Mereka sama-sama pendosa, namun Tuhan tampaknya ingin mereka dipertemukan untuk menjalani cinta yang tulus.
Raka dan Kara dipertemukan dalam suatu transaksi intim yang ganjil. Sampai akhirnya keduanya menyadari kalau keduanya bekerja di tempat yang sama.
Kara yang supel, ceria, dan pekerja keras. Berwatak blak-blakan, menghadapi teror dari mantan suaminya yang posesif. Sementara Raka sang Presdir sebenarnya menaruh hati pada Kara namun rintangan yang akan dihadapinya adalah kehilangan orang terpenting di hidupnya. Ia harus memilih antara cintanya, atau keluarganya. Semua keluarganya trauma dengan mantan-mantan istri Raka, sehingga mereka tidak mau lagi ada calon istri yang lain.
Raka dan Kara sama-sama menjalani hidupnya dengan dinamika yang genting. Sampai akhirnya mereka berdua kebingungan. Mengutamakan diri sendiri atau orang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septira Wihartanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Thirty One
Puspa menghela nafas sambil mengelus tengkuknya yang pegal.
Capek juga ngetik dan mendengarkan isi meeting semalaman. Untung saja perpaduan Jason dan Siti dalam hal IT sangat manis sehingga dapat mengoperasikan server utama mereka dari mana saja, semua dokumen dalam bentuk digital dapat didiskusikan di kamar rumah sakit Kara.
Sambil menunggu kopinya agak dingin, Puspa melepas ikatan rambutnya dan menggerainya.
Lalu melenturkan tubuhnya supaya otot-ototnya tidak kaku.
Hari ini ia ke rumah sakit mengenakan sandal, bukan sepatu kantoran berhak 5 senti-nya. Untung saja, karena ternyata semua staf ahli Raka juga mengenakan pakaian santai. Siti bahkan mengenakan piyama di balik jaketnya. Ekstra koyo sih di kedua pelipisnya.
Sepertinya dari tadi pagi mereka memang sudah merencanakan hal ini, karena isu adanya protes belakangan santer terdengar.
Untung saja Puspa, Eris dan Bu Gita sudah pindah ruangan, yang lebih aman dari ruangan lama yang sering didatangi rival-rival mereka.
Namun Puspa tidak menyangka kalau mereka memilih kamar Kara sebagai basecamp sementara. Tadinya Puspa pikir mereka akan ke rumah Raka.
“Cantik juga ternyata kalau Rambut kamu dilepas.”
Suara ini membuat Puspa menoleh dengan kaget.
Raka menghampirinya dan mengisi gelasnya dengan air hangat, melalui dispenser di samping Puspa.
Puspa agak memiringkan kepalanya, ia antara yakin dan ragu, benarkah tadi Raka memuji penampilannya?
“Anuuu...” gumam wanita muda itu, “Makasih, Pak.”
Raka berdiri di depannya, mengamatinya sesaat.
Di antara jeda waktu itu, Puspa mau tak mau balas menatap pria itu.
Hatinya langsung mengumpat.
Sosok Raka di depannya ini, ternyata sangat menawan.
Tubuh tingginya, rahang tegasnya, bahu lebar yang tampak kuat. Juga gerak tubuhnya yang seakan terencana setiap sendinya, diatur agar di saat genting pun tetap terlihat proporsional.
Dari segi wajah memang tidak terlalu menarik perhatian Puspa. Selera kecantikan orang beda-beda.
Tapi aura Raka ini benar-benar membuat hatinya tergetar.
Bisa-bisanya si Kara mancing di Rapunzel dapatnya Tuna sirip kuning?! Sementara wanita lain cuma dapat ikan sarden!
Lalu timbul pertanyaan iri hati khas novel.
Kenapa bukan aku?
Begitu sesal Puspa.
Kenapa bukan aku yang dapat? Aku lebih membutuhkan orang seperti ini dibanding Kara.
Kara sudah terlalu banyak senang di dunia, aku yang lebih menderita.
Tak bisakah aku bahagia sesaat saja?
Aku sudah capek berjuang untuk orang lain, setidaknya aku ingin menikmati hidupku!
Begitu isi hatinya yang sedang diselimuti setan.
“Tolong jauhi Raidan.”
Kata-kata itu bagai menghujam hati Puspa dalam sekejab. Kata-kata yang diucapkan Raka ini bagai langsung membentuk suatu pagar pemisah di antara mereka.
Puspa pun menarik nafasnya
Rasa irinya sirna dalam sekejab.
Berganti dengan timbulnya rasa sakit hati.
