NovelToon NovelToon
Cinta Selamanya

Cinta Selamanya

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi / Perjodohan / Romantis / Fantasi / Cinta Murni / Mengubah Takdir
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: eloranaya

Raisa tidak menyangka bahwa hidup akan membawanya ke keadaan bagaimana seorang perempuan yang menjalin pernikahan bukan atas dasar cinta. Dia tidak mengharapkan bahwa malam ulang tahun yang seharusnya dia habiskan dengan orang rumah itu menyeretnya ke masa depan jauh dari bayangannya. Belum selesai dengan hidup miliknya yang dia rasa seperti tidak mendapat bahagia, malah kini jiwa Raisa menempati tubuh perempuan yang ternyata menikah tanpa mendapatkan cinta dari sang suami. Jiwanya menempati raga Alya, seorang perempuan modis yang menikah dengan Ardan yang dikenal berparas tampan. Ternyata cantiknya itu tidak mampu membuat Ardan mencintainya.

Mendapati kenyataan itu Raisa berpikir untuk membantu tubuh dari orang yang dia tempati agar mendapatkan cinta dari suaminya. Setidaknya nanti hal itu akan menjadi bentuk terima kasih kepada Alya. Berharap itu tidak menjadi boomerang untuk dirinya. Melalui tubuh itu Raisa menjadi tahu bahwa ada rahasia lain yang dimiliki oleh Ardan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eloranaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

20. Rencana Perbaikan

Tang!

Bertepatan dengan pukul sebelas malam Raisa sudah bersiap di balik pintu. Kakinya tak sabar untuk segera melangkah keluar dari kamar. Saat suara kunci terbuka senyum Raisa kian merekah, dan muncullah sosok Bibi dengan nampan berisi semangkuk besar sup daging sapi, dua porsi nasi hangat yang masih mengepulkan asap, buah potong, dan susu putih. Perempuan itu menatap Raisa dengan raut penuh keprihatinan. Sedangkan Raisa tak menunjukan sedikitpun kesedihan, justru matanya berbinar menatap makanan yang dibawa oleh Bibi.

"Wahhh, terima kasih, Bi!" Raisa menerimanya. Air liurnya sudah dia teguk berkali-kali saking tidak sabar untuk menyantap makanan tersebut.

"Sama-sama, Non. Makan yang banyak yaa." Selepasnya Bibi segera pergi dari hadapan Raisa.

Perempuan itu segera membawa masuk makanannya, untuk dia bagi dengan Ardan. Tetapi baru saja dia berbalik, Ardan keluar melewatinya dengan tergesa. Di tangannya menenteng jaket army dan topi melekat di kepala.

"Eh?? Mau kemana? Makan dulu, Dan!" Refleks, Raisa memanjangkan kakinya untuk menjegal lelaki itu tetapi malah dia sendiri yang kena batunya. Ardan menginjaknya kuat, tampak antara disengaja dan tidak.

"MAU KE MANA KAMU?!!"

Terlonjak. Raisa melotot besar saat mendapati Santi berhadapan dengan Ardan di depan pintu. Keduanya terlihat sama-sama marah.

"Minggir," ucap Ardan pelan tetapi penuh penekanan, yang ditujukan pada ibunya.

"NGGAK!"

"Minggir."

"AWAS AJA KAMU KALAU NGEYEL. AWAS AJA KALAU KAMU HARI INI BERANI KELUAR RUMAH!!!"

"Selangkah saja kamu maju, jangan tanya apa yang akan ibu lakuin nanti!"

Tentu saja seorang Ardan tidak goyah apalagi ketakutan dengan ancaman semacam itu. Dia bergerak menggeser badan ibunya yang menghalangi jalan. Santi memekik marah, terlebih lagi dia disingkirkan dengan kasar karena sempat melawan.

"ANAK NGGAK TAHU DIRI!! MAMA KECEWA SAMA KAMU!!"

"Ibu?" Raisa mendekat dengan tangan kosongnya sebab nampan yang tadi dia bawa telah diletakkan di meja. Dia mengelus bahu Santi, "Mungkin dia ada urusan mendadak, Bu. Nanti Ardan pasti bakal balik pulang kok."

Santi menatapnya balik. Dia sudah berupaya mengontrol emosinya. "Maafin ibu, ya?"

"Kenapa? Ibu kan tidak salah."

"Maafin Ardan, ya?"

Raisa mengangguk saja. Dia tidak begitu memedulikan itu semua, bahkan dia sendiri saja tidak tahu pasti untuk apa ucapan maaf itu ditujukan padanya. Karena dia merasa tidak ada yang bisa begitu dipermasalahkan. Yah, kecuali dikurung tiga hari tanpa makan.

Dia ingin segera menyantap hidangan yang tadi sudah dibawakan oleh Bibi. Karena itu dia pilih segera meraih nasinya.

Betulan sangat kelaparan sampai dua porsi nasi yang harusnya untuk dia dan Ardan kini digabung jadi satu untuk dimakan sendiri.

Pada suapan pertama Raisa tenggelam dalam kenikmatan. Lambungnya meronta-ronta untuk diisi. Mengabaikan perih yang mendera karena kekosongan diisi secara mendadak.

"Maaf ya. Ibu nggak kasih makanan kalian selama tiga hari penuh." Santi menatap menantunya yang makan dengan lahap terenyuh. "Karena kalau ibu sekali buka pintu Ardan pasti kayak tadi. Capek banget ibu sama si Ardan, dia nggak pernah dengerin omongan orang tuanya."

Raisa memasang telinga dengan seksama meski tetap sibuk menyantap.

