Kadang, hidup tak memberi pilihan. Ia hanya menaruhmu di satu persimpangan, lalu membiarkan waktu yang menyeretmu ke arah yang tak kau minta. Johan Suhadi adalah lelaki yang kehilangan arah setelah maut merenggut tunangannya. Tapi duka itu bukan akhir—melainkan pintu gerbang menuju rahasia besar yang selama ini terkubur di balik hutan lebat Bukit Barisan. Sebuah video tua. Sepucuk surat yang terlambat dibuka. Dan janji lama yang menuntut ditepati. Dalam pelariannya dari masa lalu, Johan justru menemukan jalannya. Ia membuka aib para pejabat, mengusik mafia yang berlindung di balik jubah kekuasaan, dan menciptakan gelombang kejujuran yang tak bisa dibendung. Bersama sahabat sejatinya dan seorang wanita yang diam-diam menyembuhkan luka jiwanya, Johan menghadapi dunia—bukan untuk menang, tapi untuk benar.
Dari Padang hingga Paris. Dari luka hingga cinta. Dari hidup hingga kematian.
Bukit Takdir bukan kisah tentang menjadi kuat,
tapi tentang memilih benar meski harus hancur.
Karena
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PGR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
"Di Bawah Bulan dan Kenangan"
Malam itu langit bersih, seolah baru selesai disapu angin. Bulan sabit menggantung anggun di atas sana—tidak besar, tidak terang menyilaukan, tapi cukup untuk membuat malam terasa lebih hidup. Cahaya keperakan itu menyelinap lembut di antara bisingnya kota, menemani gemerlap kembang api yang meledak silih berganti. “Duar… duar… tin… tin…” langit dan bumi berlomba membuat gaduh, seakan sepakat untuk mengusir sepi.
Tahun akan segera berganti. Ribuan orang menyambutnya dengan riang. Pasangan bergandengan tangan di trotoar, anak-anak tertawa di pundak ayahnya, dan kendaraan yang terus-menerus membunyikan klakson. Jalanan penuh, padat, seperti tak menyisakan ruang bagi mereka yang sedang diam-diam memeluk kenangan.
Johan pun terjebak di dalamnya—bukan hanya macet lalu lintas, tapi juga macet rasa. Dua jam lebih ia terkurung di balik kemudi, hanya untuk terus bergerak beberapa meter, lalu berhenti lagi. Seorang polisi lalu lintas akhirnya memberi tahu: ada kecelakaan beruntun di depan.
Johan menyerah pada keadaan. Ia memarkirkan mobil di pelataran swalayan dekat rumah sakit, menyampirkan ransel di bahunya—isinya buku-buku pilihan untuk Liana, serta satu plastik berisi buah-buahan untuk Kalmi dan Liana. Sebelum berjalan kaki ke rumah sakit, ia mampir membeli kopi kemasan dan sebungkus rokok kretek Sampoerna Hijau—ritual kecilnya, penghibur sejenak dari hiruk-pikuk dunia.
Langkahnya melambat saat melewati sebuah bangunan sederhana bercat putih pudar: panti jompo.
Johan berhenti. Ia berdiri di sana, memandang ke jendela yang remang-remang. Di dalamnya, ada sosok-sosok renta duduk dalam diam. Sebagian tersenyum, sebagian memandang kosong ke arah televisi yang menayangkan konser tahun baru. Tak ada tawa di sana. Tak ada kembang api. Tak ada keluarga.
“Mereka sudah melahirkan anak-anak. Mungkin juga sudah menimang cucu,” gumam Johan dalam hati. “Tapi malam ini, tak seorang pun datang.”
Hatinya mencubit. Wajah ayah dan ibunya melintas begitu saja, seperti kilas balik yang tak diminta.
Ayah pergi di tanggal satu Januari, tepat sehari setelah keluarga mereka merayakan tahun baru dengan penuh tawa. Malamnya, ayah mendadak drop. Dilarikan ke rumah sakit, tapi belum sempat sampai... dunia sudah mengambilnya kembali. Setahun kemudian, ibunya menyusul. Tubuh ibu perlahan melemah, kehilangan semangat setelah kehilangan separuh jiwanya.
Johan menarik napas dalam-dalam. Kenangan itu seperti hujan yang turun diam-diam di dalam dadanya. Ia anak sulung dan punya tiga adik—yang paling kecil perempuan, sisanya lelaki. Tapi saat ini, hanya dirinya yang berdiri di depan bangunan penuh sunyi itu.
