NovelToon NovelToon
The Ceo'S Heart Subtitute

The Ceo'S Heart Subtitute

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Pengganti / CEO / Chicklit
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: flower

--- **“Luna adalah anak angkat dari sebuah keluarga dermawan yang cukup terkenal di London. Meskipun hidup bersama keluarga kaya, Luna tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya sendiri. Ia memiliki kakak perempuan angkat bernama Bella, seorang artis internasional yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pebisnis ternama. Suatu hari, tanpa diduga, Luna justru dijadikan *istri sementara* bagi kekasih Bella. Akankah Luna menemukan kebahagiaannya di tengah situasi yang rumit itu?”**

--- Cerita ini Murni karya Author tanpa Plagiat🌻 cerita ini hanya rekayasa tidak mengandung unsur kisah nyata🌻

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 13 Manisnya Bryan

Saat tatapan Luna terpaku pada suaminya di ruang rapat, tiba-tiba Bryan menoleh ke arah luar. Entah kebetulan atau bukan, pandangan mereka langsung bertemu melalui dinding kaca transparan itu.

Luna terkejut. Ia sempat berniat mengalihkan pandangan, namun tubuhnya seolah membeku. Sementara itu, Bryan memandangnya beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya seolah kehadiran Luna di luar ruangan adalah hal yang tidak bisa ia abaikan.

Sorot mata Bryan yang biasanya tajam saat bekerja berubah lebih lembut ketika melihat istrinya. Ada sedikit senyum yang muncul, sangat tipis, nyaris tak terlihat bagi orang lain di ruangan itu. Namun bagi Luna, senyum itu terasa jelas dan hangat. Luna menelan ludah perlahan. Ia merasa jantungnya berdetak lebih cepat tanpa alasan. Ia tidak menyangka bahwa tatapan seseorang yang begitu berwibawa di ruang rapat bisa berubah selembut itu ketika dialamatkan kepadanya.

Bryan kemudian mengangguk kecil dan tersenyum. Luna membalas dengan anggukan ragu, masih merasa canggung, namun ada perasaan hangat yang menjalar perlahan di dadanya.

Setelah itu, Bryan kembali mengalihkan fokus pada pembahasan rapat, namun ekspresi para direktur sempat berubah bingung karena pria itu terlihat sedikit lebih tenang… dan bahkan tersenyum samar ketika kembali berbicara.

Sementara Luna berdiri di luar kaca, ia memegang tangannya sendiri untuk menyamarkan kegugupan yang tiba-tiba muncul. Tatapan singkat tadi terasa seperti sesuatu yang tidak boleh ia akui, namun sulit untuk diabaikan.

Luna kembali ke ruang kerja Bryan dengan langkah pelan, merasa jauh lebih nyaman berada di ruangan itu dibandingkan menunggu di tempat lain. Ia menutup pintu perlahan dan duduk di sofa dekat jendela, membiarkan cahaya matahari yang masuk menerangi ruangan yang tenang itu.

Waktu pun berlalu.

Satu jam… dua jam… hingga akhirnya hampir memasuki jam makan siang.

Pintu ruangan Bryan terbuka dari luar. Bryan masuk dengan langkah sedikit lelah, melepas jasnya dan menggantungnya di belakang kursi. Saat melihat Luna yang masih setia menunggu di dalam ruangan, ekspresi Bryan langsung melunak.

“Kamu sudah menunggu lama?” tanyanya sambil mendekat.

Luna tersenyum kecil. “Tidak apa-apa."

Bryan menatapnya beberapa detik, seolah menilai apakah Luna benar-benar baik-baik saja, lalu ia mengangguk pelan.

“Kalau begitu,” ucapnya sambil menghela napas lega, “mari kita keluar sebentar. Sudah hampir jam makan siang, dan aku tidak mau kamu menahannya hanya karena aku rapat terlalu lama.”

