ke dapur, siapa tahu masih ingat caranya nyalain keran.”
Naila nyaris menolak, tapi Marvel sudah mengambil satu sisi nampan. Mereka melangkah keluar kamar, dan suasana tiba-tiba berubah begitu saja—dari ramai menjadi lengang.
Di lorong, Marvel memperlambat langkahnya. Ia tidak bicara, tapi sudut matanya sesekali melirik Naila.
“Nai,” katanya pelan. “Kamu betah di sini?”
Pertanyaan itu terdengar sederhana, tapi Naila menangkap sesuatu di baliknya. “Saya... saya baru aja mulai. Tapi anak-anak baik, Pak Martin juga... baik.”
Marvel mengangguk pelan, seolah puas dengan jawaban itu. Tapi kemudian ia menoleh penuh, menatap Naila dengan sorot tajam yang tak biasa.
“Kalau ada yang aneh, atau kamu mulai merasa rumah ini terlalu nyaman... cepat pergi.”
Naila menghentikan langkahnya. “Apa maksud Om?”
Marvel tersenyum samar, lalu berjalan lagi. “Nggak semua yang terlihat baik itu aman, Naila. Ingat itu. Sekali lagi aku ingatkan. Jangan panggil aku 'om' lagi. Meski, makin lama panggilan itu terasa menggemaskan keluar dari mulutmu.”
...
Pada siang hari, di mana hanya ada Naila dan kedua bocah yang ia asuh, setelah dua kakak beradik Martin dan Marvel pergi meninggalkan rumah yang luas ini untuk bekerja, ia tiada henti memikirkan apa yang diucapkan oleh Marvel.
"Kalau kamu mulai merasa rumah ini terlalu nyaman... cepat pergi."
Kata-kata itu terngiang berkali-kali, seolah membisik di antara suara televisi yang menayangkan kartun favorit Rindu dan tawa kecil Reivan saat mencoba mengejar bayangan kucing peliharaan yang lewat.
Naila duduk di lantai, menyisir rambut Rindu yang sudah mulai lepek karena keringat saat bermain. Tapi tangannya bergerak tanpa fokus, pikirannya melayang.
Apa maksud dari semua itu? Apakah Marvel hanya iseng—seperti biasanya—atau sebenarnya ada sesuatu Yang tak ia tahu?
Suasana rumah begitu lengang pertengkaran dua pria dewasa itu. Tapi keheningan itulah yang membuat pikirannya semakin bising. Ia memandang ke luar jendela, berharap ada angin atau sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya.
Tok... tok...
Namun justru yang datang adalah ketukan pelan di pintu depan.
Naila menoleh cepat. Siang hari, siapa yang datang? Kok bisa? Bukan kah pintu gerbang yang besar itu telah dikunci Pak Martin?
Anak-anak tetap sibuk dengan dunianya. Rindu mulai menyanyi pelan, Reivan tertawa-tawa sendiri sembari merangkak kian kemari. Naila bangkit, mengelap tangannya, dan berjalan menuju pintu.
Saat ia membukanya, yang dilihatnya adalah lima orang berdiri rapi berjajar. Tiga perempuan. Dua pria.
Salah satunya, seorang perempuan berwajah kalem dengan senyum sopan, berbicara terlebih dahulu. “Selamat siang. Kami diminta datang oleh Tuan Martin. Katanya, mulai hari ini kami akan tinggal dan bekerja di rumah ini.”