Alistair, seorang pemuda desa yang sederhana, mendapati dirinya dihantui oleh mimpi-mimpi aneh tentang pertempuran dan pengkhianatan. Tanpa disadarinya, ia adalah reinkarnasi dari seorang ksatria terhebat yang pernah ada, namun dikutuk karena dosa-dosa masa lalunya. Ketika kekuatan jahat bangkit kembali, Alistair harus menerima takdirnya dan menghadapi masa lalunya yang kelam. Dengan pedang di tangan dan jiwa yang terkoyak, ia akan berjuang untuk menebus dosa-dosa masa lalu dan menyelamatkan dunia dari kegelapan abadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhimas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22 Cahaya Abadi
Seratus tahun telah berlalu sejak kepergian Alistair. Dunia telah berubah jauh—teknologi dan sihir bekerja bersama untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi semua orang. Akademi di Silverwood telah menjadi lembaga paling terkenal di dunia, melahirkan pejuang cahaya, penyihir, dan pemimpin yang penuh kasih. Monumen Alistair di Willow Creek telah menjadi tempat ziarah, di mana orang-orang datang untuk mencari semangat dan keberanian.
Alistair—putra Valerius dan cucu dari Gideon—sekarang berusia lima puluh tahun. Ia adalah pemimpin akademi di Silverwood dan pemegang Cahaya Keberanian, yang telah berkembang menjadi pedang yang tidak hanya memiliki kekuatan cahaya, tetapi juga bisa menyalurkan kekuatan kebaikan dari orang-orang di sekitarnya. Saudaranya, Elara, berusia empat puluh delapan tahun, adalah pemimpin Ordo Cahaya yang telah mengembangkan sihir cahaya yang bisa menyembuhkan tidak hanya luka tubuh, tetapi juga luka jiwa.
Keduanya memiliki keluarga yang besar. Alistair telah menikahi seorang penyihir bernama Lira, dan mereka memiliki tiga anak: Gideon, Valerius, dan Lyra. Elara telah menikahi seorang ksatria bernama Kael, dan mereka memiliki dua anak: Merlin dan Thranduil. Semua anak itu telah mulai belajar sihir dan keterampilan bertempur, bersiap untuk melanjutkan warisan keluarga.
Pada hari yang cerah, seluruh keluarga berkumpul di puncak bukit di dekat Silverwood, mengingat hari kelahiran Alistair—kakek buyut mereka. "Kakek buyut kita telah mengajarkan kita bahwa keberanian bukanlah tidak takut," kata Alistair kepada anak-anaknya. "Keberanian adalah berani menghadapi takutmu, baik dari luar maupun dari dalam."
Tiba-tiba, seorang penyihir dari Ordo Cahaya mendatangi mereka dengan wajah yang serius. "Maaf mengganggu, Pak Alistair," katanya. "Ada berita buruk. Sebuah wabah 'kegelapan jiwa' telah menyebar di benua selatan. Orang-orang yang terkena wabah itu kehilangan rasa kasih, kepercayaan, dan harapan. Mereka menjadi sombong dan kejam, dan mulai menyerang orang lain."
Alistair mengerutkan kening. "Kegelapan jiwa? Aku pernah mendengar tentang itu dari buku-buku kuno. Itu adalah sihir gelap yang paling berbahaya—karena ia tidak membunuh orang, tetapi merusak hati dan jiwa mereka."
Elara mengangguk. "Kita harus pergi ke benua selatan untuk mengatasi ini. Tapi, sihir ini tidak bisa dihadapi dengan kekuatan fisik saja. Kita membutuhkan kekuatan kebaikan dan kebersamaan."
Alistair setuju. Ia memanggil para pemimpin akademi, Ordo Cahaya, dan Hutan Elven. Mereka memutuskan untuk mengirim pasukan yang terdiri dari penyihir, ksatria, dan pemburu—tetapi juga guru, dokter, dan pencerita cerita—karena mereka tahu bahwa kekuatan kebaikan terletak tidak hanya di senjata dan sihir, tetapi juga di kasih dan perhatian.
Beberapa hari kemudian, pasukan berangkat ke benua selatan. Mereka berjalan selama tiga minggu, melewati hutan, danau, dan pegunungan, sampai akhirnya mereka tiba di kota pertama yang terkena wabah. Kota itu sunyi dan suram—orang-orang berdiri sendirian, tidak berbicara, dengan mata yang kosong dan tanpa harapan.
"Lihat itu," bisik Elara, merasa sedih. "Kegelapan telah merusak semua yang indah di kota ini."
Mereka memulai pekerjaan mereka. Para penyihir menggunakan sihir cahaya untuk menyembuhkan luka jiwa orang-orang. Para ksatria membela kota dari orang-orang yang telah menjadi kejam. Para guru mengajar anak-anak tentang kebaikan dan persahabatan. Para dokter merawat orang-orang yang terluka. Dan para pencerita cerita menceritakan cerita tentang Alistair dan pejuang cahaya, untuk memberitahu orang-orang bahwa harapan masih ada.
Tetapi, wabah itu semakin menyebar. Bahkan beberapa anggota pasukan mulai terkena kegelapan jiwa, menjadi sombong dan tidak mau bekerja sama. Alistair merasa khawatir—mereka tidak cukup cepat untuk menghentikannya.
