NovelToon NovelToon
Suamiku Ternyata Konglomerat

Suamiku Ternyata Konglomerat

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Pernikahan Kilat / Nikahmuda / CEO
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Indriani_LeeJeeAe

Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.

“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”

Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 > Pernyataan Yang Mengguncang

Pagi hari... langit kota tampak kelabu, seolah ikut menahan napas. Di lantai teratas gedung Varendra Corp, ruang konferensi utama dipenuhi wartawan, analis ekonomi, pemegang saham, dan jajaran direksi. Kamera berjajar rapi. Lampu sorot menyala terang. Semua menunggu satu orang.

Raiden Varendra.

Di balik pintu kaca buram, Raiden berdiri sendirian. Jas hitamnya rapi, rambutnya tersisir sempurna, namun di balik ketenangan penampilannya, pikirannya bergejolak. Keputusan yang akan ia ucapkan hari ini tidak hanya menentukan masa depan perusahaan—

tetapi juga nasib Serene… dan dua nyawa kecil yang belum lahir. Arlo berdiri di sampingnya.

“Semua sudah siap, Tuan.”

Raiden mengangguk pelan. “Bagaimana keadaan Serene?”

“Dia di kamar. Dokter mengatakan kondisi fisiknya stabil, tapi emosinya-”

“Aku tahu,” potong Raiden. “Terima kasih.”

Arlo ragu sejenak. “Tuan… apakah Anda yakin dengan keputusan ini?”

Raiden menatap pintu kaca di depannya. “Tidak.”

“Namun Anda tetap melakukannya?”

“Karena ada hal yang lebih penting daripada keyakinan,” jawab Raiden lirih. “Tanggung jawab.”

Pintu terbuka.

Gemuruh suara kamera dan bisikan langsung memenuhi ruangan. Raiden melangkah masuk dengan langkah mantap, wajahnya dingin, aura dominan yang selama ini membuat dunia bisnis tunduk padanya kembali terasa kuat. Ia duduk di kursi utama. Sejenak, ruangan sunyi. Raiden menatap ke depan, lalu membuka suara.

“Terima kasih sudah hadir,” ucapnya tenang. “Saya tahu beberapa hari terakhir dipenuhi spekulasi, rumor, dan pemberitaan yang tidak sepenuhnya benar.”

Beberapa wartawan langsung mengangkat kamera lebih dekat. “Karena itu,” lanjut Raiden, “hari ini saya akan menyampaikan pernyataan resmi.”

Sementara di lantai lain gedung itu, Serene duduk di tepi ranjang, menatap layar televisi yang menampilkan siaran langsung konferensi pers. Tangannya menggenggam selimut, napasnya tertahan. Ia tahu—apa pun yang akan Raiden katakan, hidup mereka tidak akan sama lagi setelah ini. “Raiden…” bisiknya.

***

“Pertama,” suara Raiden terdengar jelas dari layar, “saya ingin menegaskan bahwa Varendra Corp dalam kondisi stabil. Semua operasional berjalan sesuai rencana, dan tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan.”

Beberapa orang di ruangan mengangguk, sebagian lainnya tetap skeptis.

“Kedua,” Raiden berhenti sejenak, tatapannya mengeras, “Terkait isu personal yang dikaitkan dengan nama saya.”

Ruangan semakin sunyi.

“Selama ini saya memilih diam karena saya percaya urusan pribadi tidak seharusnya menjadi konsumsi publik.”

Serene menelan ludah.

“Tapi,” lanjut Raiden, “ketika urusan pribadi digunakan sebagai alat tekanan dan manipulasi, maka diam bukan lagi pilihan.”

Ia menarik napas dalam. “Saya tidak akan menyangkalnya, saya memiliki tanggung jawab pribadi yang selama ini tidak saya umumkan.”

Bisikan langsung meledak di seluruh ruangan. Serene merasakan jantungnya berdebar keras. “Apa yang dia lakukan…” gumamnya.

Raiden menatap kamera. “Dan mulai hari ini, saya akan bertanggung jawab secara terbuka.”

Salah satu wartawan tak tahan dan langsung bertanya, “Apakah ini terkait dengan isu kehamilan di luar nikah, Tuan Raiden?”

Raiden menoleh ke arah wartawan itu. “Ya.”

