"Briana Anderson, seorang miliarder berusia 30 tahun, bagaikan menggenggam dunia di tangannya. Dingin, penuh perhitungan, dan pemilik perusahaan multijutaan dolar, ia dikenal sebagai wanita yang selalu mendapatkan segala yang diinginkannya... hingga ia bertemu Molly Welstton.
Molly, yang baru berusia 18 tahun, adalah kebalikan sempurna dari Briana. Polos, pemalu, dan penuh dengan impian, ia berfokus pada studinya di jurusan manajemen bisnis. Namun, hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat ketika jalan hidupnya bersilangan dengan CEO paling berkuasa dan posesif di New York.
Apa yang awalnya adalah ketertarikan sederhana, berubah menjadi sebuah obsesi yang membara. Briana bertekad untuk memiliki Molly dalam hidupnya dan akan melakukan segalanya untuk melindungi gadis itu dari ancaman apa pun — nyata atau hanya dalam bayangannya.
Akankah cinta Briana yang posesif dan menguasai cukup kuat untuk meluluhkan kepolosan Molly? Atau justru gairah cemburu si miliarder akan membuat Molly terasa terkurung? Sebuah kisah tentang kekuasaan, kontrol, dan cinta yang menantang semua aturan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Raylla Mary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22
"Beberapa Bulan Kemudian"
Waktu berlalu, tetapi tidak ada yang tampak lebih sederhana dalam diri Briana dan Molly.
Tiga bulan telah berlalu sejak malam itu ketika semuanya berubah, dan setiap hari ikatan antara keduanya menjadi lebih kuat — dan lebih berbahaya.
Hubungan yang dulunya malu-malu dan terkendali, berubah menjadi sesuatu yang hampir tak terhindarkan.
Molly menghabiskan lebih banyak waktu di apartemen Briana daripada di asrama universitasnya sendiri. Pagi hari dipenuhi dengan tawa dan kopi yang kuat; malam hari, campuran keheningan dan sentuhan.
Tetapi, di suatu titik antara cinta dan kecanduan, batas-batas mulai kabur.
Briana Anderson tidak pernah menjadi wanita yang memberi ruang.
Pemilik perusahaan miliarder, dia memerintah sebuah kerajaan dengan tangan besi dan pandangan yang diperhitungkan. Tapi, dengan Molly, itu berbeda.
Molly adalah titik lemah yang dia sembunyikan dari dunia — rahasia yang memberi makna pada dini hari dan, pada saat yang sama, membuatnya kehilangan kendali yang selalu mendefinisikannya.
Rutinitas mengikuti ritme yang aneh.
Pada siang hari, Briana adalah CEO yang kejam: rapat, perjalanan, janji temu.
Pada malam hari, dia berubah menjadi sesuatu yang lebih manusiawi, hampir rentan, ketika Molly ada di dekatnya.
Tetapi dalam beberapa minggu terakhir, segalanya mulai berubah.
Molly tumbuh.
Lebih percaya diri, lebih tegas — dan dengan kecantikan yang menarik perhatian ke mana pun dia pergi.
Briana memperhatikan tatapan orang lain.
Rekan-rekan kuliah. Para peserta magang yang datang ke kantor pusat perusahaan.
Dan setiap tatapan yang tertuju pada Molly seperti percikan api yang menyulut kecemburuan di dalam dirinya.
Pada hari Jumat itu, Briana kembali dari rapat yang panjang.
Mobil melaju melalui jalan-jalan New York yang diterangi lampu saat dia memikirkan Molly.
Mereka telah merencanakan makan malam, tetapi keterlambatan tidak bisa dihindari.
Ketika dia tiba di apartemen, suara tawa lirih membuatnya berhenti di pintu.
Molly berada di dapur dengan dua teman kuliahnya — salah satunya, Bianca, orang yang sama yang sudah tidak disukai Briana sejak pesta.
Ketiganya tertawa, minum anggur.
Molly mengenakan gaun sederhana, tetapi ketat, yang menonjolkan lekuk tubuhnya secara alami. Rambutnya yang diikat memperlihatkan lehernya, dan Briana merasakan sesuatu di dalam dirinya mendidih.
— Ah… lihat siapa yang datang! — kata Molly, tersenyum, polos. — Bri, ini Bianca, ingat dia?
Briana melayangkan tatapan yang bisa membekukan anggur di gelas.
— Ingat, ya. — jawabnya, suaranya tegas dan dingin. — Sulit untuk dilupakan.
Bianca tampak menyadari ketidaknyamanan itu dan bangkit dengan cepat.
— Aku… kurasa sudah larut. Senang bertemu denganmu, Molly. Sampai jumpa lagi.
Begitu pintu tertutup, keheningan kembali.