“Pak Yudhis nggak salah bilang itu ke saya?” Puspa balik bertanya.
“Saya yakin tidak.” Kata Raka tegas.
Puspa otomatis langsung merunut hari-harinya selama ini.
Apa saja yang telah ia lalui dengan Raidan.
Mereka melakukan apa saja?
Yang mengindikasikan kalau mereka berdua memiliki hubungan istimewa?
Kalau dipikir...
Tidak ada, ternyata.
Puspa Hanya sekali saja membonceng remaja tanggung itu sampai Decathlon karena ia ada latihan basket di sana. Perjalanan memakan waktu 15 menit, dan sepanjang perjalanan mereka mengobrol mengenai keluarga masing-masing melalui helm yang ada speaker bluetoothnya. Jadi antara tukang ojek dan penumpang bisa mengobrol tanpa halangan bagaikan melalui telepon, nggak ditanya apa jawabnya apa.
Dan setahunya di tempat latihannya sudah banyak cewek-cewek pakai seragam cheerleader melambaikan tangan ke arah Raidan.
“Saya nggak ada hubungan apa-apa dengan Raidan. Kami hanya sekedar mengobrol sepanjang jalan sampai ke tempat latihannya.”
Mereka teridam sejenak. Puspa menyeruput kopinya dengan perasaan kesal.
“Saya mendengarkan obrolan kamu dengan Kara mengenai Raidan. Saya juga mendengarkan Raidan membicarakan kamu dengan Kara. Tidak usah berusaha menyembunyikan apa pun dari saya.” Kata Raka.
Puspa menaikkan alinya.
Wow, sebucin itulah Yudhistira Raka? Sampai ia memata-matai Kara 24 jam per 7?!
Sampai tembok saja dipasang penyadap?
“Wah... lain kali kalau saya dan Kara membicarakan hal pribadi mengenai gaya bercinta, atau siapa yang terganteng di antara rekan kerja pria kami, bapak juga akan menguping kami dong ya? Itu etis nggak sih pak mengingat bapak hanya ‘pacarnya’? Bahkan setahu saya, kalian bahkan belum resmi sebagai pacar kanya?!” sindir Puspa.
“Tidak sampai seperti itu, saya kebetulan ada di sana?”
“Kenapa sepertinya ‘Selalu’ saja terjadi kebetulan? Bukankah seharusnya Kebetulan itu tidak direncanakan ya?!”
“Terserah kamu saja Puspa.” Ada nada meremehkan di suara bariton Raka.
“Dan bapak salah sasaran kalau meminta saya menjauh, Ingat Pak. Hubungan kita adalah Karyawan dan Atasan. Di Kantor! Urusan pribadi saya bukanlah urusan Pak Yudhis. Yang harusnya bapak bilang untuk ini itu adalah Raidan. Bukan saya.””
“Saya juga akan bilang hal ini ke Raidan.”
Puspa mengangguk.
Ia sakit hati.
Ia direndahkan, sebagai wanita, dalam satu waktu.
Pak Yudhis ini ternyata menyebalkan kalau dijadikan keluarga, walau pun sebagai atasan ia cukup mumpuni dan jenius.
“Kalau begitu, jangan khawatir pak. Hidup saya sudah cukup sulit, jadi saya menghindari keluarga yang sarat drama.” Geram Puspa, mencoba kiuat dan tidak menangis.
Ia memang mandiri, pekerja keras, terlihat tahan banting dan galak. Tapi hatinya rapuh, tidak setegar yang dipikirkan orang-orang.
Melihat anak kucing terlantar saja ia bisa menangis.
Ia baru saja bertemu Raidan, bahkan belum ada hubungan apa pun di antara mereka kecuali pengendara dan penumpangnya, ia bahkan sudah mendapat Down Payment berupa sindiran begitu menusuk. Apalagi kalau ia berusaha mendekati Raidan lewat kara? Yang ada tenaganya untuk kerja malah terkuras akibat emosi yang meledak-ledak, kali.
“Keluarga yang sarat Drama? Maksudnya keluarga saya?!” Geram Raka
Puspa tidak mengangguk, dia hanya tersenyum sinis. “Tampaknya Kara lebih kuat menghadapi hidup ini dibanding saya, sampai cobaannya begitu besar ya.”
“Maksud kamu, saya adalah cobaannya?! Lancang juga mulut kamu. Jangan karena kamu itu teman Kara saya akan begitu saja memaafkan kamu-“
“Justru harusnya bapak yang minta maaf ke saya. Bapak anggap saya ini apa? Kotoran kucing? Sampai minta saya menjauh dari seseorang. Menurut bapak yang seharusnya menjauh itu kotorannya atau orang lewatnya?!”