Serene menutup mulutnya dengan tangan. “Raiden…” suaranya bergetar.

Raiden melanjutkan, suaranya tetap tenang namun tegas. “Perempuan itu berada di bawah perlindungan saya. Dan apa pun narasi yang beredar... dia tidak pernah menjadi alat atau kesalahan.”

Sedangkan di sudut kota, Aurelia Adrian menonton siaran itu dari tablet di tangannya. Alisnya terangkat tipis. “Oh?” gumamnya. “Menarik.”

Kembali ke ruang konferensi.

“Saya tidak akan membiarkan siapa pun menggunakan isu ini untuk menyerang atau memeras,” ujar Raiden. “Jika ada pihak yang mencoba, maka mereka akan berhadapan langsung dengan saya.”

“Apakah Anda akan menikahinya?” teriak seorang wartawan lain.

Ruangan mendadak tegang. Serene berhenti bernapas. Raiden terdiam. Satu detik. Dua detik.

Waktu terasa berhenti. “Apa yang Raiden lakukan…” Serene berbisik panik.

Raiden akhirnya membuka suara. “Pernikahan bukan alat negosiasi bisnis.”

Jawaban itu seperti petir. Serene merasakan dadanya sesak. “Tapi,” Raiden menambahkan, “saya tidak akan lari dari tanggung jawab sebagai seorang pria.”

“Jadi apa langkah konkret Anda?” tanya wartawan lain.

Raiden berdiri. Langkahnya membuat seluruh ruangan kembali hening. “Langkah saya,” ucapnya, “adalah melindungi keluarga saya... apa pun konsekuensinya.”

Kata itu... Keluarga? Air mata Serene jatuh tanpa bisa dicegah setelah mendengarnya. Namun sebelum perasaan itu sempat berubah menjadi kelegaan, Raiden melanjutkan dengan kalimat yang membuat darah Serene membeku. “Dan untuk itu,” kata Raiden perlahan, “saya akan mengundurkan diri sementara dari jabatan CEO Varendra Corp.”

Ruangan meledak. Serene bangkit berdiri. “Apa?!”

Arlo yang berada di belakang layar langsung menegang. Para direksi saling pandang dengan wajah tak percaya. Sementara Aurelia Adrian tersenyum lebar mendengar keputusan Raiden. “Langkah yang emosional,” gumamnya puas.

Raiden mengangkat tangannya, meminta ketenangan. “Ini keputusan pribadi. Saya akan tetap menjadi pemegang saham utama, namun kendali operasional sementara akan dialihkan.”

“Apakah ini tekanan dari pihak tertentu?” tanya wartawan tajam.

Raiden menatap lurus. “Tidak. Ini pilihan saya.” Namun Serene tahu. Ini bukan pilihan bebas. Ini pengorbanan.

***

Beberapa menit kemudian, konferensi pers berakhir dalam kekacauan. Berita menyebar cepat. Dunia bisnis terguncang. Serene masih berdiri terpaku di depan layar yang kini menampilkan analisis dan komentar ahli.

Ia merasa campur aduk. Raiden telah mengakuinya.

Melindunginya. Namun dengan harga yang terlalu mahal.

Pintu kamar terbuka. Raiden masuk. Tatapan mereka bertemu. Untuk sesaat, tidak ada kata.

Serene yang pertama bicara. “Kau gila?”

Raiden tersenyum tipis. “Mungkin.”

“Kau mengorbankan segalanya,” suara Serene bergetar. “Untuk apa?”

Raiden mendekat. “Untuk menghentikan mereka.”

“Dengan menyerah?” Serene menggeleng. “Itu bukan Raiden yang kukenal.”

Raiden menatapnya dalam-dalam. “Raiden yang kau kenal adalah pria yang bisa kehilangan segalanya… kecuali kau dan anak-anak.”

Serene terdiam. “Kau tidak bertanya padaku,” ucap Serene pelan.

Raiden mengangguk. “Karena jika aku bertanya, kau mungkin akan menolak.”

Serene mengusap perutnya. “Aku tidak ingin kau hancur karena kami.”

“Aku tidak hancur,” jawab Raiden. “Aku sedang memilih.”

Namun sebelum percakapan itu berlanjut, ponsel Raiden berdering. Nomor tak dikenal. Tanpa basa-basi Ia langsung menjawabnya. “Apa yang kau lakukan, Raiden?” suara perempuan terdengar dari seberang.