Seketika sebuah ide menyala di benaknya. Sebuah cahaya kecil di tengah malam yang riuh. Johan bergegas, langkahnya cepat menuju rumah sakit, menembus kerumunan dan suara kembang api yang semakin meriah.
“Bagaimana, dok? Apa Liana boleh keluar untuk malam ini saja?” Suara Johan pelan, tapi memohon. Matanya menatap sang dokter dengan penuh harap, seolah menyimpan sesuatu yang tak sempat dijelaskan dengan kata-kata.
Dokter menghela napas pelan, membaca laporan medis sambil sesekali mencuri pandang ke wajah Johan yang tampak seperti anak kecil meminta mainan. Sunyi sebentar, lalu ia mengangguk kecil.
“Baiklah. Hanya malam ini, ya. Dan tidak terlalu lama. Untuk kebaikan Bu Liana juga,” ucapnya akhirnya, dengan nada setengah pasrah.
Wajah Johan langsung berbinar. “Yesss!” serunya pelan, nyaris seperti bisikan yang ditelan suara pesta dari luar jendela. “Terima kasih, Dok! Terima kasih banyak!”
Ia membungkuk cepat, lalu segera berbalik dan berlari kecil menuju kamar perawatan Liana. Seperti anak kecil yang baru saja diberi kabar akan pergi piknik.
“Pelan-pelan saja, Pak,” ujar dokter itu sambil tersenyum, menggeleng pelan. Ada kehangatan dalam pandangannya. Karena kadang, yang kita butuhkan untuk menyembuhkan seseorang bukan hanya obat, tapi juga kebahagiaan yang sederhana.
“Iiiikkkk…”
Suara pintu kamar berderit pelan, dibuka dengan tergesa. Johan berdiri di ambang pintu, napasnya masih tersengal. Keringat mengalir di pelipis, tapi wajahnya menyala penuh semangat.
“Lia… cepat, bersiaplah,” katanya, matanya berbinar. “Kamu dapat izin keluar dari dokter malam ini.”
Liana yang sejak tadi duduk termenung di ranjang, menoleh. Matanya yang sendu tiba-tiba membesar. “Jo…” suaranya nyaris tak terdengar, serak, patah. “Maafkan aku, Jo… aku… aku merusak televisi di kamar ini.”
Johan tertegun sejenak. “Televisi?”
Liana menunduk, menatap remot yang tergenggam erat di tangannya. “Tadi aku menonton… aku iseng menekan-nekan tombol, seperti yang sering kamu lakukan. Tapi sepertinya aku menekannya terlalu sering. Layar tiba-tiba gelap. Mati. Aku sudah coba berkali-kali, tapi tidak menyala lagi…” Ucapannya pelan, hampir seperti bisikan. “Maafkan aku, Jo.” Suaranya mulai bergetar, dan butiran air mata jatuh perlahan di pipinya.
Johan berjalan mendekat, tangannya terulur. “Coba aku lihat remotnya.”
Dengan ragu, Liana menyerahkan benda kecil itu. Johan menekan satu tombol—tombol power. Dalam sekejap, layar televisi menyala kembali. Hidup. Seperti tak pernah ada masalah apa pun.
Liana terpaku. Mulutnya terbuka sedikit, tak percaya. Lalu, tanpa sadar, ia memeluk Johan erat. “Kau… kau penyelamatku, Jo,” katanya, setengah menangis, setengah tertawa.
Johan tergelak, tawanya lepas seperti anak kecil yang baru saja menang dalam permainan. “Lia… kamu lucu sekali. Jadi dari tadi kamu panik karena menekan tombol on-off berkali-kali? Ya wajar saja layarnya mati terus!” Tawanya makin keras, menggema di antara dinding kamar rumah sakit.
Liana ikut tertawa, meski rona merah malu perlahan muncul di pipinya. “Aku kira aku sudah membuat kerusakan besar. Aku sampai cemas dari tadi…”
Lalu ia tersadar. Pelukannya masih melekat. Segera ia melepaskan diri, salah tingkah. “Maaf, Jo… aku… aku nggak sengaja,” bisiknya gugup.
Johan juga terdiam sejenak, menggaruk tengkuk. “Nggak apa-apa, Lia,” katanya pelan, sama-sama canggung. Sejenak keheningan turun di antara mereka, seperti selimut tipis yang membuat malam terasa lebih hangat.
Beberapa detik kemudian, Johan menunjuk ke arah kursi. “Udah, kamu ganti baju, ya. Pakaian baru itu aku belikan buat kamu. Kita akan keluar… melihat langit malam terakhir tahun ini.”
