NovelToon NovelToon
Luka Yang Mengajarkan Pulang

Luka Yang Mengajarkan Pulang

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:910
Nilai: 5
Nama Author: RARESKA

Novel ini menceritakan tentang perjalanan seorang anak perempuan sulung yang baru menikah karena perjodohan. Ketika ia baru saja merasakan masa awal pernikahan tiba-tiba ia dihantam badai besar. Perceraian kedua orang tuanya setelah 30 tahun bersama, kematian keponakan yang baru 8 bulan dalam kandungan, serta pernikahan kembali Ibunya hanya 7 bulan setelah perceraian. Di tengah luka, ia berusaha membangun rumah tangganya sendiri yang masih rapuh. Hingga akhirnya, di usia 2 tahun pernikahannya, ia diberi rezeki yaitu kehamilan yang mengubah seluruh cara pandangnya tentang keluarga,takdir dan kesembuhan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RARESKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Badai Duka Yang Berlapis

   Langit Bandung tampak kusam pagi itu, seolah ikut berkabung atas kehilangan yang menyesakkan dada Alya. Hujan gerimis turun tipis-tipis, memercik di kaca jendela ruang tamu rumah orang tuanya. Sejak pulang dari rumah sakit semalam, ia terus duduk di sudut sofa, memeluk lutut, diam tanpa suara. Jaket tipis yang ia kenakan masih berbau antiseptik dari ruang bersalin bau yang kini membuatnya ingin muntah setiap kali teringat suara mesin monitor yang berhenti berbunyi.

   Semua terasa seperti mimpi buruk yang berlubang-lubang.

   Alya bahkan tak ingat bagaimana ia kembali dari rumah sakit. Yang ia ingat hanya tubuh kecil bayinya… itu pun tidak bergerak.

   Tidak ada tangisan, tidak ada napas, tidak ada genggaman kecil yang seharusnya menyentuh jarinya, hanya keheningan. Keheningan yang kini merambat ke seluruh hidupnya.

   Dari dapur, suara bisik-bisik samar terdengar. Laras, adiknya, menangis pelan sambil memegang segelas teh hangat. “Kasihan Kak Alya…” suaranya pecah. “Padahal dia begitu jaga kandungannya.”

   Ibu mereka, Bu Murni, hanya menggeleng lemah sambil membasuh wajah yang bengkak karena menangis. “Ini ujian yang berat… Allah tahu, Nak.”

   Alya tak ingin mendengar apa pun. Tak ingin menoleh. Bahkan napasnya pun terasa berat.

   Ardi berdiri di belakang sofa, tak jauh darinya. Sejak semalam lelaki itu tidak pergi ke mana pun. Matanya sembab. Tapi ia menjaga jarak, seolah takut menyentuh Alya, takut salah, takut merusak suasana yang sudah hancur.

   Padahal jarak itu justru menusuk lebih dalam di dada Alya. Ia butuh dipeluk. Ia butuh disangga. Ia butuh merasa tidak sendirian.

   Tapi Ardi hanya berdiri. Sesekali memijat tengkuknya sendiri, seperti tak tahu bagaimana harus bersikap.

   Alya menggigit bibirnya, menahan sesak yang kembali naik ke dada.

   “Kalau saja kamu… lebih siap jadi ayah,” gumamnya dalam hati, pahit.

   Ia ingat banyak malam saat ia memegang perutnya sendiri, mengelusnya sambil berbicara pada janin kecil itu… sementara Ardi sibuk dengan dunianya, pekerjaannya, kebiasaan melamunnya, dan jarak batin yang semakin hari semakin melebar.

   Pintu kamar sebelah terbuka. Dimas muncul sambil membawa selimut tebal. Ia menghampiri kakaknya perlahan.

   “Kak… dingin. Pakai ini ya.”

   Alya menoleh sekilas, mencoba tersenyum, tapi wajahnya kembali jatuh.

   “Terima kasih, Mas…” suaranya nyaris tak terdengar.

   Dimas tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menepuk bahu Alya, lalu mundur beberapa langkah memberi ruang tapi tetap ada. Raka, adik paling bungsu, berdiri di belakangnya sambil menatap Alya seperti anak kecil yang takut melihat ibunya menangis.