Serene mengenali suara itu. Dan itu suara Aurelia. Raiden menegang. “Ini bukan urusanmu.”

“Oh, justru ini urusanku sekarang,” jawab Aurelia ringan. “Seluruh pasar gemetar. Dewan panik. Dan kau... kau baru saja membuka celah besar.”

“Apa maumu?” tanya Raiden dingin.

“Aku ingin bertemu,” jawab Aurelia. “Sendiri.”

Serene langsung bereaksi. “Tidak.”

Raiden menatap Serene. “Aku harus.”

“Apa pun yang kau rencanakan, aku tidak setuju,” Serene menggenggam tangannya.

Raiden meremas balik. “Percayalah padaku.”

Tatapan mereka saling mengunci.

Serene mengangguk pelan, meski hatinya menjerit.

***

Malam hari, hujan turun deras. Raiden berdiri di sebuah ruangan privat di hotel mewah. Aurelia masuk dengan mantel panjang, senyum licik menghiasi wajahnya. “Kau terlihat lebih manusiawi hari ini,” ejeknya.

Raiden menatapnya dingin. “Katakan tujuanmu.”

Aurelia duduk santai. “Sederhana. Aku ingin kesepakatan.”

“Aku tidak bernegosiasi dengan pemeras.”

Aurelia terkekeh. “Sayang sekali. Karena sekarang posisi tawarmu… lemah.”

Raiden menyandarkan tangan di meja. “Jangan sentuh Serene.”

“Oh, aku tidak berniat menyentuhnya,” jawab Aurelia ringan. “Aku hanya ingin memastikan masa depan anak-anak itu.”

Raiden membeku. “Apa maksudmu?”

Aurelia tersenyum lebar. “Kau tahu… dunia ini kejam pada anak-anak yang lahir dari skandal. Aku bisa membantu. Atau menghancurkan.”

“Kau tidak berhak-”

“Aku berhak atas segalanya yang kau miliki,” potong Aurelia dingin. “Karena aku tahu satu rahasia yang bahkan Serene belum tahu.”

Raiden menegang. “Rahasia apa?”

Aurelia berdiri, mendekat, lalu berbisik, “Kehamilan itu… bukan kecelakaan biasa.”

Raiden menatapnya tajam. “Apa maksudmu?”

Aurelia tersenyum penuh arti. “Tanyakan pada orang yang paling kau percaya.”

Raiden teringat satu nama. Wajahnya mengeras. Di saat yang sama, di kamar Serene, alarm medis berbunyi nyaring. Serene meringis, memegang perutnya yang tiba-tiba terasa nyeri.

“Nona Serene!” perawat berlari masuk. “Detak jantung salah satu bayi melemah!”

Serene terengah. “Apa… apa yang terjadi?”

Perawat menatap monitor dengan wajah tegang. “Kami harus melakukan pemeriksaan darurat.”

Serene menggenggam ranjang. Air matanya jatuh.

Di tempat lain, Raiden berdiri kaku, ponselnya bergetar dengan panggilan masuk dari rumah sakit. Dua peristiwa. Satu waktu. Satu pilihan.

Raiden menatap layar ponselnya. Dan untuk pertama kalinya… ia merasa benar-benar kehilangan kendali.

***

Apa yang terjadi pada Serene?

To be continued

1
Wayan Miniarti
luar biasa thor... lanjuttt
Li Pena: Siap, Akak.. maacih udah mampir ya 🙏🤭
total 1 replies
Sunarmi Narmi
Baca di sini aku Paham kenapa bnyak yg tdk Like...Di jaman skrng nikah kok berdasar Status apalagi sdh kaya....Bloon bnget kesenjangan sosial bikin gagal nikah apalagi seorang Raiden yg sdh jdi CEO dgn tabungan bnyak...Kkrga nolak ya bawa kbur tuh istri dn uang " mu....Cerdas dikit Pak Ceo..gertakan nenek tidak berpengaruh.masa nenek jdi lbih unggul kan body aja ringkih
Li Pena: Terimakasih sudah mampir dan juga menilai novel ini. maaf bila alur tidak sesuai yang diharapkan dan juga banyak salahnya, mohon dikoreksi agar author bisa belajar lebih banyak lagi 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!