Johan bersandar di dinding luar kamar, tangannya menyilang di dada. Tapi pikirannya tak ikut diam. Hatinya masih terguncang oleh pelukan tadi. Bukan karena sentuhannya… tapi karena rasa yang tiba-tiba muncul. Hangat. Aneh. Membingungkan.
Ingat, Jo, bisiknya dalam hati. Kamu cuma menepati janji. Tidak lebih, tidak boleh lebih. Liana menolongmu. Itu saja.
Tapi hatinya membantah. Pelan, namun pasti. Ia mendebat dirinya sendiri dalam sunyi.
“Jo… yok berangkat,” suara lembut itu memotong lamunannya.
Ia menoleh.
Liana berdiri di sana, mengenakan gaun sederhana yang ia belikan. Wajahnya masih sebagian dibalut perban, kakinya bersandal rumah sakit. Tapi di mata Johan, malam itu ia terlihat… berbeda. Bukan cantik dalam rupa, tapi damai dalam jiwa. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan—seperti bunga yang tetap mekar meski tumbuh di tanah retak.
“Yok, Jo. Kok malah diam?” tanya Liana, heran melihat Johan terpaku.
“Eh, iya. Yok,” jawab Johan cepat. Ia berjalan lebih dulu, tapi hatinya belum juga tenang. Debarnya tak tertahankan.
Di bawah cahaya bulan sabit yang menggantung tenang di atas langit kota Padang, Johan dan Liana berjalan berdampingan. Angin malam menyisir pelan rambut orang-orang yang lalu-lalang. Kota ini hidup. Jalanan penuh oleh pasangan yang tertawa, oleh tawa anak-anak yang berlarian, oleh suara musik yang bergema dari segala penjuru.
Namun hati mereka… tetap sunyi. Seperti dua pejalan yang saling diam, tapi mengerti isi langkah satu sama lain.
Mereka tiba di swalayan tempat mobil Johan diparkir. Tanpa banyak bicara, Johan mengambil troli dan mulai mengisinya dengan wajan pemanggang, daging, jagung, minuman, camilan, dan briket.
Liana mengikutinya dari belakang, heran dengan apa yang sedang direncanakan Johan.
“Jo… ini semua buat apa? Kamu yakin bisa makan sebanyak ini?” tanyanya, setengah bercanda, setengah bingung.
Johan hanya meletakkan telunjuk di bibir, memberi isyarat agar Liana diam. “Sssst… ikut saja aku, Lia.”
Liana tertawa pelan. “Baiklah, Tuan Misterius,” ucapnya sambil membantu membawa belanjaan mereka keluar swalayan.
Setelah berjalan beberapa menit, Johan berhenti di depan sebuah bangunan tua yang tenang, hangat oleh cahaya lampu remang-remang.
“Di sinilah kita akan merayakan malam tahun baru,” kata Johan, pelan tapi pasti.
Liana memandangi sekeliling. Beberapa orang tua duduk bersisian di bangku taman kecil, tertawa lirih, mengobrol pelan. Suasana yang sunyi tapi penuh rasa.
“Tempat apa ini, Jo?” tanyanya pelan.
“Panti jompo,” jawab Johan. “Tempat di mana waktu berjalan lebih lambat. Di mana cerita-cerita panjang tersimpan dalam tubuh yang mulai renta, dan suara rindu sering kali hanya bergema di dalam hati.”
Liana menatap Johan. Mata lelaki itu penuh dengan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Belas kasih? Rasa kehilangan? Atau… cinta yang tumbuh perlahan?
Liana mengangguk pelan. Pandangannya menyapu lembut wajah-wajah renta yang duduk bersisian di bangku kayu halaman. Mata mereka teduh, tetapi menyimpan rindu. Ada yang tak terucap, tak tampak, namun terasa: kesepian yang bertahun-tahun bersarang diam-diam.
Johan melangkah mendekati seorang pria paruh baya yang berdiri di beranda, mengenakan peci lusuh dan kemeja yang digantungkan sabar di tubuhnya. Dengan sopan, Johan menundukkan kepala dan menyampaikan maksudnya.
"Pak, malam ini... bolehkah kami merayakan tahun baru di sini? Kami hanya ingin berbagi sedikit kebahagiaan. Sekadar menemani."
Lelaki tua itu tersenyum. Matanya berkaca, bibirnya bergerak pelan namun penuh ketulusan. "Wah, nak... tentu boleh. Terima kasih. Terima kasih sudah ingat pada kami, di sudut dunia yang sering terlupakan ini."
Mereka pun membaur. Tak ada jarak. Tak ada beda usia, cerita, atau latar. Hanya manusia yang saling menemukan satu sama lain di tengah malam yang dingin.