   Rumah itu penuh orang… tapi tetap terasa amat sepi. Alya memeluk dirinya lebih erat.

   Waktu berlalu lambat, seperti jam pasir yang butiran pasirnya membeku di tengah. Hujan makin deras, memukul-mukul genteng, tapi suara itu justru menenangkan Alya sedikit. Paling tidak hujan menangis untuknya ketika ia sudah tak mampu lagi.

   Ardi akhirnya mendekat, duduk di kursi kecil di hadapan istrinya.

   “Ya…” suaranya serak. “Kalau kamu butuh apa-apa, bilang sama aku, ya.”

   Alya mengangkat wajahnya perlahan. Mata mereka bertemu. Hanya satu detik. Tapi cukup untuk menunjukkan betapa jauhnya mereka sebenarnya.

   Dengan suara pelan, Alya berkata, “Aku cuma… ingin semuanya tidak berakhir begini.”

   Ardi seperti tersengat. “Aku juga nggak mau begini, Ya. Aku juga sakit. Kamu pikir… aku nggak kehilangan?” suaranya bergetar.

   Alya membuka mulut, ingin membalas, tapi kata-katanya hilang.

   Ya. Ardi kehilangan. Ia tahu. Tapi kehilangan seorang ibu tidak sama dengan kehilangan seorang ayah.

   Alya yang mengandung, merasakan tendangan itu. Alya yang menunggu. Alya yang bermimpi. Alya yang sekarang hancur. Dan ia tidak mampu menjelaskan rasa itu pada siapa pun bahkan pada Ardi.

   Sore hari, Laras duduk di samping kakaknya. Ia menggenggam tangan Alya.

   “Kak… besok kita ke pemakaman, ya. Biar Kakak bisa pamit beneran.”

   Alya menunduk. Air matanya jatuh pelan.

   “Aku takut, Ras…”

   Laras mengusap punggung kakaknya lembut. “Takut kenapa?”

   “Takut… kalau aku lihat lagi… aku nggak kuat berdiri.”

   Laras menahan tangisnya sendiri. “Kakak kuat. Dari dulu Kakak selalu kuat. Bahkan waktu… Kakak nikah karena pilihan keluarga, Kakak tetap tegar. Kakak bisa, Kak.”

   Kalimat itu menusuk.

   Benar, hidupnya selalu tentang bertahan. Tentang menerima keadaan. Tentang menepis luka sambil tetap tersenyum. Tapi kali ini… lukanya terlalu dalam.

   Alya akhirnya bersandar di bahu Laras, menangis untuk pertama kalinya sejak semalam.

   Tangisan panjang. Tangisan yang tertahan berbulan-bulan. Tangisan yang membuat dadanya terasa kosong.

   Ardi yang berdiri dari jauh mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras. Ia ingin menghampiri Alya. Ingin memeluk istrinya. Ingin mengatakan bahwa ia tidak kemana-mana.

   Tapi langkahnya seakan dikunci oleh rasa bersalah. Rasa bersalah karena tidak cukup hadir. Tidak cukup peka. Tidak cukup jadi suami yang seharusnya. Dan kini semuanya terlambat.

   Malam tiba. Rumah mulai sepi. Angin masuk dari celah jendela, membawa bau tanah basah dari luar. Alya duduk di kamar lamanya, menatap kotak kecil yang diberikan rumah sakit kotak berisi pakaian bayi yang seharusnya dipakai hari pertama pulang.

   Ia membuka perlahan. Ada baju putih kecil. Sarung tangan mungil. Sepasang kaos kaki.

   Dan topi bayi yang ia pilih sendiri saat usia kandungannya tujuh bulan.

   Alya meraba kain kecil itu. Tiba-tiba dadanya kembali sesak.

   “Harusnya… kamu sekarang tidur di dadaku,” bisiknya.

   Ardi berdiri di ambang pintu kamar. “Ya…”

   Alya tidak menoleh. Ardi masuk beberapa langkah. “Boleh aku duduk?”

   Alya mengangguk tanpa suara.

   Ardi duduk di ujung ranjang. Hening panjang mengisi udara. “Aku… minta maaf,” katanya akhirnya.