"Dari dulu ibu minta dia buat belajar Kedokteran nggak mau. Malah buang-buang uang nggak diselesaiin. Sekarang lihat tuh, luntang-lantung merangkak sama company orang, padahal kami sebagai orang tua udah nyiapin segalanya buat masa depan dia. Dia diarahin susah banget, maunya semena-mena sama keinginannya sendiri." Santi bercerita dengan keputusasaan. "Nggak ada orang tua yang mau anaknya kesusahan di masa depan."

"Sekarang lihat? Kakaknya sudah berhasil berdiri dan ngelola rumah sakit keluarga, sedangkan dia? Diarahin jadi sarjana aja gagal. Untungnya ibu berhasil buat dia nikah sama kamu."

Raisa sontak menengadah, dia masih ingat jelas tentang cerita yang pernah diperdengarkan Bibi kepadanya soal mengapa Ardan mau menikahi Alya. Dia menatap Santi. "Ibu pernah tanya yang Ardan mau lakuin apa nggak?"

"Nggak." Santi menggeleng. ".... Tapi ibu tahu dia suka melukis, menggambar. Seni."

Jika ada di posisi Ardan, Raisa tidak mampu membayangkan betapa frustasi dirinya apabila diminta untuk menjalani sesuatu yang bukan keinginannya berulang-kali. Terlebih lagi sesuatunya sesusah itu. Walau tak pernah menjalani tapi Raisa tahu betul bagaimana sulitnya kuliah mengambil Kedokteran.

Menjalankan sesuatu yang sesuai kemauannya saja sudah bikin pusing apalagi jika diluar keinginan.

"Nah, kenapa tidak didukung aja, Bu?"

"Mau makan apa nanti kalau belajar kayak gitu?"

Raisa tahu ke mana arah pembicaraan Santi. Dia menjawab, "Tidak ada yang gampang, Bu, di sini. Semuanya perlu proses." Raisa menjawabnya sepenuh hati. Berbicara mengenai itu jadi membuatnya teringat pada diri sendiri, yang mana raganya masih berbaring di rumah sakit belum juga mendapatkan pekerjaan dan sekarang malah tambah menyusahkan dengan peristiwa yang menimpanya. Bagaimana ya kalau uang yang Raisa kumpulkan dari kerja dengan memanfaatkan tubuh Alya itu dia simpan untuk raganya di sana? Ah, baru saja memikirkan dia langsung membuang pemikiran itu jauh-jauh.

"Bukankah jadi orang tua itu harus siap kalah dari anaknya, Bu?" Terdapat jeda sejenak sebelum Raisa melanjutkan, "Jadi kenapa dengan kekalahan itu nggak dijadikan peluang saja? Misalnya soal perbedaan keinginan. Bagaimana kalau dengan mendukung keputusan anaknya gitu? Aku rasa yang Ardan pengenin itu nggak seburuk itu kok."

Santi tidak langsung menjawab. Dia memikirkan benar mengenai apa yang dikatakan Raisa. "Aku tahu, Bu. Orang tua itu mau didengar, tapi sebagai anak pun sama. Di sini aku menempatkan diri sebagai anak ya, dan ya mereka juga mau didengar."

"Pasti ada juga anak diluar sana yang seperti Ardan. Tapi kerennya Ardan itu dia punya pilihan dan berani buat ambil langkah untuk menjalani pilihannya. Sekalipun bertentangan dengan orang tuanya." Sejujurnya Raisa ketakutan mengatakan itu, takut jika apa yang dia katakan tidak sesuai dengan kemauan Santi dan malah menyakiti mertua Alya itu. Untuk menyamarkannya dia menusuk buah potong dan menyantapnya. "Karena ada loh, Bu, anak yang punya pilihan tapi nggak berani ngambil karena punya alasan yang sama, yaitu orang tua. Jadi kesannya orang tua itu malah jadi penghambat. Yahhh, walau balik lagi seperti yang ibu bilang tadi: nggak ada orang tua yang mau anaknya kesusahan di masa depan."

Detik itu juga Raisa menghentikan ucapannya. Dia rasa apa yang dia katakan sudah kemana-mana. Bahkan malah terdengar membingungkan sampai dia sendiri saja tidak mendapatkan kesimpulan atas apa yang telah dia ucapkan. Daripada merasa bijak, dia malah merasa konyol sudah mengatakan sesuatu sepanjang itu.

Santi masih tidak membalasnya. Berhasil membuat Raisa meringis. Sebuah kalimat terlintas begitu saja di kepalanya. Dia menceletuk, "Gimana kalau mulai perbaikin hubungan ibu sama Ardan terlebih dahulu, Bu?"

"Gimana caranya?"

"Dukung dia pelan-pelan."

Santi tampak berpikir, lalu merespons, "Mengalah ya?"

Raisa mengangguk riang sembari mengangkat jempol. "Ibu mau?"

Dengan pergerakan lambat Santi mengangguk. Sontak Raisa kesenengan sendiri. Mungkin dengan ini dia bisa mempertipis ketegangan antar dua orang tersebut, dan siapa tahu? Itu nantinya juga bisa jadi jalannya untuk membuat Ardan menyukai sosok Alya. Tapi niatnya kali ini memang untuk memperbaiki hubungan Ardan dan Santi, tidak ada niat terselubung lain.

"Terima kasih, Alya."

"Terima kasih kembali, Ibu Mertua!"

Dan di sisi lain, Santi merasa bangga dengan keputusannya menikahkan Ardan dengan Alya meskipun anaknya tidak bahagia dengan keputusannya. Tapi dia rasa itulah keputusan yang benar. Enggan mengalah pada salah satu kebahagiaan anaknya.

...****************...

1
fianci🍎
Pusing kepala baca cerita ini, tapi tetap seru. Teruslah menulis, author!
Perla_Rose384
Gak sabar nunggu kelanjutannya thor, semoga cepat update ya 😊
Eirlys
Bikin saya penasaran terus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!