Liana berbincang hangat dengan seorang kakek bernama Bahar—seorang pejuang yang telah menukar masa mudanya demi kemerdekaan. Suaranya bergetar, tetapi masih menggetarkan.
"Tahun empat puluh dua," kisahnya dimulai. "Ketika Jepang datang, kami menggiring warga ke pedalaman Bukit Barisan. Hutan itu seperti saudara kami sendiri. Kami pasang jebakan, perangkap, siapkan senjata rampasan. Mereka tak pernah bisa tembus masuk."
Liana menyimak tanpa berkedip. Di matanya, kakek Bahar bukan sekadar lelaki tua. Ia adalah saksi sejarah. Ia adalah bab dari buku yang tidak pernah ditulis siapa pun.
Tak jauh dari mereka, kakek Iwan duduk bersila sambil memeluk gitar usang. Dulu, katanya, ia seorang musisi. Kini, hanya lagu-lagu lama yang masih setia menemaninya. Ia memetik senar perlahan, suara seraknya menyusup ke telinga siapa saja yang mendengar, menghangatkan hati yang beku oleh waktu.
Di sisi lain halaman, Johan tengah sibuk memanggang daging dan jagung. Asap mengepul perlahan, menyebarkan aroma ke seluruh penjuru. Saat itulah, seorang kakek tiba-tiba memeluknya erat.
"Zainal... akhirnya kau pulang juga, Nak. Ayah rindu sekali..."
Johan tertegun. Pelukan itu terlalu hangat untuk dianggap biasa. Tapi sebelum ia sempat membalas, suara pemilik panti memecah keheningan.
"Maaf, Nak... Itu kakek Rahim. Ia sering salah mengenali. Zainal, anaknya, tak pernah kembali sejak merantau bertahun-tahun lalu."
Johan mengangguk, mencoba memahami. Namun belum sempat ia menenangkan, kakek Rahim menatap wajahnya lekat-lekat, lalu berseru keras, kecewa dan getir.
"Kau bukan Zainal! Di mana Zainal?!"
Ia berlari kecil masuk ke dalam, memanggil-manggil nama yang tak kunjung kembali. Nama yang mungkin hanya tinggal gema dalam pikirannya.
Johan menunduk. Ada rasa yang sulit dijelaskan. Perih—tapi juga penuh iba. Ia kembali ke panggangan, menata makanan dengan pelan, seraya mengaduk-aduk pikirannya sendiri.
Ketika aroma makanan mulai menyebar, para penghuni panti berdatangan. Senyum mereka merekah perlahan, seperti bunga yang enggan mekar di musim dingin tapi akhirnya menyerah pada kehangatan.
Di tengah keramaian, kakek Iwan naik ke atas bangku kayu. Gitar tergenggam erat di tangannya.
"Siap nyanyi?" serunya lantang.
"Siappp!" semua berseru, tawa mereka mengudara, menyatu dengan bintang-bintang.
Kakek Iwan mulai memetik senar. Lagu "Teringat Selalu" mengalun. Suaranya serak, tapi justru itu yang membuat lagu itu begitu hidup—seperti bisikan rindu yang tak selesai.
> Teringat pada satu waktu
Ku berjalan-jalan di muka rumahmu
Rasa berdebar dalam hatiku
Ingin lekas lalu...
Semua bernyanyi bersama. Suara-suara tua, pelan, tapi penuh jiwa. Liana menyeka air mata kecil di ujung matanya, sembari membagikan makanan. Johan hanya tersenyum tipis, memandangi malam yang berubah hangat.
Tepat tengah malam, langit meledak dalam warna-warni kembang api. Sorak sorai terdengar. Kakek Bahar tertawa sambil menyuapkan daging ke mulutnya.
"Masakanmu enak sekali, Nak Johan. Mirip buatan Nurlaila, anakku... sebelum ia pergi ke Jakarta."
Malam itu, halaman panti jompo menjadi panggung kecil kebahagiaan. Tidak ada kesepian. Tidak ada duka. Hanya senyum yang menyala seperti kembang api.
Saat malam menipis dan waktu kembali menuntut jeda, Johan dan Liana berpamitan. "Kami akan kembali, Pak," ucap Johan sambil menunduk.
Pemilik panti mengangguk pelan. "Terima kasih, Nak Johan... Nak Liana. Kalian membuat malam ini menjadi malam terbaik bagi kami. Dunia mungkin lupa pada kami... tapi tidak malam ini."
Lambaian tangan mengantar mereka pergi. Dan langkah kaki itu meninggalkan jejak yang akan tetap dikenang.