   “Kalau selama ini aku banyak kurangnya. Kalau aku tidak bisa jadi suami yang kamu bayangkan. Aku… bener-bener minta maaf, Ya.”

   Alya terdiam. Ia memejamkan mata.

   “Ardi…” suaranya lemah. “Aku nggak butuh suami yang sempurna. Aku cuma butuh kamu ada. Itu aja.”

   Air mata Ardi akhirnya jatuh. Ia maju, memeluk Alya perlahan, takut istrinya rapuh. Untuk pertama kalinya sejak semalam, Alya membalas pelukan itu. Dan keduanya menangis bersama. Dalam keheningan malam Bandung yang dingin.

   Mereka masih hancur, masih terluka, masih kehilangan, tapi untuk pertama kalinya sejak tragedi itu…

   Alya merasa Ardi benar-benar ada di sisinya. Badai duka itu belum selesai. Tapi setidaknya, kini mereka menghadapinya bersama.

   Pelukan itu berlangsung lama. Terlalu lama bagi dua orang yang sudah lama belajar menahan perasaan masing-masing. Alya masih menangis dalam diam, sementara Ardi menahan isaknya sendiri agar tidak terdengar pecah. Ia tahu, jika ia ikut lepas, Alya bisa runtuh lebih dalam.

   Beberapa menit kemudian, Alya melepaskan pelukannya lebih dulu.

   “Aku capek, Di…” katanya lirih. “Capek bertahan, capek kuat terus.”

   Ardi mengangguk pelan. “Istirahatlah. Kamu nggak perlu jadi kuat hari ini. Aku yang akan jagain kamu.”

   Alya tersenyum tipis, senyum yang rapuh.

   Keesokan paginya, rumah kembali ramai. Beberapa kerabat datang untuk melayat secara sederhana. Tidak ada keramaian besar. Tidak ada tradisi panjang. Hanya doa-doa lirih untuk satu nyawa kecil yang bahkan belum sempat diberi nama.

   Alya duduk di kursi roda kecil yang disiapkan Dimas. Tubuhnya masih lemah. Jalan beberapa langkah saja membuat kepalanya berkunang-kunang. Ardi mendorong kursi itu perlahan, sementara Laras berjalan di samping Alya sambil terus menggenggam tangannya.

   Raka berjalan beberapa langkah di belakang mereka, membawa payung hitam. Wajah bocah itu pucat, matanya tampak cemas.

   Di pemakaman, tanah masih basah oleh sisa hujan semalam. Angin berembus pelan, membuat daun pohon kamboja berguguran satu-satu.

   Alya menatap liang kecil itu. Liang yang terlalu kecil…Untuk kehilangan yang terlalu besar.

   Saat jenazah kecil itu diturunkan, kaki Alya gemetar. Tangannya mencengkeram lengan Laras kuat-kuat.

   “Ras… jangan tinggalin aku…” bisiknya ketakutan.

   “Aku di sini, Kak. Selalu.”

   Doa dibacakan. Suara ustaz terdengar sayup di telinga Alya. Ia tidak sepenuhnya mendengar kata demi kata. Yang ia rasakan hanya satu: kekosongan yang seperti ditarik paksa dari dalam dadanya.

   Saat tanah mulai menutup liang itu, tangisan Alya pecah tak tertahankan.

   “Anakku…”

   Itu adalah pertama kalinya ia menyebutnya dengan lantang.

   Ardi memeluknya dari belakang, ikut menangis dalam diam. Para pelayat menunduk. Tidak ada yang sanggup menatap mereka terlalu lama. Duka itu terlalu nyata.

   Saat semuanya selesai, Alya masih mematung di depan gundukan tanah kecil itu.

   “Sebentar lagi, Ya,” bujuk Ardi lembut. “Kamu capek.”

   Alya akhirnya mengangguk pelan.

   Saat ia beranjak pergi, ia menoleh sekali lagi. “Maafin Mama… belum bisa jaga kamu lebih lama.”

   Dan ia pergi dengan bahu yang terasa jauh lebih berat dari sebelumnya.