Bryan mengangkat jemari Luna, menggenggamnya dengan lembut. “Aku tahu tempat yang enak tidak jauh dari kantor. Kita pergi sekarang.”

Mereka pun berjalan keluar bersama, meninggalkan suasana kantor yang sibuk menuju waktu makan siang yang lebih tenang hanya untuk mereka berdua.

.

.

.

Ketika mereka tiba di sebuah restoran dekat kantor, Bryan langsung memesan beberapa hidangan populer yang menjadi andalan tempat itu. Pelayan mencatat dengan cepat, sementara Luna hanya bisa tersenyum kecil melihat suaminya yang tampak sangat yakin dengan pilihannya.

Setelah pelayan pergi, mereka duduk berhadapan sambil menunggu makanan hangat datang. Suasana restoran yang tenang membuat percakapan mengalir lebih lembut. Bryan menyandarkan tubuhnya sedikit ke depan, memperhatikan Luna dengan tatapan hangat.

“Bagaimana kuliahmu akhir-akhir ini, Mia Cara? Apakah semuanya berjalan lancar?”

“Cukup baik, Mio Caro. Ada beberapa tugas yang lumayan berat, tapi aku bisa mengatasinya. Dosen-dosennya juga cukup menyenangkan.”

Bryan mengangguk pelan, senyumnya lembut. “Aku tidak pernah meragukanmu. Kamu selalu bekerja keras. Jangan terlalu memaksakan diri, ya? Aku ingin kamu tetap sehat.”

Luna tersenyum kecil, merasa hatinya menghangat oleh perhatian itu.

Luna menunduk sedikit, pipinya memerah halus. “Kamu selalu tahu cara membuatku merasa dihargai.” Bryan tertawa pelan.

“Itu karena kamu memang berharga, Mia Cara.”

Tak lama kemudian, aroma hidangan yang baru matang mulai mendekat. Pelayan datang membawa makanan satu per satu, memenuhi meja dengan warna dan aroma yang menggugah selera. Namun, sebelum mulai makan, Bryan kembali menatap Luna. “Setelah ini, kalau kamu ingin mampir ke perpustakaan kampus atau membeli sesuatu untuk kuliah, bilang saja padaku. Aku akan antar.”

Luna menggeleng pelan. “Tidak perlu, aku juga tidak terlalu sering membaca buku,” ujarnya dengan nada lembut. Bryan menatap Luna dengan raut bingung. “Mengapa begitu, Mia Cara?” tanyanya, condong sedikit ke arahnya.

Luna tersenyum tipis, matanya berbinar. “Aku sebenarnya lebih tertarik pada menggambar daripada membaca,” tuturnya. “Rasanya setiap garis yang kutorehkan bisa menceritakan sesuatu, jauh lebih cepat daripada kata-kata di halaman buku.” Bryan mengangguk perlahan, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. “Kalau begitu, suatu saat tunjukkan salah satu karyamu padaku. Aku ingin tahu seperti apa dunia yang kau lihat melalui pensilmu, Mia Cara.” Luna tersipu halus, namun jelas terlihat senang mendengar ucapan suaminya.

Setelah cukup lama berbincang, mereka akhirnya menyelesaikan makan siang mereka. Suasana terasa nyaman, seolah waktu berjalan lebih lambat ketika mereka berbicara. Bryan kemudian membayar makanan, dan keduanya bersiap untuk kembali ke kantor. Saat mereka berjalan berdampingan menuju mobil, angin sore yang lembut berembus di sekitar mereka. Luna melirik ke arah suaminya. “Apakah kamu sibuk?” tanyanya pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh keramaian sekitar.

Bryan membuka pintu mobil untuknya, lalu menatap Luna dengan lembut. “Tidak terlalu. Kenapa, Mia Cara?” ucapnya, memperhatikan ekspresi Luna yang tampak ragu-ragu.