Satu malam, Alistair berdiri di tengah kota, memegang Cahaya Keberanian. Ia memikirkan semua orang yang terkena wabah, semua yang hilang harapan. Ia memikirkan warisan kakek buyutnya, dan apa yang ia telah ajarkan.
"Tidak cukup dengan hanya menyembuhkan mereka," bisik ia. "Kita harus membuat mereka percaya lagi pada kebaikan. Kita harus menunjukkan kepada mereka bahwa mereka tidak sendirian."
Alistair memanggil seluruh pasukan dan penduduk kota yang masih memiliki harapan. "Kita akan melakukan sesuatu yang berbeda," katanya. "Kita akan mengadakan pesta—pesta untuk merayakan kehidupan, persahabatan, dan kebaikan. Kita akan menunjukkan kepada kegelapan bahwa kebersamaan kita lebih kuat dari apa pun."
Mereka mulai mempersiapkan pesta. Mereka membuat makanan, memainkan musik, dan menari. Meskipun sebagian orang masih ragu, mereka mulai tertarik dengan kegembiraan. Beberapa orang yang terkena wabah mulai datang dan berdiri di kejauhan, melihat pesta dengan mata yang bingung.
Alistair berdiri di tengah pesta dan mulai berbicara. "Kita semua telah mengalami kesulitan. Kita semua telah merasa sedih dan sendirian. Tapi, ingatlah: kebaikan selalu ada di dalam kita, bahkan ketika kita tidak melihatnya. Dan ketika kita bersatu, kekuatan kebaikan kita akan mengalahkan segala kegelapan."
Ia mengangkat Cahaya Keberanian, dan kekuatan pedang itu menyebar ke seluruh kota. Cahaya itu tidak menyakiti siapa pun—ia hanya memberikan rasa hangat dan harapan. Perlahan-lahan, orang-orang yang terkena wabah mulai bergerak mendekati pesta. Beberapa orang mulai menangis, merasakan rasa kasih dan persahabatan yang telah lama hilang.
Tiba-tiba, pemimpin yang menyebabkan wabah—seorang wanita bernama Lirael (yang dinamai pengkhianat lama, karena dia juga telah hilang harapan)—muncul. Ia berdiri di kejauhan, melihat pesta dengan mata yang penuh kebencian.
"Kamu tidak bisa mengalahkan kegelapan dengan pesta!" teriak ia. "Kegelapan selalu akan menang!"
Alistair mendekatinya dengan hati-hati. "Mengapa kamu melakukan ini?" tanya ia. "Mengapa kamu ingin merusak hidup orang lain?"
Lirael menangis. "Saya hilang semua yang saya cintai. Saya merasa sendirian dan tidak berharga. Saya berpikir bahwa jika semua orang merasa seperti saya, saya tidak akan sendirian lagi."
Alistair memegang tangannya dengan lembut. "Kamu tidak sendirian. Kita semua ada di sini untukmu. Kebaikan tidak akan menghilangkan kesedihanmu, tetapi ia akan membantu kamu melaluinya."
Cahaya dari Cahaya Keberanian menyentuh Lirael, dan ia merasakan rasa hangat yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ia menangis dengan lepas, menyadari kesalahannya. "Maaf," bisik ia. "Saya menyesal."
Lirael membantu mereka mengakhiri wabah. Ia menggunakan sihirnya untuk membatalkan mantra yang ia buat, dan perlahan-lahan, kegelapan jiwa mulai menghilang dari benua selatan. Orang-orang mulai pulih, dan kota-kota menjadi cerah dan makmur lagi.
Ketika mereka kembali ke Silverwood, seluruh dunia merayakan kemenangan mereka. Para pemimpin dari seluruh dunia datang untuk menghormati Alistair, Elara, dan pasukan mereka—karena mereka telah menunjukkan bahwa kekuatan kebaikan dan kebersamaan lebih kuat dari kekuatan kegelapan apa pun.
Pada malam itu, seluruh keluarga Alistair berkumpul di puncak bukit di dekat Silverwood. Mereka melihat matahari terbenam, dan bintang-bintang mulai muncul di langit.
"Kakek buyut kita telah membangun warisan cahaya," kata Alistair kepada anak-anaknya. "Dan kita telah melanjutkannya. Tapi, warisan ini bukan hanya tentang kekuatan atau keberanian. Ini tentang kebaikan, persahabatan, dan kebersamaan. Karena hanya dengan itu, kita bisa mengatasi segala kegelapan yang muncul."
Anak-anaknya mengangguk, memahami maknanya. Gideon, yang sekarang berusia dua puluh tahun, mengambil Cahaya Keberanian dari ayahnya. Ia memegang pedang itu dengan penuh kebanggaan, siap untuk melanjutkan warisan yang telah dilewatkan selama empat generasi.
Di langit, bintang-bintang menyala terang, seolah-olah Alistair—kakek buyut mereka—sedang tersenyum dan bangga. Cahaya yang ia mulai seratus tahun yang lalu telah tumbuh menjadi nyala yang besar, menyinari seluruh dunia dan memberikan harapan kepada semua orang.
Dan demikian, cerita warisan cahaya berlanjut—dari generasi ke generasi, dari satu pahlawan ke pahlawan berikutnya—selalu menyala, selalu siap untuk menghadapi kegelapan, dan selalu mengingatkan dunia bahwa kebaikan akan selalu menang pada akhirnya.