   Sepulang dari pemakaman, Alya kembali jatuh sakit. Tubuhnya menggigil meski diselimuti tebal. Demam naik. Bu Murni mondar-mandir dengan kecemasan di wajahnya.

   “Ini nggak bisa dibiarkan. Harus ke dokter,” katanya tegas.

   Ardi mengangguk cepat. “Saya siap antar sekarang.”

   Di dalam mobil, Alya terbaring lemah di kursi belakang. Pandangannya kosong menatap atap mobil. Bandung terasa sunyi, meski lalu lintas tetap berjalan. Dunia seolah terus bergerak, sementara hidupnya berhenti di satu titik yang sama.

   “Habis ini… hidupku masih ada artinya nggak, Di?” tanyanya tiba-tiba.

   Ardi mengerem sedikit lebih pelan. Ia menoleh melalui kaca spion.

   “Apa pun yang terjadi, kamu tetap berarti. Buat aku. Buat keluarga kita.”

   Alya menutup matanya.

   Ia ingin percaya.

   Malam itu setelah diberi obat, demam Alya turun. Namun tubuhnya masih terasa seperti bukan miliknya sendiri. Setiap memejamkan mata, bayangan ruang bersalin kembali muncul. Suara mesin. Lampu putih. Wajah dokter yang serius.

   Ardi duduk di samping ranjang, menatap istrinya penuh khawatir.

   “Aku di sini. Tidurlah,” ujarnya lembut.

   Alya meraih tangan Ardi. “Jangan pergi…”

   “Aku nggak ke mana-mana.”

    Sekali lagi, mereka terdiam dalam sunyi.

    Namun di balik keheningan itu, badai belum sepenuhnya reda.

    Tidak semua duka datang dengan air mata. Sebagian datang dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang menyiksa.

    Beberapa tetangga mulai berbisik. Ada yang berkata ini hanya takdir. Ada pula yang mulai berspekulasi:

   “Apa karena kecapekan?”

   “Apa karena stres?”

   “Apa karena rumah tangganya memang sudah bermasalah?”

   Kata-kata itu sampai ke telinga Alya tanpa ada yang benar-benar bermaksud menyakitinya. Tapi tiap kalimat itu menusuk seperti duri.

   Ia merasa gagal sebagai istr, sebagai ibu.

   Ardi mulai merasakan tekanan itu juga. Tatapan orang tak lagi sama. Seolah rumah tangganya memang sudah lama retak, dan kehilangan ini menjadi pembenaran dari semuanya.

   Dan di tengah tekanan itulah, jarak kecil yang sempat tertutup oleh pelukan, kembali mulai terasa.

   Malam ketiga setelah pemakaman, Alya tidak bisa tidur sama sekali. Ia bangkit perlahan dari ranjang dan berjalan ke ruang tamu. Lampu kecil masih menyala. Ardi tertidur di sofa, selimut menutupi sebagian tubuhnya.

  Alya duduk di lantai, memeluk lututnya. Seharusnya… ada suara tangis bayi di rumah ini. Seharusnya… ada botol susu, popok, dan begadang. Seharusnya… hidupnya memasuki babak baru.

   Namun yang ia dapat justru sunyi yang menggigit. “Apa ini semua hukuman?” gumamnya pelan. Air mata kembali jatuh.

   Ia takut jika suatu hari nanti… ia tak lagi sanggup mencintai hidupnya sendiri.

   Dari sofa, Ardi terbangun. Ia melihat Alya di lantai dan langsung duduk.

   “Kenapa kamu di situ?”

   Alya tidak menjawab. Ardi turun, duduk di hadapannya.

   “Kamu nggak sendirian, Ya,” katanya sambil menggenggam wajah Alya lembut. “Kita berdua terluka. Tapi selama kita masih saling pegang, kita belum sepenuhnya kalah.”

   Alya menatap mata Ardi lama.

   Dalam luka yang sama, mereka berdiri di dua titik yang berbeda.

  Dan dari situlah badai duka itu menjadi semakin berlapis bukan hanya tentang kehilangan seorang anak, tetapi juga tentang pertaruhan kasih di antara mereka.

   Badai itu belum akan selesai.

   Bahkan baru saja dimulai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!