Molly berbalik perlahan, merasakan beratnya tatapan Briana.
— Jangan mulai, Briana. — katanya, mencoba terdengar tenang. — Mereka hanya datang mengunjungiku.
— Mengunjungi? — Briana mengangkat alis. — Atau memprovokasimu?
— Ya Tuhan, Briana, kamu melebih-lebihkan. Bianca adalah teman sekelasku.
— Gadis itu menatapmu seolah dia menginginkan lebih dari sekadar persahabatan.
— Dan jika dia menginginkannya? — Molly menjawab tiba-tiba, kesal. — Aku bukan properti, Briana.
Udara tampak berhenti.
Briana maju selangkah, tatapannya tajam, tetapi dia tidak berteriak.
Dia hanya memegang wajah Molly dengan erat.
— Kamu mungkin bukan propertiku — katanya, suaranya rendah dan berbahaya. — Tetapi kamu adalah satu-satunya orang yang aku inginkan di dekatku. Dan aku tidak akan membagi itu dengan siapa pun.
Molly menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan jantungnya.
Sebagian dari dirinya ingin bertengkar, mengatakan bahwa itu terlalu mengendalikan.
Tetapi bagian yang lain — bagian yang tersesat dalam tatapan Briana — hanya ingin memeluknya, merasa aman lagi.
— Aku tidak ingin kehilanganmu — kata Molly, akhirnya, suaranya lebih lembut. — Tetapi aku juga tidak ingin hidup dengan takut akan kecemburuanmu.
Briana menghela napas berat, menjauh.
— Kamu tidak mengerti, sayang. Ketakutan itu bukan karena kehilanganmu untuk orang lain. Itu karena kehilanganmu untuk dunia.
— Dunia? — Molly mengulangi, bingung.
— Ya. — Briana menatapnya, matanya berkaca-kaca untuk pertama kalinya. — Kamu tumbuh, Molly. Belajar, menjadi lebih percaya diri. Dan aku… aku tidak tahu apakah aku bisa menjadi bagian dari pertumbuhan itu tanpa ingin melindungimu dari segalanya.
Keheningan di antara mereka lebih menyakitkan daripada pertengkaran apa pun.
Molly mendekat, menyentuh tangannya.
— Briana, aku tidak menginginkan dunia jika itu tidak bersamamu di dalamnya.
Briana menatapnya, hatinya terbagi antara kebanggaan dan penyerahan.
Gadis bermata manis itu telah menjadi pusat hidupnya — dan itu, bagi seorang wanita seperti Briana Anderson, terlalu menakutkan.
Dia menariknya mendekat dan memeluknya erat, aroma Molly menyerbu setiap indra.
— Berjanjilah bahwa kamu tidak akan meninggalkanku? — tanyanya pelan.
— Aku berjanji. — jawab Molly, tegas, menyandarkan wajahnya di wajahnya. — Tetapi berjanji padaku satu hal juga: bahwa kamu akan percaya padaku.
Briana ragu-ragu.
Percaya berarti membuka celah. Dan membuka celah adalah kebalikan dari apa yang dia tahu bagaimana melakukannya.
Tetapi tatapan Molly begitu murni, begitu penuh keyakinan, sehingga untuk pertama kalinya, Briana menyerah.
— Aku percaya padamu, sayang. — katanya, hampir berbisik. — Bahkan ketika kecemburuan membuatku gila.
— Dan aku mencintaimu, bahkan ketika itu membuatku takut. — Molly menjawab, tersenyum kecil.
Keduanya berdiri di sana, berpelukan di tengah ruangan, sementara jam menandai waktu sunyi kota.
Di luar, New York tetap bersemangat dan impersonal, tetapi di dalam apartemen itu, cinta dua wanita berjuang melawan bayangan mereka sendiri.
Ketika malam tiba, Briana membawanya ke kamar tidur.
Mereka berbaring bersama, dalam diam.
Briana, dengan tatapan kosong di langit-langit, tahu bahwa cinta mereka adalah api — indah, intens, dan berbahaya.
Namun, dia tidak akan menukar kekacauan itu dengan apa pun di dunia ini.
Molly, meringkuk di lengannya, menutup mata dengan senyum tenang.
Dia tahu bahwa mencintai Briana adalah berjalan di medan yang tidak pasti, tetapi dia juga tahu bahwa perasaan itu adalah yang paling benar yang pernah dia rasakan.
Dan sementara cahaya bulan memandikan kamar, keduanya mengerti — tanpa mengucapkan sepatah kata pun — bahwa cinta yang menyatukan mereka tidak akan mudah.
Tetapi itu akan menjadi milik mereka.
Dan itu sudah cukup untuk terus berjuang.