Raka akan membantahnya, namun Puspa langsung balik badan dan menjauhinya.
Sialan, si Yudhistira Raka...
Pantas selama ini Kara jadi sering galau. Sudah begitu, dia jadi sering terluka! Ternyata begitulah kelakuan si Om Bayaran sahabatnya ini.
Toxic...
**
Puspa kembali ke dalam kamar Kara untuk berusaha bekerja sebanyak mungkin dan menghilangkan keresahannya.
Ia diminta menghindar, apakah ia kumannya? Hamanya?
Seberacun itukah keberadaannya?
Puspa menunduk menatap ponselnya.
Ada beberapa WA dari adik-adiknya, dan satu pesan dari ibunya. Tulisannya : Jangan lupa makan.
Makan apa? Pikirnya. Untuk hari ini saja, terakhir kali ia makan adalah saat siang hari. Malam ini ia hanya ngopi. Uangnya sudah habis untuk bayar bunga pinjaman. Mereka selalu berhutang. Pinjaman dari 20 tahun lalu yang diperjanjikan oleh ortu mereka untuk biaya makan sehari-hari, selalu berbunga dan berlanjut sampai sekarang. Mana bunganya mengikuti ‘kemajuan’ ekonomi.
Kalau tidak ada pinjaman itu, pasti gajinya sudah cukup untuk renovasi rumah.
Fadjri, adiknya, bertanya padanya : Kakak aku dapat uang lemburan, aku transfer ke kakak ya buat makan malam.
Puspa pun mengetik.
“Berapa lemburan kamu?”
Dan dijawab oleh Fadjri : 50ribu kak.
Halah... dapet segitu mau sok-sok’an transfer duit.
Walau pun Puspa bicara begini dalam hati, namun bibirnya tersenyum. Adiknya lucu... gajinya kecil tapi masih sempat memperhatikan kakaknya.
“Aku dapat makan pas lembur. Kamu simpan saja uang kamu. Kebutuhan ibu dan ayah sudah ditanggung dari uang gaji kakak, ada sedikit endorse juga dari Dina lewat video tutorial bikin donat kentangnya. Kamu udah coba donatnya belum? Enak banget ternyata, sumpah!”
Puspa mengetiknya dengan mata berkaca-kaca.
Ia sedikit berbohong.
Ia sendiri lapar.
Tapi ditegur Raka, langsung merasa kenyang.
Adik-adiknya ini... saling perhatian satu sama lain, membuatnya bangga pada diri sendiri karena berhasil mendidik mereka.
Puspa menyadari, tidak penting mencari pasangan... melihat adik-adiknya mandiri dan berkembang saja sudah luar biasa senangnya seperti ini.
Tanpa ia sadari, Kara sedang memperhatikannya dari jauh.
Puspa masuk ke dalam kamar sambil menunduk dan menatap layar hapenya, lalu berhenti berjalan dan melipir ke sudut ruangan. Sahabatnya itu mengerutkan kening sambil tersenyum menatap layar ponsel.
Sekali lihat saja, Kara tahu yang terjadi.
Bukan setahun dua tahun ia mengenal Puspa.
Sahabatnya itu sedang resah, namun berhasil terobati dengan mendengar kabar keluarganya.
Puspa mengisi gelas kopinya sudah tiga kali sejak datang ke rumah sakit.
Berarti... ia belum makan.
Kara melihat Raka masuk ke dalam ruangan.
Pria itu sempat menoleh menatap Puspa.
Puspa hanya sedikit melirik Raka, lalu kembali tak acuh dan sibuk dengan ponselnya.
Raka melewati Puspa dengan raut wajah kesal.
Dan Kara pun, tentu saja langsung tahu yang terjadi.
Keduanya, Raka dan Puspa, adalah orang-orang terdekatnya. Terikat dengan dirinya dalam jalan yang berbeda.
Mana mungkin Kara tidak peka, ya pasti radarnya langsung merespon.
Tapi saat ini, mereka sedang sibuk dengan pekerjaan.
Belum waktunya membahas hal pribadi.
dan lagi2...kepintaran madam dotuang di banyak cerita...ben yg baca tu melek dikit2 tentang dun nyat alias kejadian di sunia nyata jg...ter lope2 lah madam /Heart//Heart/
liciknya raka kalah sama otaknya kara
tante catty sama raiden aja nurut sama kara
tapi dibanding 2bln kmrn emang jauh LBH turun sih hrgnya...