Yan Ruyin, nama yang membuat semua orang di Kediaman Shen jijik. Wanita genit, pengkhianat, peracun… bahkan tidur dengan kakak ipar suaminya sendiri.
Sekarang, tubuh itu ditempati Yue Lan, analis data abad 21 yang tiba-tiba terbangun di dunia kuno ini, dan langsung dituduh melakukan kejahatan yang tak ia lakukan. Tidak ada yang percaya, bahkan suaminya sendiri, Shen Liang, lebih memilih menatap tembok daripada menatap wajahnya.
Tapi Yue Lan bukanlah Yan Ruyin, dan dia tidak akan diam.
Dengan akal modern dan keberanian yang dimilikinya, Yue Lan bertekad membersihkan nama Yan Ruyin, memperbaiki reputasinya, dan mengungkap siapa pelaku peracun sebenarnya.
Di tengah intrik keluarga, pengkhianatan, dan dendam yang membara.
Bisakah Yue Lan membalikkan nasibnya sebelum Kediaman Shen menghancurkannya selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arjunasatria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Di paviliunnya sendiri, Shen Wei mengangkat cangkir teh dari meja, lalu melemparkannya ke lantai tanpa ragu.
Cangkir itu pecah berkeping-keping. Suaranya nyaring, memecah kesunyian malam.
Pelayan pribadinya langsung berlutut. Kepalanya menunduk dalam-dalam, tidak berani mengangkat wajah.
“Dia berubah,” kata Shen Wei akhirnya. Suaranya rendah, dingin, tanpa emosi berlebihan. Justru karena itulah terdengar berbahaya.
Pelayan itu menelan ludah. “Tuan Muda… Nyonya Yan memang tidak sama sejak keluar dari sel. Sikapnya lebih tenang. Kata-katanya....”
“Bukan hanya berubah,” Shen Wei memotong tajam. “Dia berhenti menurut.”
Ia melangkah menjauh dari meja, berjalan perlahan mengitari ruangan. Setiap langkahnya terukur, seolah ia sedang menyusun sesuatu di dalam kepalanya, bukan sekadar meluapkan emosi.
“Yan Ruyin seharusnya takut,” lanjutnya. “Takut pada masa lalunya. Takut pada aibnya sendiri. Takut kehilangan perlindunganku.”
Ia berhenti di dekat jendela.
“Orang yang takut,” katanya dingin, “tidak akan membantah.”
Pelayan itu memberanikan diri berbicara, suaranya nyaris berbisik. “Mungkin… Nyonya hanya terkejut setelah hampir mati. Hukuman itu berat. Bisa saja membuat seseorang berubah.”
Shen Wei tertawa kecil. Tidak keras. Tidak pula hangat.
“Ketakutan yang nyata membuat orang malah lebih patuh,” ujarnya. “Bukan membuat mereka menjaga jarak. Bukan membuat mereka menolak untuk disentuh. Dan sama sekali bukan membuat mereka berani menatapku seperti orang asing.”
Ia berbalik. Tatapannya tajam, penuh perhitungan.
“Jika Yan Ruyin tidak lagi membuka mulutnya,” katanya perlahan, “aku kehilangan mata dan telinga di paviliun Shen Liang.”
Pelayan itu terdiam. Ia paham betul maksud kalimat itu.
Selama ini, setiap pergerakan Shen Liang, dokumen, percakapan, keputusan kecil, selalu sampai ke telinga Shen Wei. Semua melalui satu orang, Yan Ruyin.
“Tanpa dia,” lanjut Shen Wei, “rencanaku akan melambat. Dan aku tidak menyukai hal-hal yang bergerak lambat.”
Ia terdiam sejenak, lalu bibirnya melengkung tipis. Bukan senyuman yang ramah. Lebih seperti keputusan yang sudah diambil.
“Kalau dia tidak mau lagi menjadi mata dan telingaku,” katanya pelan namun jelas, “maka aku akan menjadikannya kambing hitam.”
Pelayan itu tersentak. “Tuan Muda… apakah Anda berniat....”
“Tenang saja,” Shen Wei memotong sebelum kalimat itu selesai. Nada suaranya tetap terkendali. “Aku yakin dia akan kembali patuh.”
Ia tersenyum tipis, sinis. “Orang seperti Yan Ruyin,” lanjutnya, “tidak pernah benar-benar berubah. Selama ia masih takut kehilangan tempatnya, ia akan kembali merendahkan diri demi perlindungan.”
Tatapan Shen Wei mengeras. “Dia hanya lupa,” katanya dingin, “siapa yang selama ini memberinya rasa nyaman.”
Ia menoleh ke arah jendela, ke arah paviliun terpencil yang terpisah oleh taman dan kegelapan malam.
“Yan Ruyin selalu lupa satu hal,” katanya lirih. “Semua dosa yang ia lakukan dulu… masih tercatat atas namanya.”
Ia mengingat setiap kesalahan. Setiap kebohongan.
Setiap malam yang seharusnya tidak terjadi.
“Jika dia memilih menjadi orang baru,” lanjut Shen Wei, “maka orang lama harus dikubur.”
Senyumnya muncul lagi. “Dan Shen Liang,” katanya akhirnya, “akan ikut membayar harganya.”
Pelayan itu menunduk lebih dalam. Ia tahu satu hal dengan pasti.
Malam ini, Shen Wei tidak sedang marah.
Ia sedang merapikan papan caturnya.
Shen We mengeluarkani botol kecil dari balik jubahnya. Matanya terpaku pada botol kecil di tangannya.
Botol itu tampak biasa saja. Kaca bening. Cairan di dalamnya jernih, tanpa warna, tanpa aroma. Tidak ada yang akan mencurigainya sebagai sesuatu yang berbahaya. Justru karena itulah ramuan itu nampak sempurna.
“Ramuan penghangat darah,” ucap Shen Wei perlahan, seolah sedang menjelaskan sesuatu yang remeh. “Biasanya diberikan pada wanita yang kelelahan, atau yang pikirannya sedang kacau.”
Pelayan pribadinya menelan ludah. Tatapannya berpindah dari botol itu ke wajah tuannya.
“Efeknya seperti apa, Tuan Muda?”
Shen Wei tidak langsung menjawab. Ia memutar botol itu di antara jari-jarinya, memperhatikan pantulan cahaya lampu minyak di permukaannya.
“Ramuan ini mengaburkan kejernihan berpikir,” ucapnya akhirnya, tenang dan terukur. “Tubuh akan terasa panas, emosi menjadi sulit dikendalikan, dan dorongan gairahnya akan mengambil alih akal sehat. Dan jika tidak di salurkan akan melemahkan saraf.”
Tatapannya mengeras. “Dan Yan Ruyin,” lanjutnya pelan, “selalu rapuh di titik itu.”
Ia meletakkan botol itu di meja. “Kau akan memastikan,” lanjutnya, “ramuan ini sampai ke paviliunnya sebagai bentuk ‘perhatian’.”
“Atas nama siapa, Tuan Muda?”
Shen Wei tersenyum tipis.
“Atas nama keluarga.”
Pelayan itu membeku. “Jika sesuatu terjadi....”
“Tidak akan,” Shen Wei memotong. “Ramuan ini tidak membunuh.”
Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dingin,
“Hanya membuatnya kehilangan kendali, dan saat itu terjadi aku akan datang kepadanya.”
semangat thor jangan lupa ngopi☕️