“Tidak, aku hanya bertanya saja… aku takut mengganggumu,” ucap Luna pelan, menunduk sedikit. Mereka kini sudah berada di dekat mobil. Cahaya sore jatuh lembut di wajah Luna, membuat Bryan memperhatikan ekspresinya dengan lebih saksama.

Bryan berhenti tepat sebelum membuka pintu mobil, lalu berbalik menghadapnya. “Kau tidak pernah menggangguku, Mia Cara” katanya lembut. “Justru aku senang ketika kau bertanya atau sekadar ingin bercerita.”Luna mengangkat wajahnya, tampak ragu namun tersenyum kecil. Bryan kemudian membuka pintu untuknya.

Saat Luna hendak masuk, Bryan menahan pintu sejenak. “Kalau ada yang ingin kau bicarakan, katakan saja. Aku ingin tahu apa pun yang ada di pikiranmu,” lanjutnya dengan nada tenang. Luna duduk, memperhatikan Bryan yang kini mengitari mobil menuju sisi pengemudi. Hatinya terasa hangat oleh sikap suaminya yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Ketika Bryan masuk dan menyalakan mesin, ia sempat menoleh. “Jadi… apa yang sebenarnya ingin kau tanyakan, Mia Cara?” Luna tersenyum, sedikit malu, namun kali ini tanpa keraguan. “Nanti aku katakan di jalan,” ucapnya lembut. Mobil kemudian melaju perlahan, sementara keheningan nyaman menyelimuti mereka berdua.

Sepanjang perjalanan, Bryan mengemudi dengan pelan, seolah memberi ruang bagi Luna untuk berbicara kapan pun ia siap. Suasana di dalam mobil terasa tenang; hanya suara mesin yang lembut dan cahaya sore yang masuk melalui jendela.

Setelah beberapa menit, Luna akhirnya membuka suara. “Sebenarnya… aku hanya ingin tahu apakah nanti malam kamu pulang lebih cepat,” ujarnya hati-hati, menatap pemandangan di luar jendela. “Aku… ingin menghabiskan waktu bersamamu.”

Bryan meliriknya sekilas, senyum lembut terukir di wajahnya. “Tentu saja aku bisa pulang lebih cepat. Kalau itu membuatmu senang, maka aku tidak keberatan sama sekali, Mia Cara”

Luna menoleh, sedikit terkejut. “Benarkah? Tapi pekerjaanmu—”

“Aku bisa menyesuaikannya,” potong Bryan halus. “Lagipula… sudah lama aku tidak benar-benar meluangkan waktu hanya untuk kita berdua.”

Luna tersipu dan mengalihkan pandangan, namun senyumnya jelas terlihat. Tak lama kemudian, mobil memasuki area kantor Bryan. Ia memarkir kendaraan di tempat khusus di dekat pintu masuk. Sebelum turun, Bryan menatap Luna sekali lagi.

“Nanti sore, ketika jam kerja selesai, aku akan menjemputmu kembali di rumah. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu,” katanya, nada suaranya mengandung misteri kecil. Luna mengerutkan dahi penasaran. “Sesuatu? Apa itu?”

Bryan hanya tersenyum. “Kalau kuceritakan sekarang, tidak akan menarik lagi. Bersiaplah saja, Mia Cara.”Luna tertawa pelan, akhirnya menyadari bahwa suaminya bisa juga bersikap menggoda seperti itu. “Baiklah… tapi jangan membuatku menunggu terlalu lama.”

Bryan membuka pintu mobil, dan sebelum keluar ia menambahkan, “Menunggu adalah hal yang mudah… jika yang kutunggu adalah dirimu.” Luna terpaku sejenak, wajahnya memanas oleh ucapan itu, sementara Bryan melangkah keluar dengan senyum halus yang hanya ia miliki ketika berbicara dengan istrinya.

.

.

.

.

🌻🌻🌻🌻🌻🌻

1
Dwi Winarni Wina
kasian luna diperlukan kayak pembantu sm orgtua angkatnya...
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!